Mendengar sebutan Koruptor, pikiran kita biasanya mengacu pada orang yang secara licik memperkaya diri dengan cara menggarong uang negara. Karena korupsi di Indonesia telah demikian membudaya dan meluas, merambah ke hampir semua aspek kehidupan anak bangsa, ia dipandang sebagai suatu kejahatan yang luar biasa yang memerlukan cara-cara yang luar biasa pula untuk mengatasinya.
Namun bagaimanapun, menurut saya, kita harus pintar-pintar memilah (jangan cuma bisa meng-“gebyah uyah”, menyamaratakan) antara korupsi-teri (corruption by need) dan korupsi-kakap (corruption by greed), antara korupsi-hanya-melanggar- prosedur dan korupsi-mengambil-uang-negara. Walaupun mereka semua menyandang predikat Koruptor, dan walaupun mereka semua disumpah-serapahi oleh ICW dan para aktivis LSM lainnya.
Dalam praktek, definisi korupsi dan hukum yang berlaku saat ini, yang merupakan Kitab Suci bagi para Hakim dan Penegak Hukum Kita, seringkali tidak mampu melihat Keadilan yang bersembunyi dalam gelap. Tidak jarang produk dan putusan mereka justru berbuah ironi Ketidakadilan, menyalahkan yang Benar dan membenarkan yang Salah. Entah sudah berapa banyak mereka yang telah menjadi Korban. Dan ketika para Korban tersebut telah secara resmi menyandang predikat sebagai Koruptor, saya khawatir dua hal akan terjadi. Pertama, tidak akan ada lagi orang yang berani melawan (melanggar) Hukum yang Korup. Kedua, anak-anak para Korban kelak akan menyesal menyandang predikat sebagai Anak Koruptor. Padahal sungguh tidak sepeserpun uang negara yang dicuri oleh orangtua mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar