Senin, 20 Februari 2012

Ketika Wanita Memimpin


Ketika Wanita Memimpin
Joseph S. Nye, MANTAN ASISTEN MENTERI LUAR NEGERI AS;
GURU BESAR PADA HARVARD UNIVERSITY, PENGARANG BUKU THE FUTURE OF POWER
Sumber : KORAN TEMPO, 20 Februari 2012



Akankah dunia lebih damai jika wanita yang memimpin? Sebuah buku yang baru saja diterbitkan karya psikolog Harvard University, Steven Pinker, mengatakan jawabannya adalah “ya”.

Dalam bukunya yang berjudul The Better Angels of Our Nature, Pinker menyajikan data yang menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan manusia, walaupun masih mengancam kita saat ini, sudah berangsur-angsur menurun. Lagi pula, demikian katanya, ”dalam bentang sejarah yang panjang ini”, wanita selalu dan tetap akan merupakan kekuatan pendamai. Perang tradisional antar-suku merupakan kerjaan laki-laki. Wanita-wanita di antara mereka tidak pernah bergabung bersama dan beramai-beramai menyerang desa-desa tetangga. Sebagai ibu, wanita memiliki insentif evolusi untuk memelihara perdamaian guna mengasuh anak-anak mereka dan memastikan mereka bisa bertahan sampai generasi berikutnya.

Mereka yang skeptis langsung menjawab bahwa wanita tidak pernah melancarkan perang karena mereka tidak memegang tampuk kekuasaan. Jika diberdayakan sebagai pemimpin, maka keadaan dunia yang anarkistis itu bakal memaksa mereka mengambil keputusan berperang, sama seperti yang dilakukan laki-laki. Margaret Thatcher, Golda Meir, dan Indira Gandhi adalah wanita-wanita yang berkuasa; semuanya telah membawa negeri mereka ke dalam kancah perang.

Tapi juga benar bahwa wanita-wanita ini naik ke puncak kekuasaan mengikuti irama aturan politik dari “suatu dunia laki-laki”. Keberhasilan mereka dalam mengkonfrontasikan nilai-nilai yang dibawakan laki-laki itulah yang sebenarnya memungkinkan mereka naik ke jenjang kepemimpinan. Dalam suatu dunia di mana wanita diberi kekuasaan yang sebanding (separuh) dari yang dipegang laki-laki, maka mereka mungkin bakal menunjukkan perilaku yang berbeda setelah ikut memegang kekuasaan.

Karena itu, kita dihadapkan pada pertanyaan yang lebih mendasar: apakah gender itu memang penting dalam kepemimpinan? Menurut stereotipe, berbagai studi psikologi menunjukkan bahwa laki-laki cenderung menggunakan apa yang dinamakan hard power of command (kekuatan keras komando), sementara wanita secara naluriah lebih cenderung pada penggunaan soft power of persuasion (kekuatan lunak persuasi). Rakyat Amerika cenderung mengaitkan kepemimpinan dengan stereotipe laki-laki yang keras, namun studi yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan semakin berhasilnya apa yang dahulu dianggap sebagai kepemimpinan “gaya feminin”.

Dalam masyarakat berbasis-informasi, jejaring sudah menggantikan hierarki. Dalam banyak organisasi, manajemen mulai beralih ke arah “kepemimpinan yang dibagi bersama” dan “kepemimpinan yang tersebar” di mana pemimpin berada di tengah-tengah suatu lingkaran, bukan di puncak suatu piramida. Mantan Direktur Utama Google, Eric Schmidt, mengatakan bahwa ia harus memperlakukan karyawannya “dengan hati-hati dan lemah lembut”.

Bahkan militer pun menghadapi perubahan serupa. Di Amerika Serikat, Pentagon mengatakan para instruktur angkatan bersenjata sekarang “kurang melakukan bentakan- bentakan”, karena generasi sekarang ini merespons dengan lebih baik instruktur yang memainkan “peran yang sifatnya lebih menasihati”. Keberhasilan militer melawan teroris dan kelompok-kelompok perlawanan memerlukan prajurit-prajurit yang mampu memenangkan hati dan pikiran, bukan cuma yang mampu meruntuhkan bangunan atau meremuk-redamkan seseorang.

Mantan Presiden AS George W. Bush melukiskan, peran yang dimainkannya adalah sebagai ”pengambil keputusan”, tapi untuk kepemimpinan saat ini diperlukan lebih dari sekadar itu. Para pemimpin saat ini harus mampu memanfaatkan jejaring, berkolaborasi, dan mendorong keikutsertaan. Gaya non-hierarkis dan keterampilan relasional yang dimiliki wanita cocok dengan kepemimpinan dalam dunia baru organisasi dan kelompok berbasis informasi saat ini yang, rata-rata, kurang siap dihadapi laki-laki.

Pada masa lalu, ketika wanita berjuang dengan susah payah untuk mencapai puncak suatu organisasi, mereka sering harus mengadopsi “gaya maskulin” yang melanggar norma sosial ”kelembutan” wanita. Tapi sekarang, dengan ledakan revolusi informasi dan demokratisasi yang menuntut kepemimpinan yang lebih partisipatif, “gaya feminin” merupakan jalan menuju kepemimpinan yang efektif. Untuk menjadi pemimpin yang berhasil, laki-laki tidak hanya harus menghargai gaya yang ada pada kolega-kolega wanitanya, tapi juga harus menguasai keterampilan yang sama.

Ini adalah kecenderungan, (belum) merupakan kenyataan. Wanita masih tertinggal dalam merebut posisi kepemimpinan. Mereka memegang hanya 5 persen posisi puncak dalam dunia usaha dan minoritas dalam posisi di dewan-dewan legislatif pilihan rakyat (cuma 16 persen di AS, misalnya, dibandingkan dengan 45 persen di Swedia). Satu studi mengenai 1.941 orang penguasa di negara-negara merdeka selama abad ke-20 menemukan hanya 27 wanita, sekitar separuh di antara mereka naik ke puncak kekuasaan sebagai anak dari seorang penguasa laki-laki. Kurang dari 1 persen penguasa di abad ke-20 adalah wanita yang memperoleh kedudukan itu atas usaha mereka sendiri.

Karena itu, dengan kearifan konvensional baru dalam studi mengenai kepemimpinan yang mengatakan bahwa memasuki abad informasi berarti memasuki dunia wanita, mengapa wanita tidak juga mencapai kemajuan yang lebih berarti?

Kurangnya pengalaman, tanggung jawab utama sebagai pengasuh, gaya tawar-menawar, dan diskriminasi yang sudah berlangsung lama, semuanya membantu menjelaskan kesenjangan gender ini. Jalur karier yang tradisional dan norma-norma budaya yang membentuk dan memperkokohnya jelas memungkinkan wanita memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk duduk di posisi puncak kepemimpinan dalam banyak konteks organisatoris.

Penelitian menunjukkan bahwa, bahkan dalam masyarakat yang demokratis, wanita menghadapi risiko sosial yang lebih besar daripada laki-laki ketika bernegosiasi untuk mendapatkan sumber daya berkaitan dengan karier, seperti dalam hal pengupahan. Wanita umumnya tidak terintegrasi dengan baik ke dalam jejaring laki-laki yang mendominasi organisasi, dan stereotipe gender masih menghambat upaya mengatasi rintangan-rintangan itu.

Bias ini mulai runtuh dalam masyarakat berbasis informasi, tapi mereka keliru mengidentifikasi jenis baru kepemimpinan yang kita butuhkan dalam abad informasi ini semata-mata sebagai “suatu dunia wanita”. Bahkan stereotipe yang positif pun tidak baik untuk wanita, laki-laki, dan kepemimpinan yang efektif.

Pemimpin harus dipandang tidak dalam arti komando yang heroik, melainkan sebagai pendorong partisipasi dalam suatu organisasi, kelompok, negara, atau jejaring. Persoalan mengenai gaya yang pantas--kapan mesti menggunakan keterampilan keras dan kapan keterampilan lunak--sama relevannya bagi laki-laki maupun wanita, dan tidak boleh dikaburkan oleh stereotipe gender tradisional. Dalam beberapa hal, laki-laki perlu bertindak lebih “seperti wanita”. Dan dalam hal-hal lainnya, wanita perlu bertindak lebih “seperti laki-laki”.

Pilihan-pilihan utama yang harus dijatuhkan mengenai perang dan perdamaian di masa depan bakal bergantung bukan pada gender, melainkan pada bagaimana seorang pemimpin menggabungkan keterampilan kekuatan keras dan kekuatan lunak yang menghasilkan smart strategies (strategi-strategi yang cerdas). Baik laki-laki maupun wanita akan memutuskan semua itu. Tapi Pinker mungkin benar ketika ia mengatakan bahwa bagian-bagian dunia yang lamban mengurangi kekerasan adalah juga bagian-bagian dunia yang lamban memberdayakan wanita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar