Senin, 03 Agustus 2015

Sepotong Puisi

Sepotong Puisi

Trias Kuncahyono ;   Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 02 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Penyakitku tak terobati, wahai sahabatku laksana bunga. Hidupku tak berarti tanpamu, wahai sahabatku laksana bunga. Sambil berbaring, Mullah Mohammad Omar menggumamkan ghazal, puisi tradisional Afganistan itu. Ia meratapi nasibnya setelah wajah dan mata kanannya terkena serpihan granat Rusia dalam pertempuran di Sangesar, sebelah barat Kandahar, Afganistan selatan, awal 1980-an. Serpihan granat membutakan mata kanannya. Omar dikirim ke Pakistan untuk menjalani perawatan.

Sangesar inilah tempat lahir Taliban (1994), yang oleh Steve Coll disebut sebagai "kelompok para veteran perang" (The New Yorker, 22/1/2012). Para veteran ini dulu sama-sama sekolah agama di Kandahar sebelum invasi Rusia. Di masa itu, Afganistan, terutama Kandahar, menikmati zaman kesentosaan. Banyak anak muda sekolah di sana. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang berasal dari suku-suku aristokratik, yang dikenal dengan sebutan payluch, suka mengisap hashish serta cenderung menikmati hidup dan bermalas-malasan. Kedua, kelompok talibs, siswa-siswa sekolah agama, pesantren. Kelompok kedua inilah yang kemudian hari bersatu, disebut Taliban, dan dipimpin oleh Mullah Omar (lahir antara 1959 dan 1962).

Kisah hidup Mullah Omar kembali ditulis dan diperbincangkan setelah beberapa hari silam ia diberitakan meninggal. Bukan kali ini saja. Dua tahun lalu, pemimpin Taliban yang diburu-buru AS-seperti dahulu Osama bin Laden pemimpin Al Qaeda-itu sudah dikabarkan mati. Namun, bernasib lebih baik dibandingkan Osama yang dihabisi AS di Abbottabad, Pakistan, 2 Mei 2011, Mullah Omar diberitakan mati karena sakit.

Mullah Omar, Osama (yang bertemu dengan Mullah Omar pada Mei 1996 di Kandahar dan Osama menyatakan kesetiaannya kepada Mullah Omar), dan sekarang Abu Bakar al-Baghdadi pemimpin NIIS (pernah bergabung dengan Osama di Afganistan) adalah para tokoh yang membuat orang bertanya-tanya, apakah benar sepenuhnya hipotesis Samuel P Huntington tentang benturan peradaban itu.

Pada 22 tahun lalu, profesor politik kondang dari Universitas Harvard, AS, itu menulis esai tentang benturan peradaban. Esai berjudul "The Clash of Civilization?" yang dimuat di Foreign Affairs (1993) itu merupakan hipotesisnya tentang masa setelah konfrontasi ideologi antara komunisme dan kapitalisme berakhir. Menurut Huntington, saat masa konfrontasi ideologis berakhir, akan muncul konflik di antara negara-negara yang berbeda kultur dan agamanya.

Huntington menulis, sumber fundamental konflik dalam dunia baru terutama bukan lagi ideologi dan ekonomi, melainkan kultural. Negara bangsa tetap menjadi aktor kekuatan paling utama dalam masalah-masalah dunia, tetapi konflik utama dari politik global terjadi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok yang berbeda peradaban. Konflik peradaban ini akan mendominasi politik global. Namun, menurut Moises Naim (The Clash within Civilization), konflik mematikan yang terjadi sekarang ini justru "dalam peradaban, bukan antarperadaban". Sepak terjang Taliban dan NIIS, misalnya, membenarkan pendapat Naim itu. Memang konflik antarperadaban seperti yang diperkirakan Huntington masih juga terjadi atau ada.

Pendapat Naim itu didukung data yang disodorkan oleh Global Terrorism Index yang dibuat Institute for Economics and Peace. Selama 2013, hampir 18.000 orang tewas di seluruh dunia karena serangan teroris. Sebanyak 82 persen adalah korban di Irak, Afganistan, Pakistan, Nigeria, dan Suriah. Sebanyak 66 persen korban itu dieksekusi oleh NIIS, Boko Haram, Taliban, atau Al Qaeda. Mereka mengklaim bertanggung jawab. Sementara di AS, menurut studi New America, sejak tragedi 9/11, serangan teroris lebih banyak dilakukan oleh kaum supremacist kulit putih dan kelompok sayap kanan lain. Dylann Roof (21), misalnya, menembak mati sembilan orang di sebuah gereja di Charleston, 17 Juni 2015 lalu.

Mengapa roh terorisme bisa masuk ke mana-mana, tak peduli apa budaya pemilik tubuh yang dirasukinya. Barangkali benar yang dikatakan pada abad pertengahan lalu oleh Richard dari Biara St Victor, Paris, yakni ubi amor, ibi oculus, 'di mana ada cinta, di situ ada mata'. Cinta menyajikan kebenaran yang paling benar. Namun, cinta seperti itulah yang kini nyaris hilang di banyak tempat di dunia ini karena mata hati telah buta sehingga ghazal indah yang digumamkan Mullah Omar pun tak ada artinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar