Proklamasi dan
Idul Fitri
|
Ahmad Erani Yustika ; Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef
|
JAWA
POS, 17 Agustus 2012
PERINGATAN proklamasi kemerdekaan ke-67 RI kali ini terjadi berimpit dengan
datangnya Idul Fitri (Lebaran). Dua momen ini menarik karena memiliki makna
yang nyaris sama.
Proklamasi dan Idul Fitri sama-sama melambangkan kemenangan atas perjuangan insaniah. Proklamasi kemerdekaan merupakan puncak kemenangan dari penjajahan. Sementara itu, Idul Fitri, bagi kaum muslim, merupakan perayaan kemenangan atas perjuangan mengendalikan hawa nafsu (khususnya yang bersifat material) selama sebulan penuh (Ramadan).
Menariknya lagi, kemanfaatan dan keberkahan proklamasi dan Idul Fitri tidak semata dilihat pada saat peringatan puncak peristiwa itu, namun ketika usai proklamasi dikumandangkan dan takbir Idul Fitri dialunkan.
Sesat Kebijakan
Teks proklamasi tidak menyodorkan substansi yang mesti dikerjakan oleh bangsa ini dalam mengisi kemerdekaan. Namun, seperti yang sudah kerap diulang, kemerdekaan tak lain merupakan "jembatan emas" untuk mewujudkan cita-cita kemakmuran ekonomi dan keadilan sosial.
Sejarah mencatat, pembangunan yang dijalankan sejak kemerdekaan hingga sekarang sudah menghasilkan capaian-capaian yang bisa dibanggakan (tentu dengan segala cacatnya). Sarana infrastruktur ekonomi makin hari dapat dinikmati oleh masyarakat, mulai jalan, jembatan, irigasi, bendungan, pelabuhan, bandara, hingga telekomunikasi.
Tingkat pendidikan rakyat kian baik yang ditandai berdirinya sekolah-sekolah dari Sabang sampai Merauke, dari SD sampai perguruan tinggi. Pendapatan per kapita masyarakat terus meningkat hingga masuk ke dalam kategori negara berpendapatan menengah-bawah. Tentu saja masih banyak lagi simbol kemajuan ekonomi lainnya yang dapat dideretkan.
Sungguhpun begitu, penilaian sekilas itu kerap ditampik oleh banyak pihak (di luar pemerintah). Sebab, data itu tidak paralel dengan situasi kebatinan yang dirasakan rakyat. Sebagian masyarakat merasa beban hidup makin tak tertanggungkan. Harga pangan kian tak terjangkau, kepemilikan sawah makin menyusut, nelayan kehilangan mata pencaharian, pedagang kecil terus digusur, sektor informal yang makin menjamur, dan buruh-buruh hidup berdesakan di kamar-kamar sempit sekitar pabrik.
Perasaan hidup yang sulit itu ternyata didukung data lainnya bahwa ketimpangan pendapatan menembus batas yang tak pernah dialami sebelumnya, yakni gini rasio/GR (alat ukur ketimpangan pendapatan) mencapai 0,41 (2011). Sebelum krisis ekonomi 1997/1998, GR hanya sekitar 0,32-0,33, tapi setelah reformasi ekonomi malah memburuk. Artinya, peningkatan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi hanya memusat pada lapisan atas masyarakat.
Mengapa itu terjadi? Banyak cara untuk menjelaskan ini, namun secara sederhana bisa dideskripsikan dengan jalan ini. Pertama, rakyat (bawah) telah kehilangan aset ekonomi, khususnya lahan, sehingga kemampuannya untuk mengakumulasi pendapatan kian lemah. Sebaliknya, korporasi atau pemilik modal tidak dibatasi kepemilikan lahan atau kebun sehingga bisa menguasai jutaan hektare kebun maupun puluhan ribu hektare lahan perumahan.
Kedua, 75 persen investasi bersumber dari modal asing (PMA) sehingga pertumbuhan ekonomi (yang bersumber dari investasi) dan peningkatan pendapatan sebagian (besar) bukanlah milik warga Indonesia. Ketiga, kebijakan pemerintah makin melemahkan sektor ekonomi yang selama ini dihuni sebagian besar tenaga kerja (sesat kebijakan), yaitu pertanian dan industri (yang mengolah sumber daya domestik). Sektor pertanian dan industri tumbuh tak jauh dari bumi dipijak. Namun, untuk sektor non-tradeable, pertumbuhannya menyundul langit.
Lapar Terus-menerus
Lantas, apakah sesat kebijakan itu juga menular kepada reduksi makna kemenangan atas hawa nafsu yang dibopong nilai Idul Fitri? Intinya begini: pembangunan ternyata juga menyuburkan keserakahan dan memfasilitasi pemujaan materi tiada bertepi. "Greed is good" ala Gordon Gekko merupakan semboyan ekonomi hari ini. Makna pembangunan yang seharusnya diartikulasikan sebagai peningkatan kapabilitas manusia (jasmani dan rohani) jatuh sebatas proyek akumulasi materi tanpa batas. Tentu saja materi penting untuk menopang kemajuan dan kualitas hidup, tapi keberadaannya tidak boleh menindih pusat hidup yang lain: spiritualitas.
Inilah yang hilang dari proyek pembangunan ini. Sensitivitas sosial ditelan oleh motif akumulasi ekonomi hingga meruntuhkan sendi-sendi kemanusiaan itu sendiri. Tubuh manusia tak lagi merdeka, tapi mirip papan iklan. Aneka merek menempel dan bergelantungan di kepala, mata, dada, perut, pergelangan tangan, bahkan gigi. Sedihnya, pesan Ramadan tak juga mampu menaklukkan perkara itu.
Ketika materi menjadi berhala dan menyingkirkan spiritualitas maupun sensitivitas sosial, dengan mudah aturan main (regulasi) ditabrak dan etika ditubruk. Penyelenggara negara tidak sungkan menjarah anggaran rakyat dan rakyat tak malu menadah barang haram, semuanya demi mencekoki kepuasan lahiriah yang tanpa batas dengan jalan instan.
Pencarian materi disokong oleh iman ''makan sebelum lapar", tapi tidak dipagari oleh nilai ''berhenti sebelum kenyang". Modernisasi ekonomi telah mematikan saraf manusia untuk mendefinisikan rasa kenyang sehingga perut tak pernah merasa penuh meski aneka makanan dan minuman telah ditelan. Sebaliknya, paham materialisme menghidupkan secara total impuls lapar yang terus-menerus. Rasanya tak ada kombinasi yang lebih sempurna dalam menciptakan kerusakan ketimbang persekutuan dua hal ini: sesat kebijakan dan materialisme pembangunan.
Semoga proklamasi dan Idul Fitri dapat menyentak kita untuk kembali ke nilai-nilai agung kemanusiaan. ●
Proklamasi dan Idul Fitri sama-sama melambangkan kemenangan atas perjuangan insaniah. Proklamasi kemerdekaan merupakan puncak kemenangan dari penjajahan. Sementara itu, Idul Fitri, bagi kaum muslim, merupakan perayaan kemenangan atas perjuangan mengendalikan hawa nafsu (khususnya yang bersifat material) selama sebulan penuh (Ramadan).
Menariknya lagi, kemanfaatan dan keberkahan proklamasi dan Idul Fitri tidak semata dilihat pada saat peringatan puncak peristiwa itu, namun ketika usai proklamasi dikumandangkan dan takbir Idul Fitri dialunkan.
Sesat Kebijakan
Teks proklamasi tidak menyodorkan substansi yang mesti dikerjakan oleh bangsa ini dalam mengisi kemerdekaan. Namun, seperti yang sudah kerap diulang, kemerdekaan tak lain merupakan "jembatan emas" untuk mewujudkan cita-cita kemakmuran ekonomi dan keadilan sosial.
Sejarah mencatat, pembangunan yang dijalankan sejak kemerdekaan hingga sekarang sudah menghasilkan capaian-capaian yang bisa dibanggakan (tentu dengan segala cacatnya). Sarana infrastruktur ekonomi makin hari dapat dinikmati oleh masyarakat, mulai jalan, jembatan, irigasi, bendungan, pelabuhan, bandara, hingga telekomunikasi.
Tingkat pendidikan rakyat kian baik yang ditandai berdirinya sekolah-sekolah dari Sabang sampai Merauke, dari SD sampai perguruan tinggi. Pendapatan per kapita masyarakat terus meningkat hingga masuk ke dalam kategori negara berpendapatan menengah-bawah. Tentu saja masih banyak lagi simbol kemajuan ekonomi lainnya yang dapat dideretkan.
Sungguhpun begitu, penilaian sekilas itu kerap ditampik oleh banyak pihak (di luar pemerintah). Sebab, data itu tidak paralel dengan situasi kebatinan yang dirasakan rakyat. Sebagian masyarakat merasa beban hidup makin tak tertanggungkan. Harga pangan kian tak terjangkau, kepemilikan sawah makin menyusut, nelayan kehilangan mata pencaharian, pedagang kecil terus digusur, sektor informal yang makin menjamur, dan buruh-buruh hidup berdesakan di kamar-kamar sempit sekitar pabrik.
Perasaan hidup yang sulit itu ternyata didukung data lainnya bahwa ketimpangan pendapatan menembus batas yang tak pernah dialami sebelumnya, yakni gini rasio/GR (alat ukur ketimpangan pendapatan) mencapai 0,41 (2011). Sebelum krisis ekonomi 1997/1998, GR hanya sekitar 0,32-0,33, tapi setelah reformasi ekonomi malah memburuk. Artinya, peningkatan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi hanya memusat pada lapisan atas masyarakat.
Mengapa itu terjadi? Banyak cara untuk menjelaskan ini, namun secara sederhana bisa dideskripsikan dengan jalan ini. Pertama, rakyat (bawah) telah kehilangan aset ekonomi, khususnya lahan, sehingga kemampuannya untuk mengakumulasi pendapatan kian lemah. Sebaliknya, korporasi atau pemilik modal tidak dibatasi kepemilikan lahan atau kebun sehingga bisa menguasai jutaan hektare kebun maupun puluhan ribu hektare lahan perumahan.
Kedua, 75 persen investasi bersumber dari modal asing (PMA) sehingga pertumbuhan ekonomi (yang bersumber dari investasi) dan peningkatan pendapatan sebagian (besar) bukanlah milik warga Indonesia. Ketiga, kebijakan pemerintah makin melemahkan sektor ekonomi yang selama ini dihuni sebagian besar tenaga kerja (sesat kebijakan), yaitu pertanian dan industri (yang mengolah sumber daya domestik). Sektor pertanian dan industri tumbuh tak jauh dari bumi dipijak. Namun, untuk sektor non-tradeable, pertumbuhannya menyundul langit.
Lapar Terus-menerus
Lantas, apakah sesat kebijakan itu juga menular kepada reduksi makna kemenangan atas hawa nafsu yang dibopong nilai Idul Fitri? Intinya begini: pembangunan ternyata juga menyuburkan keserakahan dan memfasilitasi pemujaan materi tiada bertepi. "Greed is good" ala Gordon Gekko merupakan semboyan ekonomi hari ini. Makna pembangunan yang seharusnya diartikulasikan sebagai peningkatan kapabilitas manusia (jasmani dan rohani) jatuh sebatas proyek akumulasi materi tanpa batas. Tentu saja materi penting untuk menopang kemajuan dan kualitas hidup, tapi keberadaannya tidak boleh menindih pusat hidup yang lain: spiritualitas.
Inilah yang hilang dari proyek pembangunan ini. Sensitivitas sosial ditelan oleh motif akumulasi ekonomi hingga meruntuhkan sendi-sendi kemanusiaan itu sendiri. Tubuh manusia tak lagi merdeka, tapi mirip papan iklan. Aneka merek menempel dan bergelantungan di kepala, mata, dada, perut, pergelangan tangan, bahkan gigi. Sedihnya, pesan Ramadan tak juga mampu menaklukkan perkara itu.
Ketika materi menjadi berhala dan menyingkirkan spiritualitas maupun sensitivitas sosial, dengan mudah aturan main (regulasi) ditabrak dan etika ditubruk. Penyelenggara negara tidak sungkan menjarah anggaran rakyat dan rakyat tak malu menadah barang haram, semuanya demi mencekoki kepuasan lahiriah yang tanpa batas dengan jalan instan.
Pencarian materi disokong oleh iman ''makan sebelum lapar", tapi tidak dipagari oleh nilai ''berhenti sebelum kenyang". Modernisasi ekonomi telah mematikan saraf manusia untuk mendefinisikan rasa kenyang sehingga perut tak pernah merasa penuh meski aneka makanan dan minuman telah ditelan. Sebaliknya, paham materialisme menghidupkan secara total impuls lapar yang terus-menerus. Rasanya tak ada kombinasi yang lebih sempurna dalam menciptakan kerusakan ketimbang persekutuan dua hal ini: sesat kebijakan dan materialisme pembangunan.
Semoga proklamasi dan Idul Fitri dapat menyentak kita untuk kembali ke nilai-nilai agung kemanusiaan. ●
saya membacanya juga di jawa pos kemarin, tulisan ini sangat bagus :)
BalasHapus