Andai Bung Masih Ada...
M Subhan SD ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 14 Mei 2016
Presiden
Soekarno berkali-kali memprotes filsuf Inggris Bertrand Russell (1872-1970).
Russel memilah umat manusia menjadi dua: penganut ajaran Deklarasi Kemerdekaan
Amerika atau penganut ajaran Manifesto Komunis. "Maafkan Lord Russel,
saya kira tuan melupakan sesuatu. Saya kira tuan melupakan adanya lebih
seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat Amerika
Latin yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis atau Declaration of
Independence..." ujar Bung Karno. "Sesuatu itu kami namakan
Pancasila," tandas Bung Karno.
Pancasila
adalah jiwa bangsa. Setelah membangun bangsa (nation-building) pada 1945,
Bung Karno bergerak cepat menggelorakan pembangunan karakter bangsa
(character-building). Propaganda nation and character building menjadi mantra
sakti di era revolusi. Tanpa jiwa, bangsa ini ibarat manekin kosong.
Pada
Sidang Umum ke-2 MPRS di Bandung, 15 Mei 1963, persis 53 tahun silam, Bung
Karno menyerukan, "Kini kita lanjutkan lagi, kita tingkatkan lagi
nation-building kita ke taraf character-building dengan pembangunan watak
bangsa Indonesia." Impiannya adalah bangsa bermartabat, tidak minder di
antara bangsa-bangsa lain, berjalan dengan kepala tegak.
Pada
zaman Bung Karno, Indonesia mampu menjadi pemain dunia, antara lain
Konferensi Asia Afrika, kekuatan baru The Emerging Forces (Nefos), dan
Gerakan Non-Blok. Indonesia pun diperhitungkan oleh Blok Barat (Amerika
Serikat dkk) dan Blok Timur (Uni Soviet dkk).
Dengan
semangat revolusi, banyak jargon politik untuk membentuk karakter bangsa.
Tersebutlah Tubapi (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi), antara lain Pancasila,
UUD 1945, Manipol Usdek. Kala itu, pembentukan watak bangsa terasa sangat
sakral. Romantisisme bangsa baru memang tengah berkobar-kobar.
Namun,
semua itu seakan tersisa menjadi artefak sejarah. Belakangan ini, hati terasa
teriris-iris menyaksikan perilaku masyarakat kita. Di Rejang Lebong,
Bengkulu, ada remaja putri diperkosa dan dibunuh 14 lelaki, sebagian pelaku
masih remaja. Di Sulawesi Utara, juga remaja putri diduga diperkosa 15
lelaki. Di Medan ada dosen dibunuh mahasiswanya. Kebiadaban mengintai
masyarakat? Apa yang terjadi dengan masyarakat kita kini?
Kemudian
ada bupati, polisi, tentara ditangkap karena kasus narkoba. Paling parah
adalah kerusakan mental elite politik kita yang tidak jera-jeranya mencoleng
uang rakyat. Terlalu sedikit jari-jari kita untuk menghitung bupati/wali
kota, anggota DPRD/DPR, penegak hukum/hakim/polisi yang terlibat korupsi.
Beginikah citra dan watak bangsa Indonesia?
Apa
mau dikata, kebobrokan mental masyarakat kita barangkali sudah kelewat batas.
Paling simpel lihat perilaku berkendara di jalan. Aturan lalu lintas
dilanggar, sudah "sangat biasa". Sampai Daffa, anak kelas III SD di
Semarang, menghadang sendiri pengendara motor yang melewati trotoar, beberapa
pekan lalu.
Presiden
Joko Widodo datang dengan program revolusi mental, meneruskan Bung Karno.
Namun, tampaknya Jokowi lebih getol mendorong pembangunan fisik
(infrastruktur), seperti jalan, kereta cepat, waduk, irigasi, dan listrik.
Semua itu memang dibutuhkan, terlebih selama 18 tahun reformasi ini
tersia-siakan.
Namun,
kalau soal pembangunan fisik, era Bung Karno juga sudah marak, bahkan masih
menjadi ikon sampai hari ini. Contoh termudah Gelora Bung Karno, Monas,
Gedung Parlemen, juga pabrik baja di Cilegon atau pabrik semen di Padang dan
Gresik.
Pada
era Orde Baru, Presiden Soeharto bahkan mungkin terbanyak membangun
infrastruktur. Sejak booming minyak awal 1970-an, pembangunan fisik terus
digeber, mulai sektor agraris hingga kedirgantaraan. Kala itu Pak Harto
menerapkan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) dengan trilogi pembangunan, yaitu
stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan.
Meskipun
demikian, Pak Harto tidak lupa membangun watak manusia Indonesia. Ada
pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila), ada Penataran P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Memang, caranya indoktrinasi.
Sampai-sampai P4 diplesetkan menjadi "pergi pagi pulang petang"
gara-gara menyita waktu dan membosankan. Nah, revolusi mental semestinya
bukan indoktrinasi dan tidak membosankan.
Gaya
seperti Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), misalnya,
ternyata juga bisa mengubah karakter orang. Seorang warga di Kepulauan Seribu
bercerita biasanya PNS selalu duduk santai di bawah pohon di tepi pantai pada
jam-jam kerja. Namun, sejak Ahok berkuasa, tidak ada lagi yang berani
kongko-kongkosaat jam kerja.
Sampai
tahun 1990-an, di taman-taman di Singapura banyak terlihat plang nama
tercantum sanksi denda (fine), misalnya larangan meludah, membuang permen
karet, atau menginjak rumput. Kini, setelah karakter terinternalisasi menjadi
kultur bangsa, rasanya Singapura tak merasa perlu lagi papan nama seperti
itu.
Melihat
ke negeri sendiri hari-hari ini teringat kembali gelombang reformasi 18 tahun
silam yang penuh tragedi: penembakan mahasiswa Trisakti, kerusuhan masif,
kekerasan brutal, sampai tumbangnya rezim Soeharto. Sayang, reformasi belum
mampu membangun watak bangsa lebih baik. Mungkin, karena banyak penumpang
gelap yang lompat ke gerbong reformasi.
"Saya
katakan, segala kegagalan-kegagalan, segala keseratan-keseratan, segala
kemacetan-kemacetan dalam usaha kita yang kita alami dalam periode survival
dan investment itu, tidak semata-mata disebabkan oleh kekurangan-kekurangan
atau ketololan-ketololan yang inheren melekat kepada bangsa Indonesia
sendiri, tidak disebabkan oleh karena bangsa Indonesia memang yang tolol,
atau bangsa yang bodoh, atau bangsa yang tidak mampu apa-apa-tidak!-segala
kegagalan, keseratan, kemacetan itu pada pokoknya adalah disebabkan oleh
karena kita, sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar, telah
menyeleweng dari jiwa, dari dasar, dan dari tujuan revolusi," teriak
Bung Karno dalam pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita pada peringatan 17
Agustus 1959.
Ah,
andai Bung masih ada.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar