Ancaman
Kutukan Belenggu Koalisi
Asmadji As Muchtar ; Dosen pascasarjana UII Yogyakarta,
Wakil Rektor III Unsiq Wonosobo, Jawa Tengah
|
SINAR
HARAPAN, 11 Juli 2014
Setelah memilih calon presiden dan calon wakil presiden
(capres-cawapres), kini rakyat dihadapkan kepada ancaman kutukan belenggu
koalisi. Jika pemenang pemilihan presiden (pilpres) nanti betul-betul
terbelenggu koalisi yang mendukungnya, sangat mungkin pemerintahan yang
dibentuknya mirip dengan pemerintahan sebelumnya, serbalambat dan banyak
kementerian yang berkinerja sangat buruk.
Ancaman belenggu koalisi tersebut tampaknya sangat jelas membayangi
capres-cawapres nomor 1. Ini karena di berbagai kesempatan telah melontarkan
rencana memberikan kursi menteri ke sejumlah ketua partai politik (parpol)
dan pihak-pihak tertentu yang mendukungnya.
Sementara itu, capres-cawapres nomor 2 dari jauh-jauh hari sudah tegas
menolak belenggu koalisi. Dalam hal ini, partai-partai yang mendukungnya
konon tidak membebani syarat harus memperoleh jatah kursi menteri kalau
berhasil menang pilpres.
Namun, penegasan capres-cawapres nomor 2 yang menolak belenggu koalisi
bisa saja tetap tidak akan membebaskannya dari ancaman belenggu koalisi.
Sebagai contoh, partai-partai yang mendukungnya berubah sikap dan mengancam
menarik dukungannya di parlemen sehingga stabilitas politik bisa goncang,
kecuali mereka diberi jatah kursi menteri.
Layak dicermati, dalam ranah politik, perubahan sikap partai memang
bisa saja terjadi. Pepatah bilang, pagi tahu sore tempe. Sebelum pilpres bisa
saja partai-partai bersedia berkoalisi tanpa syarat, tapi setelah pilpres,
bisa jadi syarat baru muncul untuk mempertahankan koalisi.
Bisa juga koalisi tanpa syarat sebelum pilpres hanya strategi untuk
meraup dukungan rakyat yang berharap pemerintahan berikutnya betul-betul
bebas dari belenggu koalisi. Hal demikian bukan mustahil dalam ranah politik.
Seperti premis klasik: tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan
abadi. Padahal, kepentingan bisa berubah-ubah setiap saat.
Kutukan
Multipartai
Ancaman belenggu koalisi akan selalu membayangi setiap pemerintahan
yang dihasilkan pilpres selama sistem multipartai berlaku. Karena itu, siapa
pun yang menang pilpres akan kesulitan membentuk pemerintahan yang efektif
dan solid karena keberagaman anggota kabinet pasti sulit ditertibkan.
Dalam hal ini, sistem multipartai bisa menjelma menjadi kutukan bagi
pemenang pilpres yang didukung kekuatan koalisi yang terdiri atas sejumlah
partai. Ini seperti yang terjadi sejak era Reformasi, pemerintahan yang
selalu tidak efektif dan kurang solid menjadi fakta dan realitas yang sulit
diubah karena komposisi kabinet tetap saja berasal dari multipartai.
Jika kita ingin menepis ancaman belenggu koalisi, hanya ada satu jalan,
yakni mengubah sistem multipartai menjadi sistem dua partai saja. Sayang
sekali, hal ini dianggap mustahil oleh banyak pihak di negeri ini.
Harus diakui, banyak pihak menganggap mustahil mengubah sistem
multipartai karena memang diuntungkan olehnya. Lebih konkretnya, semua elite
politik pasti mendukung penuh multipartai karena sistem itulah yang membuat
mereka bebas mendirikan partai baru kalau partai lama dianggap sudah tidak sesuai
dengan kepentingan politiknya.
Dengan kata lain, kutukan multipartai adalah risiko politik yang harus
diterima bangsa ini selama jajaran elite politik mendukung penuh sistem
multipartai. Di titik ini, kepentingan politik mereka menjadi jelas tidak
untuk bangsa dan negara,
tetapi hanya untuk diri mereka sendiri. Konkretnya, jika mereka ingin
menjadi ketua partai (agar selanjutnya berpotensi menjadi menteri),
keinginannya itu akan mudah terpenuhi selama sistem multipartai tetap
berlaku.
Pertobatan
Politik
Jika ada pertanyaan, siapakah yang mampu menepis ancaman belenggu
koalisi sebagai kutukan sistem multipartai? Jawabnya, siapa lagi kalau bukan
presiden pemenang pilpres.
Jika pemenang pilpres nanti memang betul-betul ingin membangun pemerintahan
yang efektif dan solid, ia harus berani menjadi pemimpin yang menghapus
sistem multipartai. Dalam hal ini, regulasi yang menjadi dasar berlakunya
sistem multipartai harus diubah atau diganti dengan regulasi baru untuk
mendasari sistem dwipartai.
Dengan kata lain, jika sistem multipartai layak dianggap hanya
mengabadikan kutukan koalisi atau bisa dianggap sebagai dosa politik,
selayaknya segera ditobati secara politik. Artinya, pemenang pilpres nanti
layak mengajak semua pihak, terutama jajaran elite politik, melakukan
pertobatan politik agar bangsa dan negara kita tidak terus-menerus menjadi
korban kutukan politik, berupa belenggu koalisi.
Pertobatan politik harus dimaknai sebagai pencerahan politik menuju
sistem dwipartai atau meninggalkan sistem multipartai untuk selama-lamanya.
Merujuk data empiris di sejumlah negara, pertobatan politik di negara
kita tentu bukan hal yang mustahil. Tampilnya dua capres dalam pilpres adalah
fakta politik baru. Berdasarkan dua koalisi partai-partai yang bisa terjadi,
sistem dwipartai pasti bisa terwujud pula.
Jika pertobatan politik sudah bisa dilakukan, sistem dwipartai bisa
diwujudkan. Jadi, pilpres-pilpres berikutnya pasti menghasilkan pemenang yang
mampu membangun pemerintahan yang efektif dan solid, tanpa dibayang-bayangi
belenggu koalisi lagi. Ini sebagaimana yang terjadi di sejumlah negara maju.
Dengan demikian, selayaknya pemenang pilpres berani mengajak semua
pihak bersiap-siap melakukan pertobatan politik sebagai upaya menepis ancaman
kutukan belenggu koalisi yang identik dengan pemerintahan korup sebagai efek
domino sistem multipartai.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar