Sabtu, 08 Februari 2014

Beban Berat Partai Islam

Beban Berat Partai Islam

FS Swantoro   ;  Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate
MEDIA INDONESIA,  07 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
MEMBUKA kembali kalender 2013 hingga Januari 2014, agak mencemaskan bagi nasib partai-partai Islam. Pasalnya, hasil survei berbagai lembaga menunjukkan partai Islam menghadapi tekanan berat. Apalagi jika Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo maju sebagai calon presiden (capres) 2014, diprediksi hanya dua partai Islam yang lolos ke Senayan. Karena itu, jangan sampai Pemilu 9 April nanti menjadi ‘kuburan’ bagi partai-partai Islam.

Situasi pelik tersebut antara lain dipicu stigma negatif kelompok Islam garis keras yang sering bikin ulah, minimnya tokoh anutan dari partai Islam, dana partai terbatas, dan jargon almarhum Nurcholish Madjid ‘Islam yes Partai Islam no’, era 70-an, masih menjadi beban bagi partai Islam. Dalam negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, partai Islam seharusnya mendapat porsi suara optimal dalam setiap kontestasi politik (Danis T Saputra, 2013). Faktanya, sejak Pemilu 1955 hingga 2009, partai Islam hanya menempati posisi pinggiran. Suaranya tidak pernah menjadi arus utama dalam preferensi dan pilihan-pilihan politik publik.

Perhitungan hasil suara enam partai Islam seperti PKS, PAN, PPP, PKB, PBB, dan PKNU pada Pemilu 2009 secara akumulatif memperoleh 43,7%. Namun, jumlah itu lebih kecil dari akumulasi suara partai nasionalis yang 51,7%. Lantas, bagaimana partai Islam menyikapi persoalan pelik itu, dan mengapa partai Islam mudah tergusur?

Tantangan berat

Sampai sekarang, pemahaman masyarakat tentang pemilu masih warisan Orde Baru, yakni sebagai pesta demokrasi dan satu-satunya kesempatan bagi publik terlibat langsung dalam proses demokrasi. Akibatnya, mayoritas warga terutama yang di perdesaan kurang paham tentang makna pemilu yang sesungguhnya.

Karena itu, pemilu masih dipahami secara kontradiktif. Di satu sisi, sebagai pesta hurahura dengan pawai kendaraan bermotor yang bebas aturan.

Pada sisi lain, berbaur dengan tindakan serius tentang pentingnya suara rakyat dalam menentukan masa depan bangsa. Akibatnya di panggung, para juru kampanye berpidato berapi-api, serius, tapi massa tak peduli.

Dalam konteks itu, lantas apa kita yakin pesan yang disampaikan juru kampanye sampai ke telinga massa pendukung partai? Atau apa kita yakin, aspirasi yang diteriakkan massa di bawah panggung didengar para juru kampanye? Apakah kita juga yakin Pemilu 2014 bebas dari politik uang, jual beli suara, bagi-bagi sembako, dan serangan fajar?

Dengan demikian, pemilu nanti memaksa kita mematok keyakinan pada tingkat terendah. Kebijakan warisan politik Orde Baru itu melalui massa mengambang ikut membangun jarak yang renggang antara rakyat dan politik keseharian. Dampaknya, proses politik menjadi instan dan tokoh anutan ikut menentukan pilihan seseorang.
Karena itu, kemenangan partai dalam pemilu masih dipengaruhi oleh; 1) tokoh anutan; (2) isu-isu yang disampaikan partai politik; (3) dana yang dimiliki partai; dan (5) peran media, termasuk media sosial.

Atas dasar itu, ada empat asumsi yang relevan untuk melihat Pemilu 9 April nanti. Pertama, keputusan memilih bagi publik masih ditentukan faktor emosi dan tokoh anutan, alih-alih berdasarkan rasionalitas pemilih. Kedua, indeks kompetisi antar partai yang tertinggi terjadi di Jawa-Bali. Ketiga, iklan media. Keempat, dana partai.

Asumsi itu menjadi warning bagi partai Islam untuk Pemilu 2014. Apalagi harus diakui, masih minimnya tokoh anutan seperti Moh Natsir, Dr Sukiman, Wahid Hasyim, HJ Naro, Gus Dus, dan Nurcholish Madjid untuk sekadar contoh, membuat partai Islam akan sulit meraih suara optimal.

Selain itu, secara ideologis partai Islam membawa peran agak rumit. Sebagai institusi, partai ini membawa misi spiritual ke dalam praktik politik yang bersifat profan sehingga harus dibedakan antara partai dan ormas keagamaan dalam konteks perjuangan spiritualitas agama. Sebagai institusi yang didukung komunitas keagamaan, tugas partai Islam seharusnya mengusahakan agar doktrin keagamaan dapat memperoleh tempat yang semestinya dalam konteks politik negara. Lebih dari itu, partai Islam berdiri dalam asumsi sebagai wakil konstituen tradisional, padahal muslim tradisional mulai berpaling ke partai nasionalis.

Kerumitan lain, soal dana. Minimnya dana menjadi beban bagi partai Islam untuk membangun infrastruktur atau mesin partai. Perolehan suara dalam pemilu berkorelasi dengan uang yang ditaburkan elite partai. Contoh Partai Golkar, PDIP, Partai Demokrat, Ger indra, Hanura, dan NasDem lebih siap secara finansial ketimbang PKB, PPP, PAN, PKS, dan PBB. Soal dana ini membuat partai nasionalis lebih siap mendanai aktivitas kampanye dan membangun citra partai.

Partai nasionalis lebih aktif mengakomodasi kepentingan kelompok Islam seperti PDIP lewat Baitul Muslimin, Partai Golkar dengan Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), serta Partai Demokrat dengan Majelis Dzikir SBY. Dengan demikian, mereka leluasa merangkul kelompok Islam, yang dampaknya di mata publik tokoh Islam diakomodasi dan dijadikan caleg pada pemilu nanti.

Lantas, soal media. Harus diakui bahwa media menjadi beban tersendiri bagi partai Islam. Padahal, media dapat menjadi instrumen bagi pencitraan partai. Kaitannya bisa dilihat dari aktivitas media ketika menyampaikan isu yang ditawarkan partai lewat kampanye pemilu. Media dapat menyajikan sisi lain dari partai politik sehingga citra partai akan terangkat. Peran media ini penting bagi keberadaan partai ke depan. Soal media juga menjadi beban berat karena partai Islam tidak punya media seperti Partai Golkar, Hanura, dan NasDem.

Berpikir ulang

Fakta historis itu memperlihatkan secara meyakinkan bahwa kekuatan riil partaipartai Islam tidak berdampak secara signifikan terhadap strategi pemenangan mereka pada pemilu nanti. Pada aspek lain, secara sosiologis, mayoritas masyarakat muslim Indonesia tidak lagi tertarik dengan isu-isu keagamaan untuk pendirian negara Islam, misalnya, yang sering menimbulkan konflik di tengah pluralitas masyarakat kita. 

Problem keseharian masyarakat ialah ekonomi dan finansial. Untuk itu, partai Islam 
harus berani berpikir ulang mengubah isu dan strategi kampanye pemilu. Mengapa?
Karena, menguatnya pandangan pragmatis dan transaksional terhadap berbagai dinamika politik belakangan ini menjadi faktor dominan dan beban berat partai Islam. Ideologi tidak lagi dipandang sebagai sebuah tata nilai keyakinan, melainkan tata operasional yang harus berujung pada realisasi kemakmuran ekonomi. Pendek kata, hukum besi Lasswell, Siapa, mendapat apa, kapan, dan bagaimana’, masih sulit dihilangkan dari panggung politik nasional kita.

Oleh sebab itu, sistem politik apa pun menjadi kurang penting selama keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia tidak dikumandangkan secara lantang oleh partai Islam. Pada pemilu nanti partai Islam harus berani mengubah strategi untuk pemenangan pemilu secara mendasar guna mengobati kekecewaan pemilih tradisional (konstituen) meraih kepercayaan dengan mengevaluasi peran partai Islam di masa mendatang. Itu pekerjaan rumah terberat bagi partai Islam untuk meraih suara optimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar