Feminisasi
Korupsi
Muhammad Afifuddin, MAHASISWA PASCASARJANA SOSIOLOGI
FISIPOL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Sumber
: REPUBLIKA, 15
Februari 2012
Jika
dicermati dengan teliti kasus demi kasus korupsi yang sedang diusut KPK belakangan
ini, kita akan menemukan satu benang merah yang menghubungkannya, yakni
keterlibatan perempuan sebagai aktor penting dalam jejaring mafia perampok uang
rakyat. Dari yang telah ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa/tervonis, ada
nama seperti Imas Diansari, hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial PN
Bandung yang tertangkap basah menerima suap Rp 200 juta.
Selain
itu, dua anggota DPR Ni Luh Mariani Tirtasari dan Engelina Pattiasina yang
tersangkut kasus cek pelawat, Nunun Nurbaetie dan Miranda S Goeltom (kasus suap
pemilihan Deputi Gubernur BI), serta Wa Ode Nurhayati (mafia banggar DPR).
Sosok lainnya adalah Mindo Rosalina Manulang, Neneng Sri Wahyuni, hingga yang
terbaru Angelina Sondakh dalam kasus suap Wisma Atlet.
Sedangkan
dalam kasus suap Kemenakertrans, Dhanarwati malah sudah divonis dua tahun enam
bulan. Bahkan, kalau mundur cukup jauh ke belakang, jangan kita lupakan `ratu
sel mewah' Artalyta Suryani (Ayin) yang juga resmi divonis sebagai koruptor.
Sementara itu, perempuan yang sempat dikaitkan dengan berbagai skandal
suap/mark up korupsi adalah Nining Indra Saleh (Setjen DPR), Athiyah Laila
(istri Anas Urbaningrum dalam kasus suap Wisma Atlet), atau bahkan Sri Mulyani
dalam kasus Century.
Sedangkan,
di luar komplotan mafia anggaran dan penyuap aparat negara tersebut, ada nama
Malinda Dee yang sempat beken karena kiprahnya membobol uang nasabah Citibank.
Masih ada beberapa nama lagi yang lain yang akan sangat memakan ruang jika
harus dituliskan semuanya.
Apakah
ini kebetulan semata? Asumsinya, uang tidak punya jenis kelamin. Siapa pun
mempunyai `bakat' korupsi asalkan menemukan momentum (niat dan kesempatan) yang
tepat. Bisa jadi fenomena ini 100 persen sebuah kebetulan yang cantik. Namun,
melihat rentetan kejadian kasus per kasus di mana keterlibatan perempuan
menjadi variabel vital dalam skenario perampokan anggaran rakyat tersebut,
tampaknya asumsi kebetulan sulit untuk dinalar.
Untuk
perdebatan ini, penulis sepakat dengan tesis penulis buku Korupsi Kepresidenan
(2005), George Junus Aditjondro. Dalam sebuah seminar di UGM awal tahun ini,
Aditjondro mengutarakan, fenomena perempuan banyak tersangkut korupsi merupakan
gejala yang relatif baru di Indonesia.
Tekanannya bukan pada persoalan kebetulan atau by design, melainkan lebih pada
bagaimana kita memaknai perubahan sosiologis dalam konteks gender dan feminisme
yang bersangkut paut dengan skandal-skandal keuangan tersebut.
Euforia Antidomestifikasi
Keran
kebebasan sosial-politik yang terbuka pascareformasi rupanya berdampak positif
pada kian menguatnya akselerasi perempuan di sektor publik. Setelah sekian lama
terdomestifikasi oleh wacana dan kebijakan yang bias gender, pelan tapi pasti
perempuan di Indonesia mulai menemukan `jati diri'. Maraknya gerakan dari kaum
feminis yang menuntut adanya kesamaan hak dan kesempatan (equality of
opportunity) untuk mengakses sumber daya sosialekonomi-politik seperti halnya
laki-laki, mulai banyak diafirmasi para pemangku jabatan dan pengambil
keputusan di negeri ini.
Data
menunjukkan, meskipun model afirmative action yang mensyaratkan keterwakilan
perempuan minimal 30 persen dalam parlemen gagal diterapkan, tren jumlah
politisi perempuan yang duduk di DPR selalu naik dari satu pemilu ke pemilu
berikutnya. Dikutip dari situs resmi Centre of Electoral Reform (Cetro), jika
hasil Pemilu 2004 jumlah perempuan yang duduk di parlemen 11,8 persen dari
total anggota DPR, Pemilu 2009 menghasilkan jumlah anggota DPR perempuan
sebesar 18 persen dari keseluruhan anggota dewan.
Sementara
untuk DPD, jumlah anggota perempuan naik dari 22,5 persen pada periode
2004-2009 menjadi 26,5 persen pada periode 2009-2014. Diperkirakan, tren
kenaikan seperti ini bakal terus terjadi dalam pemilu mendatang.
Untuk
komposisi kepegawaian di berbagai instansi, jumlah perempuan juga mengalami
lonjakan signifikan. Jika pada akhir 2005 persentase perempuan yang menjabat
sebagai eselon I dan II hanya 13,3 persen dari total jumlah PNS di Indonesia,
belakangan ini rasionya sudah meningkat menjadi 21,5 persen dari keseluruhan
pegawai negeri (Latfiyah, 2011).
Jika
pada lembaga-lembaga `pelat merah' kiprah perempuan kian menonjol, bagaimana
dengan kehadiran perempuan pada instansi-instansi swasta? Meski tidak ada data
yang bisa mencerminkannya secara tepat, penulis berasumsi trennya juga meningkat.
Indikasinya bisa dilihat dari kian banyaknya perempuan yang menduduki jabatan
strategis di berbagai perusahaan/lembaga swasta.
Gambaran
tersebut bermakna bahwa perempuan sudah bisa mengatasi problem pemenuhan
kebutuhan berpendidikan seperti yang pernah diperjuangkan RA Kartini dulu.
Meski belum tuntas dan merata persebaran akses pendidikan bagi kaum hawa,
paling tidak sebagian besar perempuan sudah menikmati keleluasaan berpendidikan
sehingga mereka bisa sejajar dengan laki-laki untuk berkiprah di sektor publik.
Fenomena Terbalik
Tren
yang positif itu juga didukung justifikasi dari hasil riset Bank Dunia tahun
1999 perihal peran perempuan dalam korupsi. Melalui riset yang dilakukan
Development Research Group/Poverty Reduction and Economic Management Network
itu ditemukan kenyataan menurunnya tingkat korupsi bersamaan dengan kian
meningkatnya jumlah perempuan di tingkat parlemen nasional. Riset tersebut
menjadi dasar bagi Bank Dunia untuk merekomendasikan agar semua negara
memberikan peluang yang lebih besar bagi perempuan menduduki jabatan di
pemerintahan dan parlemen karena keberadaan mereka berpotensi untuk menurukan
tingkat korupsi (Neta S Pane, 2011).
Namun,
apa yang terjadi di Indonesia seakan mematahkan hasil penelitian Bank Dunia
tersebut. Peran perempuan yang menduduki sejumlah jabatan penting di negeri ini
tumbang satu per satu karena terlibat korupsi. Data ICW menyebutkan, pada 2008
dari 22 koruptor yang ditangkap, dua di antaranya perempuan. Kemudian, pada
2011 jumlahnya meningkat lebih dari tiga kali lipat. Fakta ini sekaligus
membantah pernyataan mantan komisioner KPK M Jasin bahwa perempuan selama ini
lebih berperan sebagai pendorong korupsi yang dilakukan lakilaki.
Artinya,
ketika akses ruang publik yang selama ini didominasi kaum laki-laki dibuka juga
untuk perempuan, mereka ternyata sama rentannya dengan laki-laki.
Pertanyaannya, mengapa kerentanan itu terjadi? Karena para `perempuan korup'
itu sedang terjangkit sindrom yang oleh bapak Psikoanalisis Sigmund Freud
disebut sebagai histeria (euforia).
Efek
fatal dari histeria itu adalah melemahnya fungsi superego sebagai pagar penjaga
moralitas yang berkembang di kehidupan sosial seseorang oleh menguatnya ego
secara berlebihan dan berciri destruktif. Manifestasi dari histeria ego adalah
egoisme diri untuk kaya secara instan tanpa memedulikan nasib jutaan orang
lainnya.
Akhirnya, jika sejarah mencatat pelaku
korupsi banyak didominasi kaum laki-laki karena luasnya akses mereka ke
simpul-simpul kekuasaan ekonomi-politik, konklusi itu tampaknya tidak relevan
lagi. Sebab, fenomena mutakhir justru menggambarkan menguatnya feminisasi
korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar