Selasa, 08 November 2011

Kontroversi Pembebasan Bersyarat


Kontroversi Pembebasan Bersyarat
A.  Ahsin Thohari, DOSEN DI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TRISAKTI
Sumber : KOMPAS, 08 November 2011



Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin dan wakilnya, Denny Indrayana, mengeluarkan kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor.

Akan tetapi, kebijakan tersebut lebih banyak ditentang daripada didukung. Yusril Ihza Mahendra, misalnya, tercatat sebagai salah seorang yang paling kencang mengkritik kebijakan itu sebagai kebijakan yang melangkahi hukum dan undang-undang. Sementara itu, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa kebijakan itu patut diapresiasi, tetapi melanggar hukum.
Bagir Manan menyatakan, kebijakan itu bertentangan dengan asas penegakan hukum. Bahkan, Muladi menilai kebijakan itu inkonstitusional karena tak ada dasar hukum dan melanggar undang-undang. Hanya Indonesia Corruption Watch yang terdengar mendukung kebijakan itu.

Kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat tersebut telah memakan korban. Paskah Suzetta, terpidana kasus cek pelawat, yang seharusnya telah memenuhi syarat mendapatkan pembebasan bersyarat, urung menghirup udara bebas di luar bui.

Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan keinginan untuk mempertegas agenda pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh Kementerian Hukum dan HAM, salah satunya dengan menerapkan kebijakan pengetatan. Masalahnya, ketika penegasan itu bersinggungan dengan legalitas yuridis, substansi kebijakan itu tertelan oleh isu wadah hukum peraturan perundang-undangan yang telanjur diagungkan dalam negara hukum modern.

Dalam beberapa kesempatan, Denny menyatakan, kebijakan itu diambil sesuai Pasal 43 Ayat (4) dan Ayat (5) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP No 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Wacana timpang

Khusus mengenai narapidana yang dipidana karena tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, pemberian pembebasan bersyarat harus memenuhi persyaratan (1) telah menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 2/3, dengan ketentuan 2/3 masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 bulan; (2) berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9 bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 masa pidana; dan (3) telah mendapat pertimbangan dari Dirjen Pemasyarakatan yang wajib memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat.

Konstruksi pasal tersebut mengonfirmasi bahwa satu-satunya hal yang bisa membuat narapidana a quo gagal mendapatkan haknya jika pertimbangan Dirjen Pemasyarakatan dengan memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat menyatakan bahwa narapidana a quo tidak layak mendapatkannya.

Oleh karena itu, kebijakan pengetatan yang diperkenalkan Menteri dan Wakil Menteri Hukum dan HAM seyogianya dibaca dalam koridor bahwa Dirjen Pemasyarakatan diberi kewenangan oleh PP tersebut. Jadi, bukan membuat kebijakan baru yang seolah-olah berada di luar ketentuan PP tersebut.

Mengapa Dirjen Pemasyarakatan diberi kewenangan demikian? Karena menurut konsiderans PP tersebut, pelaku tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya perlu diberi pengaturan yang berbeda dari pelaku tindak pidana lain dalam hal pemberian remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat. PP yang lama perlu ditinjau ulang guna menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat yang berbeda dari sebelumnya.

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada yang berlebihan dalam kebijakan pengetatan. Hanya saja, wacana umum selama ini lebih banyak didominasi oleh sudut pandang pelaku kejahatan di satu sisi, sembari pada saat yang sama abai terhadap agenda pemberantasan korupsi.

Saya ingin menyebut kondisi ini dengan wacana timpang. Substansi kebijakan ini sebenarnya harus dianggap mulia. Ia tak harus kalah oleh arus besar yang kadung gandrung pada formalisme hukum yang lebih berorientasi pada pelaku kejahatan sambil melupakan dampak empiris yang telah diakibatkan oleh kejahatan tersebut.

Ada baiknya kita tak terperangkap dengan jebakan-jebakan pihak tertentu yang ingin menggagalkan agenda pemberantasan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar