Amarah
dan Wajah Ganda Jogja
Made Supriatma ;
Peneliti Masalah-Masalah
Politik Militer, Jurnalis Lepas
|
INDOPROGRESS,
01 September 2014
SIAPA
kini yang tak kenal Florence Sihombing? Mahasiswi S-2 Universitas Gadjah Mada
(UGM) itu berhasil menyedot perhatian nasional akibat serapahnya di media
sosial, yang berbuntut penahanan dirinya oleh kepolisian Jogjakarta. Mula
peristiwanya ketika ia menyerobot antrean di pom bensin, yang kemudian
diteriaki oleh massa antrean yang sebagian besar terdiri dari borjuis kecil.
Ia pun pergi, malu. Selesai? Belum. Florence mengadu ke media sosial.
Nah,
disinilah pokok soalnya. Banyak orang tersinggung karena sumpah serapahnya
yang terlalu general. Dia menyebut Jogja seolah kota itu adalah tunggal.
Kemudian muncullah apa yang selalu menjadi masalah bagi dunia modern kita:
representasi. Orang-orang yang menamakan diri ‘warga Jogja’ mulai marah di
media sosial. Media massa mengipasi, seolah membenarkan representasi itu.
Selusin-dua lusin mahasiswa berdemo, seakan menjadi representasi seluruh
mahasiswa.
Dan
mulailah kampanye ‘mengusir’ gadis ini dari Jogja.
Seingat
saya, ini bukan pertama kali ‘warga Jogja’ mengusir orang yang tidak disukai.
Dua tahun silam, sosiolog George Aditjondro diusir dari Jogja karena satu
ceramahnya yang dianggap ‘lèse-majesté’ alias melecehkan Kraton Jogja.
Rumahnya kontrakannya diserbu massa dan dia diberikan tiket bus gratis untuk
meninggalkan Jogja.
Ada
apa dengan Jogja? Mengapa tiba-tiba saja orang gampang naik darah di kota
ini, tersinggung bila ‘kejogjaannya’ merasa terganggu?
Saya
tidak bisa menjawab dengan tepat. Saya hanya bisa mengira-ngira. Itu pun
lewat perbandingan dengan persoalan-persoalan yang sejenis.
Tiga
belas tahun lamanya saya tinggal di Jogja. Di pertengahan tahun 1980an, kota
yang masih agak sepi itu, Jogja adalah sebuah kampung besar. Desa Condong
Catur masih udik. Di sanalah jalur bus kota berhenti, tepat di bawah beringin
besar di depan Balai Desa. Daerah Pakem terasa amat di luar kota. Untuk
menuju Kaliurang, Anda perlu persiapan sehari perjalanan dengan naik bus dari
terminal Terban. Bus ini akan berhenti setiap seratus meter, sampai-sampai
perjalanan ke Kaliurang yang jaraknya tidak seberapa itu, terasa seperti
plesir naik bis.
Anehnya,
saat itu saya merasakan Jogja sebagai sesuatu yang nasional. Sekalipun
sebagian besar penduduk tidak bisa berbahasa Indonesia. Pun jika berbahasa
Indonesia, lebih banyak istilah Jawa yang masuk ke dalam percakapan ketimbang
bahasa Indonesia.
Mahasiswa
jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang sekarang dan mereka tinggal di
kampung-kampung. Hampir semua mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di
Indonesia berusaha berbahasa Jawa, bahasa pergaulan sehari-hari, termasuk
mereka yang hidup di asrama kedaerahan. Saya sendiri beruntung karena saya
mendapat kos di kampung. Keberuntungan yang kedua adalah saya bertemu dengan
Bu Mul, ibu kawan karib saya, yang dengan sukarela ‘membenahi’ bahasa Jawa
saya sehingga cukup untuk tingkat ‘madya’ (menengah).
Tidak
bisa saya ingkari, saya punya romantika tersendiri terhadap Jogja. Di kota
ini saya melahap buku-buku, mempelajari apa saja yang bisa dipelajari dan
menarik minat, berdiskusi, berlama-lama di perpustakaan.
Saya
merasa tidak puas dengan kuliah saya. Jogja selalu menyediakan jalan untuk
pencarian itu. Ada begitu banyak diskusi (dan seminar yang tidak saya sukai),
kegiatan-kegiatan di luar kemahasiswaan, buku-buku murah, teater, puisi,
pameran seni, dan lain sebagainya.
Perlu
diingat, jaman saya di Jogja adalah jaman pra-internet, jaman sebelum media
sosial merajalela.
Oh
ya, saya juga bermimpi tentang revolusi. Saya menghabiskan
kemarahan-kemarahan terhadap sistem yang dibangun Suharto dengan membantu
gerakan-gerakan bawah tanah. Namun, harus saya akui, saya terlalu pengecut
untuk menjadi anggota organisasi apapun.
Pendeknya,
Jogja terasa sangat nasional. Saya sungguh merasakan bahwa saya berada di
sebuah kampung besar tapi dengan daya jelajah yang lumayan kosmopolitan. Saya
kira, terlalu banyak tipikal seperti saya di Jogja. Saya yakin, mereka pun
punya romantisme yang sama terhadap Jogja.
Butuh
waktu agak lama bagi saya untuk menyadari bahwa Jogja adalah sebuah kota
dengan bipolar disorder
(kepribadian ganda). Ada dua jiwa yang hidup di sini dan keduanya jarang
berhubungan satu sama lain.
Jogja
adalah kota ‘adiluhung’ yang halus. Kota yang mengaku kemanusiaannya didasari
oleh tatakrama dan unggah-ungguh. Lihatlah kehalusan mereka bercakap,
ketakziman mereka menghargai orang yang lebih tua, kesantunan mereka
bertingkahlaku.
Namun,
tidak terlalu sulit untuk mengingat bahwa kota ini juga ladang kekerasan.
Geng-geng anak-anak muda beranak-pinak dan langgeng hingga beberapa generasi.
Premanisme juga marak. Tahun 1982, Suharto (orang Jogja!) melakukan sesuatu
yang drastis. Secara diam-diam dia melakukan operasi militer menembaki
preman-preman ini dan meletakkan mayatnya di tempat-tempat umum. ‘Untuk shock
therapy,’ ujarnya ketika itu. Koran-koran sibuk memberitakan mayat-mayat
bertato atau mayat dalam karung yang ditemukan di jalanan. Puluhan ribu orang
yang dituduh preman didor.
Dari
mana Suharto memulai penjagalan itu? Dari Jogja!
Tentu
kita tidak lupa kejadian tahun lalu: segerombolan serdadu Kopassus dari
Karangmenjangan menyerbu penjara sipil di Cebongan dan membunuh empat
tahanan. Di Jogja, pembantaian para tahanan tersebut kemudian didukung
sebagai pemberantasan ‘preman.’
Jogja
adalah pusat kebudayaan Jawa. Di sini terletak Kraton Ngayogkarta Hadiningrat
dan Kadipaten Pakualaman, dua monarki yang masih punya kekuasaan politik yang
nyata di tanah Jawa. Saat ini, Sultan Hamengku Buwono X dan Pakualam IX
adalah gubernur dan wakil gubernur DIY. Kedua penguasa ini masih menjaga
semua tradisi kekuasaan Jawa. Namun, sebagaimana jamaknya kekuasaan, ia
memerlukan kemegahan dan kemewahan, upacara dan pertunjukkan. Ia perlu the poetic of power! Untuk memelihara the poetic of power perlu ‘ragat’
(biaya) yang tidak sedikit. Kraton dan Kadipaten tidak bisa menggantungkan
diri pada pihak lain untuk soal biaya ini. Pelajaran dari Kraton Solo dan
Mangkunegaran menunjukkan, ketergantungan dari pihak luar selalu mengundang
campur tangan dalam politik internal Kraton yang memang rentan dan penuh
intrik itu.
Namun
di sisi lain, Jogja dikelola oleh struktur pemerintahan nasional. Penguasanya
bukan berdasarkan keturunan (hereditary)
melainkan dipilih. Ketegangan pun muncul sejak beberapa tahun lalu, ketika
orang mulai membahas ‘keistimewaan’ Jogja: apakah gubernur Jogja harus
dipilih lewat pemilihan langsung ataukah ditetapkan?
Situasi
politik pun memanas karena gubernur – yang adalah Sultan Jogja sendiri – dan
pendukung-pendukungnya menginginkan pengecualian. Perdebatan antara
‘pemilihan’ dan ‘penetapan’ gubernur itu meletus menjadi aksi massa
besar-besaran untuk menuntut ‘keistimewaan’ Jogja. Untuk saat ini,
pemenangnya adalah pihak ‘penetapan.’
Debat
‘keistimewaan’ ini sesungguhnya menjadi penanda baru bahwa Jogja bukan
‘nasional.’ Ia adalah Jogja yang istimewa—dan dengan begitu, yang parochial.
Sejak
itulah saya menangkap tanda-tanda menguatnya semangat kedaerahan. Telah lama
saya mengamati munculnya konflik-konflik berdasarkan identitas. Apa yang
terlihat di Jogja sungguh bukan sesuatu yang asing untuk saya. Tapi
satu-satunya yang mengejutkan saya adalah bahwa itu terjadi di Jogja.
Contoh
kemenduaan Jogja tidak sedikit. Kota ini dihuni lembaga-lembaga penganjur
toleransi terbaik di Indonesia, mulai dari Interfidei, CRCS, hingga LKiS.
Jogja melahirkan intelektual yang memikirkan kemajuan hidup bertoleransi. Dan
di Jogjalah lahir Muhammadiyah, organisasi Islam modernis terbesar di
Indonesia.
Tapi
tak boleh dilupakan juga: intoleransi marak semarak-maraknya. Laskar Jihad
berbasis di Jogja. Demikian pula Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Pemikir-pemikir dan ideologi Hizbut Thahir ada di sini. Seminari-seminari
Kristen evangelis yang agresif tumbuh.
Jogja,
yang konon paling ramah terhadap pendatang, memperlihatkan gejala-gejala
bangkitnya parochialism bahkan dalam taraf yang makin parah. Kos-kosan
mahasiswa yang menerima penghuni berdasarkan agama yang dianutnya kian
menjamur. Ada pula laporan bahwa di beberapa tempat di Jogja, mahasiswa Papua
makin sulit mencari kos-kosan. Khususnya setelah peristiwa pembantaian
tahanan di penjara Cebongan, nasib yang sama menimpa mahasiswa asal Timor dan
Flores.
Seorang
kawan yang menjadi staf pengajar sebuah perguruan tinggi di kota ini
mengeluh, “Mahasiswaku yg asal Papua itu sulitnya minta ampun kalau mau cari
kost. Apa salah mereka yang masih unyu-unyu kok dipersulit, padahal Jogja
bisa hidup salah satunya karena pendidikan dan wisata. Dan mahasiswa adalah
wisatawan yang masa tinggalnya paling lama.” Sekitar 250 ribu penduduk Jogja
adalah mahasiswa.
Dua
kepribadian Jogja adalah cermin dua masyarakat yang tidak saling bertemu.
Sesungguhnya, tidak saja mahasiswa yang merupakan wisatawan yang tinggal
paling lama di Jogja. Saya tahu, banyak kelas menengah—terutama kaum paling
terdidik yang mengajar di universitas-universitas ternama di kota ini—yang menjadi
wisatawan menetap. Dengan mudah kita menangkap ketidakjumbuhan antara Jogja
yang hidup dengan kejogjaannya sendiri—lengkap dengan segala unggah-ungguh,
kesulitan hidup, kekerasan, dan politik lokalnya—dengan Jogja yang menjadi
industri baik pariwisata maupun pendidikan.
Dalam
hal ini, Jogja sedikit banyak menyerupai Bali. Sebagai komoditi dia laku
dijual; namun Anda akan mendapati suasana yang sangat berbeda jika Anda hidup
didalamnya.
Demikian
banyak kaum terdidik di kota ini. Mereka adalah sekumpulan orang-orang
terpandai di Indonesia. Mereka menghuni kantung-kantung (enclaves) yang sama sekali tidak bersentuhan dengan keseharian
Jogja. Mereka hidup di kompleks-kompleks perumahan. Banyak di antara mereka
yang nglaju ke Jakarta atau kota-kota besar lain di Indonesia. Mereka
memberikan jasa konsultasi ini dan itu kepada lembaga pemerintah, organisasi
internasional, atau organisasi swasta. Lihatlah pesawat penerbangan pertama
dan terakhir, maka akan Anda jumpai para penglaju pergi dan pulang. Atau, sekalipun
mereka tidak pernah pergi dari Jogja, mereka berada dalam dunia yang sama
sekali terpisah dengan Jogja. Meminjam terminologi dari intelektual Afrika
Mahmood Mamdani, mereka adalah ‘settlers’ yang datang karena keuntungan
ekonomi yang ditawarkan oleh Jogja. Mereka ada di Jogja namun sesungguhnya
mereka tidakhadir di Jogja.
Di
sisi yang lain, Anda akan menjumpai Jogja yang ‘native’ yang tidak banyak
berbeda dengan masyarakat-masyarakat lain yang masih setia dan terikat dengan
segala macam tradisinya. Dalam banyak hal, mereka adalah juga pihak yang
diuntungkan dengan segala macam industri yang dibangun oleh para ‘settlers’
ini di kota mereka. Namun, banyak juga dari mereka yang menjadi korban—entah
itu mereka sadari atau tidak. Mereka memang bukan lagi pengolah tanah, bahkan
tidak lagi menjadi pemilik tanah. Banyak dari kekayaan atas tanah sudah
terjual untuk kompleks perumahan, untuk hotel, mall, dan semua proyek untuk
melayani ‘tamu’ yang datang, yakni para wisatawan atau para settlers.
Sebagian dari mereka mengais remah-remah pembangunan ini dengan menjadi
buruh. Banyak juga yang tidak mendapatkan apa-apa.
Politisi
lokal yang merancang proyek-proyek ini tahu persis bagaimana melayani
wisatawan dan settlers ini. Mereka juga tahu persis bagaimana mendapatkan
legitimasi untuk terus berkuasa, yakni dengan menaikkan sentimen-sentimen
parochialism yang memang akan tumbuh subur di dalam situasi seperti yang
dialami para natives Jogja.
Gadis
pemarah yang mengumpat di media sosial itu tentu dengan mudah menjadi sasaran
kemarahan. Namun, seperti yang pernah saya saksikan ketika pembantaian
Cebongan, kemarahan semacam ini selalu terbatas. Dia tidak pernah menjadi
kemarahan dalam skala amuk massa. Dalam pembantaian Cebongan, kemarahan
ditujukan kepada tahanan yang dibantai—merekalah yang menjadi ‘preman’ yang
harus dibasmi. Tentu saja, tuduhan ini mengaburkan kenyataan bahwa premanisme
memang telah lama ada dan kuat berakar di Jogja.
Demikian
pula dengan kemarahan terhadap gadis ini. Kemarahan ini, di samping terbatas,
juga berfungsi untuk mengingat-ingat kembali bahwa Jogja itu berbudaya, adiluhung, sopan dan santun. Namun di
sisi yang lain, orang sengaja dibuat lupa: mereka hidup dari ratusan
ribu—atau bahkan mungkin jutaan yang pulang-pergi dalam setahunnya—orang
semacam Florence ini, yang menggerakkan roda ekonomi Jogja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar