Catatan Seorang Peneliti
Tri Ratnawati, PENELITI PUSAT PENELITIAN POLITIK, LIPI
Sumber : KOMPAS, 01 November 2011
Di era Reformasi dengan keterbukaan politiknya pascarezim Soeharto, dinamika politik Indonesia sangat tinggi. Harapan masyarakat terhadap kemajuan dan perbaikan di segala bidang kehidupan juga tinggi.
Tidak mengherankan apabila harapan masyarakat terhadap hasil-hasil penelitian, khususnya bidang ilmu politik, juga tinggi.
Saya juga mengerti apabila ada pihak yang kadang kecewa atas hasil-hasil penelitian kami (lembaga penelitian negeri/pemerintah), yang dinilai ”di bawah” kualitas hasil-hasil penelitian lembaga swadaya masyarakat tertentu yang cukup punya reputasi. Namun, masyarakat perlu juga tahu beberapa kendala yang saya (dan kemungkinan sebagian kawan-kawan peneliti lainnya) hadapi selama ini.
Dana dan sistem yang kaku
Setiap tahun saya dapat dana penelitian dari APBN. Nilainya sangat kecil. Tak jarang saya terpaksa harus merogoh kocek pribadi, atau minta bantuan dana tambahan dari pihak lain, agar hasil penelitian cukup layak untuk dihadirkan kepada publik dan pemerintah.
Pengalaman saya, dana kami cukup (atau dicukup-cukupkan) untuk riset paling lama dua minggu. Selama penelitian, saya menerima ”uang saku” Rp 300.000 per hari. Padahal, dalam praktik, uang saku tersebut sering kali habis untuk makan tiga kali sehari dan keperluan lain di lapangan. Terlebih di daerah-daerah yang tingkat kemahalannya biaya hariannya tinggi seperti di Indonesia bagian timur.
Semua pengeluaran harus ada tanda bukti yang sudah ditentukan persyaratannya oleh pemerintah (misalnya SIM/KTP sopir yang mobilnya saya sewa selama riset lapangan). Sistem pengadministrasian keuangan penelitian yang terlalu kaku merupakan kendala pertama yang harus saya hadapi. Asumsi bahwa semua PNS korup atau suka mencuri barangkali ada pada benak si pembuat peraturan ini.
Masalah kedua soal penginapan/hotel yang sudah ditentukan ”kelasnya” oleh pemerintah. Padahal, sebagai peneliti ilmu sosial yang perlu berbaur dengan masyarakat yang akan diteliti, saya tak perlu hotel bertarif mahal. Peneliti ilmu politik/sosial selayaknya tinggal di rumah penduduk selama riset. Hal itu penting agar peneliti mendapatkan data sebanyak-banyaknya dari masyarakat. Apalagi yang diteliti, misalnya, adalah pejabat atau politisi, maka cek silang dengan warga sangat penting untuk mengurangi bias jawaban pejabat atau politisi yang sering kali berupa ”jawaban standar”, yang baik-baik saja.
Membaca Kompas (26 Oktober 2011), saya berkesimpulan, Menteri Riset dan Teknologi (Ristek) Gusti Muhammad Hatta dalam waktu dekat tak akan menaikkan gaji peneliti meskipun kesenjangan gaji peneliti dengan gaji dosen sangatlah lebar dan sangat tidak manusiawi. Profesor atau guru besar di perguruan tinggi rata-rata berpendapatan Rp 14 juta per bulan berikut sejumlah fasilitas. Profesor riset seperti halnya di LIPI hanya bergaji maksimal Rp 3,6 juta, berikut tunjangan peneliti Rp 1,6 juta per bulan. Menteri Ristek berujar, yang akan dia upayakan terlebih dahulu adalah pengaplikasian hasil-hasil penelitian.
Selama ini hasil-hasil penelitian kami dari Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI telah cukup banyak dimanfaatkan, baik oleh pemerintah maupun publik. Para peneliti senior P2P LIPI juga banyak yang diminta jasanya sebagai konsultan di lembaga pemerintah, atau menjadi staf ahli pejabat-pejabat pemerintah tertentu. Mereka juga banyak menulis atau menjadi narasumber andal di media massa (cetak maupun elektronik).
Jangan membayangkan mereka selalu dapat honor memadai. Tak jarang jasa mereka dipakai, tetapi hanya menerima plakat atau ucapan terima kasih. Saya percaya, sebagian besar peneliti tak ”matre” karena kesadaran yang dalam terhadap fungsi sosial mereka untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengamalkan ilmu yang dimiliki. Saya juga meyakini, masyarakat telah mengenali segelintir oknum peneliti yang merangkap jadi pemburu rente, atau menjadi ”tukang” pada parpol atau politisi tertentu.
Saya berpendapat, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menyatakan bahwa hasil-hasil penelitian kami tidak berguna dan kami dianggap tidak (belum) layak untuk mendapatkan penghargaan yang lebih manusiawi. Perlakuan pemerintah yang diskriminatif terhadap peneliti, jika diteruskan, akan semakin membuktikan betapa rendahnya penghargaan dan pemahaman Pemerintah Indonesia terhadap peneliti, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Penelitian ke depan
Pemerintah jangan menggeneralisasi secara berlebihan. Mungkin benar ada satu atau dua badan/pusat ”litbang-litbang”-an (”penelitian dan pengembangan”) yang tidak produktif, atau tidak jelas hasil kerjanya. ”Litbang-litbang”-an semacam itu kemungkinan ada di hampir semua kementerian dan sering kali hanya jadi tempat ”pembuangan” pegawai ”bermasalah”. Atau tempat bercokol bekas pejabat struktural yang sebenarnya harus pensiun, tetapi kemudian pindah ke jalur fungsional agar pensiunnya bisa ditunda.
Badan/pusat ”litbang jadi-jadian” semacam itulah yang harus segara dievalusi agar tak hanya memboroskan APBN. Badan atau pusat litbang yang tidak serius semacam ini hanya akan merusak sendi- sendi, kode etik penelitian ilmiah, sekaligus melecehkan profesi peneliti.
Jika sistem renumerasi kelak diterapkan pada LIPI dan lembaga penelitian sejenis, hendaknya kebebasan berpikir dan meneliti jangan disunat oleh pemerintah. Pemerintah jangan berkuping tipis, cepat marah atau cepat menelepon kami apabila dikritik. Percayalah bahwa kritik kami proporsional dan disertai alternatif solusi permasalahan yang memadai.
Kebebasan berpikir, menulis, dan meneliti ilmiah merupakan nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh sebagian besar peneliti. Pemerintah sebaiknya mendukung sikap tersebut agar para peneliti mampu memberikan karya-karya terbaik mereka untuk Indonesia dan kemanusiaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar