MK
dan Parasit Demagogisme
Siti Marwiyah, DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DR SOETOMO SURABAYA
Sumber
: SUARA KARYA, 16
Februari 2012
Budayawan Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia mengingatkan,
salah satu penyakit mentalitas orang Indonesia adalah munafik. Pemujaan budaya
ambiguitas itu, kini paling menyolok dilakukan oleh komunitas politisi yang
sibuk menggelar akrobat politik. Mereka berambisi mendapatkan kekayaan serta
kedudukan dengan cara instan dan melawan norma yuridis. Mereka bukan saja
menghalalkan penipuan dan pendustaan (pembohongan) publik, tetapi juga pintar
menggunakan rumus 'simbiosis mutualisme' dan rekayasa hukum secara sistemik.
Mereka berani menerima dana ilegal itu sebagai imbas dari mental
hipokrit yang disembah-sembah. Tanpa keberdayaan dan keberjayaan mentalitas
demagogisme ini, tidak akan mungkin mereka berani dan tega 'menjarah' hak-hak
masyarakat. Dan, keberaniannya bisa merajalela, jika tetap ditoleransi atau
diberi kelonggaran untuk memproduk kejahatan elitenya itu, khususnya oleh oknum
pilar-pilar peradilan. Dukungan berbentuk sindikasi dari oknum ini menguatkan
asumsi selama ini, bahwa mafia masih menjadi kekuatan tersendiri yang ikut
mewarnai dan menentukan perjalanan bangsa.
Budaya hipokrit yang digerakkan oleh mesin politik dengan dukungan
oknum pilar peradilan akan terus menggelinding dari generasi ke generasi atau
menjadi semacam parasit di tubuh institusi peradilan maupun politik, selama
tidak ada keberanian dari elemen bangsa ini untuk mereformasi atau
memerdekakannya dari cengkeraman virus kemunafikannya. Parasit demagogisme (pemujaan
ketidakjujuran) ini pun dapat mengancam dan bahkan menghambat cita-cita
terkonstruksinya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Sangat sering ditemukan pilar-pilar institusi peradilan, misalnya,
yang belum berkinerja maksimal untuk melawan segala bentuk penyakit yang
bersumber dari sekumpulan elitisme kriminal. Mereka malah lebih senang
menjatuhkan opsi untuk menjadi 'instrumen' yang memilari berdirinya dan
menguatnya sindikasi kriminalitas. Mereka yang semestinya menjadi kekuatan
strategis untuk melawan segala bentuk 'penjarahan' kekayaan negara yang
dilakukan sekelompok elite, tergelincir menjadi instrumen neokleptokratisme
(maling gaya baru) atau bermodus operandi modern dalam melakukan dan
memperbanyak pencurian kekayaan negara dan rakyat.
Kalau sudah begitu, maka beban Mahkamah Konstitusi (MK) yang
mendapatkan peran mengawal konstitusi, menjadi semakin berat dan kompleks.
Karena, kekuatan yang berdiri, mengelaborasi, atau mengagregasikan
neokleptokratisme merupakan kekuatan intelek, berkedudukan mapan, punya
pengaruh besar, atau memiliki akses besar di berbagai lini strategis, yang
bukan tidak mungkin bisa 'menyentuh' ke dalam pilar-pilar MK.
Yang terjadi, di antara kita terjebak menciptakan atmosfer euforia
dan arogansi untuk membela para pendusta (demagogis) dan penyelingkuh
kekuasaan. Mereka pun berupaya menghancurkan dan melumpuhkan setiap gerakan
publik dan moral yang berusaha menegakkan keadilan bernyawakan keadaban dan
egalitarian.
Kita gampang membaca fenomena, ketika seseorang diberi kepercayaan
mengendarai atau menahkodai suatu lembaga kenegaraan prestius, bukannya amanat
publik berbasis keadilan, kerakyatan, dan egalitarian, serta akuntabilitas yang
ditegakkan, tetapi kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan partai.
Kepentingan inilah yang membuatnya rela dan berani mengadopsi pola
neokleptokratisme dengan cara memarjinalkan amanat jabatan atau mematikan
berfungsinya kode etik profesinya, di samping menolak memerdekakan dirinya dari
jebakan kolaborasi kriminalisi politik-yuridis.
Ketika pilar peradilan ikut terjerumus di dalamnya, maka bukan
hanya wajah hukum yang menjadi buram, tetapi wajah demokrasi pun ikut
tercabik-cabik. Pilar peradilan ini bisa berasal dari polisi, jaksa, hakim,
panitera, pegawai/tenaga administrasi, dan lainnya, yang memanfaatkan tugas dan
kewajibannya untuk disalahgunakan.
Kasus terbongkarnya pemalsuan surat putusan MK, beberapa waktu
lalu juga dapat dibaca sebagai bentuk praktik neokleptokratisme, karena cara
ini dilakukan demi terjadinya atau terwujudnya konvergensi kepentingan politik
dan ekonomi, serta kemungkinan kepentingan lainnya yang belum terbongkar. Kasus
ini juga bisa dijadikan sebagai indikator, bahwa kekuatan di balik
neokleptokratisme sangat terorganisir dan kuat, sehingga membuat kasusnya
hingga sekarang belum jelas.
Bagaimanapun kehadiran MK sangat berperan dalam pelaksanaan
prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini dimungkinkan oleh wewenang MK. Selain
itu, didukung dengan keberadaan hakim MK yang harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
Dengan demikian MK melalui hakim konstitusi sangat berperan dalam
upaya menegakkan prinsip-prisip negara hukum di Indonesia. Upaya MK ini, idealnya,
dijadikan sebagai sumber keteladanan bagi Polri kalau dirinya pun mampu menjadi
pilar negara hukum yang baik dan profesional, yang salah satunya bisa
ditunjukkan dengan mengonstruksi dan mengimplementasikan sistem peradilan
pidana (criminal justice system) yang baik dan benar.
Ketika yang dihadapi oleh MK semakin besar atau penyakit yang
mengujinya bermacam-macam dan dahsyat, sementara dengan tantangan atau ujian
ini, MK mampu menjawab dengan kinerja berbasis integritas moral, independensi,
dan nalar cerdasnya, seperti yang selama ini sudah ditunjukkannya, maka MK
bukan hanya menjadi institusi peradilan yang memberikan kontribusi terhadap
citra jagad hukum, tetapi juga memperlicin jalan bagi penguatan demokrasi dan
perlindungan HAM, kini dan di masa mendatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar