Ruang
Gerak Itu Masih Ada
A Tony Prasetiantono, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK
UGM,
YOGYAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 20
Februari 2012
Pemerintah, melalui Wakil Menteri Keuangan
Anny Ratnawati, pekan lalu, mengakui bahwa target pertumbuhan ekonomi 2012
sebesar 6,7 persen tidak realistis. Pihaknya akan merevisi menjadi sekitar 6,5
persen. Langkah ini baik, tetapi amat terlambat. Sudah beberapa bulan ini
praktis semua pengamat dan lembaga ekonomi internasional menurunkan target
pertumbuhan ekonomi. Cuma pemerintah yang ngotot 6,7 persen, sementara Bank
Indonesia lebih realistis dengan proyeksi 6,3 persen.
Argumentasi pelambatan ekonomi sangat jelas:
solusi krisis zona euro tetap meragukan, sementara harga minyak dunia tak
kunjung turun sehingga mendorong inflasi. Praktis tidak ada negara yang kebal
krisis. Yang ada hanyalah negara-negara berusaha meminimalkan kerusakan dampak
krisis.
Kesalahan proyeksi jangan dipandang sepele.
Ramalan yang kacau bisa merusak kredibilitas. Lain kali masyarakat—terutama
pelaku bisnis—tidak percaya lagi kepada angka-angka yang disajikan. Ini juga
merefleksikan lambatnya respons pemerintah terhadap dinamika perekonomian
global.
Perekonomian saya perkirakan hanya akan
tumbuh 6-6,3 persen. Soalnya, secara rata-rata, negara-negara berkembang
mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yang tajam, dari 6,5 persen pada
triwulan I-2011 menjadi di bawah 3 persen pada triwulan IV-2011. Indonesia
masih tumbuh 6,5 persen pada triwulan IV-2011, tetapi sulit membayangkan naik
pada tahun 2012.
Perekonomian China pun bahkan melambat
menjadi 8,9 persen pada triwulan IV-2011. Hal serupa dialami India yang hanya
6,9 persen. Banyak lembaga ekonomi internasional yang memproyeksikan pelambatan
tahun 2012 di China menjadi 8,8 persen (dari 9,2 persen tahun 2011) dan India
menjadi 7,1 persen (dari 7,7 persen tahun 2011). Bayangkan, mesin-mesin
pertumbuhan ekonomi dunia terkencang seperti China dan India saja melambat,
bagaimana mungkin Indonesia malah berakselerasi? Sulit menemukan logikanya.
Namun, ada kabar baik dari riset terbaru The
Economist (3/2/2012). Majalah itu menempatkan Indonesia, China, dan Arab Saudi
punya kemampuan menggunakan instrumen fiskal dan moneternya untuk mendorong
ekonominya. Menyusul Cile, Peru, Rusia, Singapura, dan Korea Selatan.
The Economist menghitung the wiggle-room
index, indeks ruang gerak kebijakan fiskal dan moneter yang masih bisa
dilakukan untuk menstimulus perekonomian di 27 negara emerging markets.
Indikator yang dipantau adalah inflasi, suku bunga, penyaluran kredit, kurs
mata uang, neraca transaksi berjalan, defisit anggaran pemerintah, dan utang
pemerintah.
Hasilnya, beberapa negara ada di ”lampu
merah” alias kesulitan ruang gerak fiskal-moneter, yakni Mesir, India,
Polandia, Brasil, Vietnam, Pakistan, Turki, Argentina, dan Hongaria. Adapun
kategori ”lampu kuning” adalah Afrika Selatan, Taiwan, Venezuela, Ceko,
Meksiko, Kolombia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Hongkong.
Inflasi negara-negara emerging
markets bervariasi 2 persen (Taiwan) hingga 20 persen (Argentina dan
Venezuela), sedangkan Indonesia 3,79 persen. Bunga riil negatif terjadi pada
separuh negara-negara yang diteliti, tetapi di China dan Brasil masih positif
sekitar 2 persen. Di Indonesia, suku bunga riil masih terus dipertahankan
positif meski bisa terus dipertipis.
Dari sisi fiskal, perhatian terbesar pada
rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), di mana Brasil, Hongaria,
Mesir, India, Pakistan, dan Polandia mencapai 60 persen. Ini menyebabkan
negara-negara itu tidak banyak memiliki ruang gerak untuk mendorong stimulus
fiskal.
Berdasarkan temuan The
Economist itu, dari sisi moneter, Indonesia masih merupakan negara dengan suku
bunga riil positif. Artinya, masih ada ruang gerak untuk menurunkan suku bunga
lebih jauh. Namun, Bank Indonesia (BI) tentu harus ekstra waspada, jangan
sampai kontraproduktif terhadap kurs rupiah. Pemantauan dan evaluasi harus
dilakukan, bagaimana respons pasar terhadap penurunan BI Rate dari 6 persen ke
5,75 persen? Apakah berdampak terhadap dana pihak ketiga (DPK) di bank-bank?
Apakah rupiah melemah? Apakah aliran modal masuk terganggu?
Inflasi kita saat ini 3,65 persen, berjarak 2
persen dari BI Rate. Namun, masalahnya, ekspektasi inflasi kita sebenarnya
minimal 5 persen karena sulit menahan kenaikan harga BBM bersubsidi dan tarif
listrik. Karena itu, ruang gerak penurunan BI Rate menjadi lebih sempit.
Terlebih lagi rupiah harus dijaga stabil pada Rp 9.000 per dollar AS dan
berusaha menarik modal asing agar cadangan devisa naik dari posisi saat ini 111
miliar dollar AS. Sejauh ini belum ada tanda investor asing kembali
menggairahkan bursa saham. Karena itu, penurunan BI Rate lebih lanjut belum
menemukan alasan.
Di sisi fiskal, utang pemerintah tahun ini
naik menjadi Rp 1.937 triliun. Namun, secara relatif terhadap PDB hanya 26
persen. Angka ini tergolong rendah untuk ukuran emerging
markets. China juga sekitar 27 persen. Namun, beberapa pihak berpendapat, angka
ini belum memasukkan utang-utang pemerintah daerah, yang kalau dijumlah akan
mencapai 60 persen.
Indonesia sebenarnya mempunyai kesempatan
untuk memanfaatkan ”jendela fiskal” ini guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun, ada dua kendala. Pertama, pemerintah di bawah tekanan para pengkritiknya
agar tidak terlalu ekspansif menambah utang. Kedua, daya serap APBN lemah
sehingga komitmen utang yang sudah ada tidak teralokasikan baik. Persoalan
lain: belanja yang sudah tersalurkan pun ternyata sebagian marak dikorupsi.
Jika zona euro kini menghadapi persoalan
disiplin fiskal (austerity)
dengan memotong anggaran, persoalan kita adalah menegakkan disiplin anggaran.
Anggaran pemerintah harus dibelanjakan efektif dan koruptor APBN harus dihukum
berat agar ada efek jera. Inilah kunci persoalan. Perlu eksekusi dari
kepemimpinan kuat dan berani mengambil risiko. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar