Masa Depan Libya
Said Zaenal Abidin, PENASEHAT KPK
Sumber : KORAN TEMPO, 02 November 2011
Revolusi rakyat Libya sampai pembantaian Muammar Qadhafi merupakan akhir dari babak pertama tentang cerita panjang seorang diktator. Sekaligus merupakan persiapan awal dari babak lanjutan tentang nasib sebuah negara barbar di Afrika Utara itu.Kejatuhan Qadhafi telah lama dapat diperkirakan melihat masa jabatannya yang sangat panjang, sistem pemerintahannya yang otoriter, dan korupsi serta nepotisme yang sudah mencapai puncaknya.Yang menjadi pertanyaan selama ini: bagaimana Qadhafi akan mengakhiri riwayatnya? Namun semua orang tahu bahwa kejatuhannya itu tidak semata-mata karena revolusi rakyat yang sudah lama tidak senang kepada Qadhafi, tetapi juga terutama karena kekuatan senjata NATO yang tidak seimbang dengan kekuatan persenjataan Libya.
Keadaan ini menjadi peringatan bagi semua pemimpin yang menjauh dari rakyatnya,
dan sekaligus menjadi pelajaran bagi pemimpin negara-negara berkembang yang berani bikin gara-gara dengan Amerika Serikat dan negara-negara kapitalis lain yang menguasai dunia sekarang ini. Penangkapan hidup-hidup pemimpin Libya itu sebenarnya memberi kesempatan bagi penguasa Libya untuk melakukan pengusutan dengan membawanya ke pengadilan sebagaimana dilakukan rakyat dan penguasa Irak terhadap Saddam Husein.
Cara pembantaian yang terkesan biadab terhadap seorang pemimpin yang kalah perang memberi gambaran bahwa pada saat ini tidak ada seorang pun pemimpin
yang mampu mengendalikan amarah rakyat di Libya. Sampai batas itu, dapat diperkirakan bahwa pemulihan keadaan untuk menyusun sistem pemerintahan baru
yang stabil dan membangun kembali perekonomiannya memerlukan waktu yang
sangat panjang, untuk tidak mengatakan mustahil. Meskipun Amerika Serikat berjanji
akan membantunya.
Keadaan ini juga memberi petunjuk bahwa masa depan rakyat Libya tidak akan lebih cerah dibandingkan dengan keadaan yang pernah dialami pada masa lampau.Yang akan terjadi mungkin hanya sekadar perubahan bentuk dari penderitaan. Dari pemerintahan diktator yang menindas rakyatnya menjadi negara satelit yang nasibnya bergantung pada kepentingan ekonomi dan politik negara lain.
Sekurang-kurangnya ada tiga faktor yang memperkuat dugaan itu. Pertama, revolusi
rakyat yang semula timbul sebagai akibat dari keadaan yang wajar telah berujung
menjadi perang saudara antarsuku. Perang saudara yang berlangsung secara kejam selalu menyisakan dendam dan menanamkan benih permusuhan yang berkepanjangan
dalam sebuah negara.
Kedua, perlakuan yang tidak wajar terhadap Qadhafi dengan meletakkan jenazahnya
di lantai sebuah mal dekat toko daging di Misrata menunjukkan bahwa yang terjadi bukan sekadar kemarahan rakyat yang sedang dikuasai emosi, tetapi juga sikap pemimpin-pemimpin NTC (National Transitional Council) yang sangat tidak Islami dan tidak berperikemanusiaan. Hal ini membuktikan bahwa mereka tidak mempunyai perspektif ke depan untuk menyusun sebuah pemerintahan yang damai dan berkeadaban.
Ketiga, Amerika Serikat, yang berjanji untuk membantu Libya pasca-kejatuhan
Qadhafi, agaknya tidak akan berusaha secara ikhlas untuk memperbaiki permusuhan
antarsuku itu. Pengalaman permusuhan antara Sunni dan Syiah di Irak akan berulang
kembali di Libya dalam bentuk permusuhan antarsuku. Permusuhan yang menjadi peluang bagi Amerika dan sekutunya untuk masuk dan menguasai minyak Libya sepenuhnya di masa yang akan datang. Jika ini yang akan terjadi, Libya tidak akan pernah mengecap kembali kemerdekaan untuk menentukan nasib di negerinya sendiri. Ini berarti Libya di masa yang akan datang akan berubah menjadi negara satelit yang berfungsi melayani kebutuhan minyak Amerika Serikat tanpa memberi manfaat bagi dirinya sendiri.
Pertanyaan yang mungkin dapat diajukan di sini, sejauh mana negara-negara OKI dapat berperan mencegah negara-negara anggotanya satu per satu menjadi satelit dari Amerika. Melihat pada kemampuan Amerika meredam protes Menlu Rusia Sergei Lavrov terhadap pengeboman yang dilakukan NATO, dapat dipahami
bahwa OKI pun tidak akan mampu mencegahnya. Dan, tidak ada satu pun negara
di dunia pada saat ini yang berkuasa mencegahnya. Yang patut dikhawatirkan, apakah
perang saudara yang sementara ini dimenangi satu pihak akan berlanjut dalam bentuk lain sehingga membelah Libya menjadi lebih dari satu negara? Jawabannya mungkin bergantung pada sejauh mana hal itu akan menguntungkan Amerika Serikat dan sekutunya. ●
Masa depan Libya tergantung apakah Pimpinan Libya yang baru mampu menyatukan tokoh-tokoh masyarakat dan para kepala suku di Libya.
BalasHapus