Generasi Lupa Sejarah
Sarlito Wirawan Sarwono, PSIKOLOG SOSIAL, UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 29 Oktober 2011
Dalam siaran dari salah satu stasiun televisi, John Pantau pernah mewawancarai beberapa anggota DPR di Senayan. John Pantau adalah tokoh jahil yang sudah mengajukan berbagai pertanyaan ke beragam anggota masyarakat.
Pertanyaannya gampang sekali buat anak SD, tetapi tidak terjawab oleh anggota-anggota DPR yang terhormat itu. Lupa, barangkali. Terus dilanjutkan menyanyi ”Indonesia Raya”. Mula-mula semangat, tetapi di tengah-tengah mereka lupa lagi.
Saya menonton adegan itu sudah agak lama, tetapi teringat kembali menjelang Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2011 ini. Saya jadi teringat juga pada pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 1966 yang berjudul Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah).
Ketika itu hampir setahun pasca-peristiwa G30S. Kondisi perekonomian dan politik Indonesia morat-marit. Kata anak sekarang: ”Galau!”
Namun, Jas Merah menyambungkan kembali sejarah yang hampir putus dari era Orde Lama dengan Orde Baru. Akhirnya, walaupun nasib Soekarno kurang baik, bangsa dan negara Indonesia berlanjut. NKRI tetap utuh bersatu di bawah Pancasila dan UUD 1945. Bahkan pernah diperhitungkan sebagai salah satu ”macan Asia” dalam ekonomi.
Orde Baru ke Reformasi
Lain halnya dengan peralihan dari era Orde Baru ke Reformasi. Elite politik generasi Reformasi tampaknya tidak suka pada sejarah. Tidak mau menengok pada sejarah. Dengan kata lain: mereka asejarah.
Semua yang berbau Orde Baru ditinggalkan, termasuk ajaran-ajarannya. UUD 1945 pun diamandemen sampai dua kali. Maka saya tidak heran mengapa sampai ada anggota-anggota DPR yang tidak hafal Pancasila dan ”Indonesia Raya”. Mungkin buat mereka itu tidak penting.
Namun, gejala asejarah ini bukan khas Indonesia. Seluruh dunia sekarang ingin sesuatu yang baru. Tinggalkan semua masa lalu yang kelam. Unjuk rasa, perang, teror, revolusi di mana-mana. Setelah reformasi Indonesia, Timur Tengah menyusul, Eropa Barat, bahkan sekarang Amerika Serikat. Ribuan orang berdemo ke Wall Street di New York dan baku pukul dengan polisi. Suatu pemandangan yang pada tahun 1998-1999 biasa kita saksikan di sekitar Semanggi, Bundaran Hotel Indonesia, dan Cendana (sekarang sudah menyebar ke daerah-daerah juga).
Semua mau baru. Malah Pemerintah Indonesia yang baru (Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono) sudah dituntut untuk diganti lagi. Padahal, menurut konstitusi yang juga masih baru, presiden dipilih langsung lima tahun sekali. Hanya gara-gara presiden kurang tegas, kurang cepat, dan dinilai salah menyusun kabinet baru, dia harus turun, walau dengan cara yang inkonstitusional.
Terus yang baru itu seperti apa? Soeharto masih bisa menjaga kesinambungan dengan menyerahkan kekuasaan kepada Wapres BJ Habibie. Sekarang? Boediono juga diminta turun dalam satu paket dengan SBY. Jadi bagaimana? Saya yakin kalau pertanyaan ini disampaikan kepada yang sekarang ribut-ribut minta SBY-Boediono mundur, jawabannya akan simpang siur, alias tidak ada jawaban.
Tidak punya jawaban, tidak dipikir dulu, pokoknya asal baru. Inilah yang jadi tren generasi sekarang. Kalau ada ponsel baru, pokoknya harus punya! Yang lama diganti sama yang baru. Tidak perlu dipikir apakah yang lama masih bisa dipakai dan untuk beli baru duitnya dari mana.
Mau serba gampang
Generasi sekarang, karena kemajuan teknologi yang begitu pesat, berpikir bahwa semua bisa dilakukan dengan gampang, Nyaris tanpa usaha, seperti membalik telapak tangan. Karena itu, setiap ada pergantian pejabat, langsung ada ultimatum: 100 hari. Artinya, kalau tidak bisa membereskan semua masalah dalam 100 hari, kamu mundur saja lagi!
Saya jadi bertanya-tanya, dengan generasi yang sekarang (bukan hanya generasi muda, melainkan juga semua yang hidup pada masa ini), yang cuma mau melihat ke depan dan tidak mau melihat sejarah, apakah Sumpah Pemuda masih punya makna untuk keabadian NKRI?
Tanpa mengingat sejarah, bagaimana kita mempertahankan NKRI dalam kasus Abepura atau NII atau sengketa perbatasan dengan Malaysia? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar