Kebijakan
Nir-yudha
Moeldoko ; Panglima TNI
|
KOMPAS,
22 Maret 2014
“SETIAP senjata yang dibikin, setiap kapal perang
yang diluncurkan, setiap roket yang ditembakkan, pada perhitungan akhir,
adalah pencurian hak mereka yang lapar dan tak berpangan, mereka yang kurus
telanjang tak berbalut sandang. Dunia dalam pacuan senjata ini tak hanya
menghambur-hamburkan uang. Ia juga menghamburkan keringat para pekerjanya,
kecemerlangan para ilmuwannya, dan harapan anak-anaknya.”
KALIMAT
di atas datang dari salah seorang prajurit terpenting abad ke-20, Dwight D
Eisenhower.
Panglima
tertinggi Sekutu yang mengalahkan Hitler di Eropa ini kelak terpilih sebagai
Presiden AS ke-34 dan mewariskan sejumlah terobosan dan kebijakan yang
dihormati hingga kini. Jenderal bintang lima dan pahlawan Perang Dunia II itu
dikenang sebagai negarawan yang benci perang setelah bertungkus lumus dan
jenuh melihat kekejaman dan kebodohannya.
Dasar nir-yudha
Sejarah
adalah sumber pelajaran terpenting tentang kesia-siaan perang dan segala
bentuk kekerasan bersenjata. Perang bisa jadi memberikan sebentang wilayah
rampasan, sebuah tata imperial yang di atasnya bisa berkembang sebentuk
peradaban. Namun, peradaban yang dibangun dengan perang dan dipertahankan
dengan kekerasan bersenjata akan cepat musnah dan hanya meninggalkan puing
dan reruntuhan. Hanya hasil daya cipta akal budi manusia yang dikerjakan
secara bebas dan riang yang bisa jadi warisan yang bertahan dari sebuah
peradaban.
Pengertian
bahwa perang atau lebih tepatnya serangan militer adalah pengorbanan sumber
daya yang pantas diterima karena dapat diganti dengan sumber daya rampasan
yang memberikan keuntungan lebih bahkan kemuliaan, memang telah kehilangan
penopangnya. Semua invasi militer dengan jelas menghamburkan sumber daya
aktual dan nyawa prajurit yang tak terganti, sementara sumber daya potensial
yang hendak direbutnya bisa dengan cepat berubah menjadi sumber masalah besar
yang merongrong dan memalukan.
Hanya
perang sebagai bentuk pertahanan diri saja yang tetap tak tergoyahkan
dasar-dasar pembenarannya. Sebab, hanya dengan pertahanan diri tangguh sebuah
negara dapat membela dan memberikan harga tinggi atas keringat para
pekerjanya, kecemerlangan para ilmuwannya, dan harapan anak-anaknya.
Mungkin
ada yang beranggapan bahwa Asia abad ke-21 dapat menyerupai Eropa abad ke-20,
sebuah benua dan abad yang dibagi dan diluluhlantakkan dua perang dunia.
Pengertian ini mungkin datang dari imajinasi yang terlalu aktif dan penuh
curiga. Namun, itu tak melunturkan
nilai dari perlunya para negarawan Asia berupaya membangun kebijakan
nir-yudha (zero-war policy). Pelajaran bisa datang dari mana saja, termasuk
renungan bijak para tokoh militer seperti Eisenhower atau pengalaman empiris
negara yang tumbuh dari puing-puing perang seperti Uni Eropa.
Negara-negara
Asia Tenggara yang terhimpun dalam ASEAN cukup beruntung. Mereka punya
organisasi yang mampu menopang keamanan kawasan dengan memberikan kesempatan
bagi 10 negara anggotanya saling bantu menciptakan kemakmuran dan stabilitas
di wilayah mereka. Sejalan bergeraknya ASEAN menjadi sebuah komunitas pada
2015, negara anggotanya memberikan perhatian khusus terhadap integrasi
ekonomi. Namun, aspek politis dan keamanan di bidang pembangunan komunitas
juga tak kalah penting.
Terciptanya
Komunitas Batubara dan Besi Baja Eropa 1951 yang jadi cikal bakal Uni Eropa,
bukan untuk memfokuskan diri pada komoditas itu semata, melainkan
mengendalikan kedua sumber daya itu, yang tanpanya sebuah negara mustahil
bisa berperang. Inilah yang jadi karakter pan-Eropa. Pengendalian bersama
atas batubara dan besi baja menghapus habis kemungkinan pecahnya perang,
khususnya antara Jerman dan Perancis.
ASEAN
juga perlu men-sekuritas-kan, membagi risiko dan peluang ekonominya dalam
bentuk kepemilikan usaha bersama di antara sesama negara ASEAN. Penyatuan
ekonomi ini membuka peluang bisnis-bisnis baru dan elite-elite profesional
yang cakupan kerja dan persepsi-dirinya berwatak sarwa-kawasan (pan-regional)
sehingga negara-negara itu tak dapat menggunakan kekuatan ekonominya untuk
meletupkan perang.
Cara
lain untuk menciptakan iklim pemikiran yang menafikan perang adalah dengan
menularkan pemahaman akan persamaan dasar manusia dengan segala perbedaan
yang tampak di permukaan. Kesempatan beasiswa ASEAN yang meluas dan peluang
kerja yang membesar membawa orang-orang di kawasan ini semakin kerap bertemu
dan semakin dekat sehingga mereka semakin saling mengenali persamaan dasar di
antara mereka. Kedekatan itu dapat mendorong terciptanya suatu kesadaran-diri
warga ASEAN yang identitas regionalnya hadir berdampingan dengan identitas
nasionalnya.
Peran Indonesia
Indonesia
adalah negara dengan wilayah, jumlah penduduk, dan kekuatan ekonomi terbesar
di Asia Tenggara. Sebagai negeri dengan penduduk Islam terbesar di dunia,
Indonesia telah menunjukkan diri sebagai sebuah kekuatan demokrasi. Sesama
negara demokrasi tentu tak akan saling berperang. Mereka punya kepentingan
bersama mewujudkan perdamaian karena perdamaian yang mantap mendorong
pembangunan ekonomi kokoh.
Karena
itu, Indonesia sewajarnya berada di garda depan dalam mengukuhkan perdamaian
di Asia Tenggara. Sejarah masa silam kawasan yang dinamis ini, dengan
berbagai fakta geopolitik yang ada, tak dapat diabaikan. Perang-perang yang
sudah berlangsung mungkin saja memang tak dapat dihindari, tetapi perang yang
akan datang sungguh dapat dicegah. Dengan semangat untuk tumbuh bersama, Asia
Tenggara perlu bekerja sama untuk memastikan perang tak perlu meletus di masa
mendatang.
Pada
perhitungan akhir, kebijakan nir-yudha adalah terjemahan militer dari
kebijakan sipil mengangkat kesejahteraan dan menghapus kemiskinan (zero poverty). Ini bukan pekerjaan
yang mudah. Semakin banyak bukti bahwa kemiskinan sungguh bisa ditekan dan
kesejahteraan bisa berkembang, asalkan masyarakat bekerja sepenuh hati.
Masyarakat bisa bekerja dengan semangat menyala jika ada demokrasi dan
kebebasan yang mantap. Angkatan bersenjata bertugas menjaga pertumbuhan
demokrasi dan kebebasan itu dari berbagai ancaman, termasuk ancaman pihak
yang memanfaatkan iklim demokrasi hanya untuk kemudian melumpuhkan demokrasi
dan kebebasan itu.
Melindungi
perdamaian dan hak dasar semua manusia agar sebuah bangsa, sebuah kawasan,
dapat tumbuh dengan penuh martabat adalah medan kerja yang kaum militer
sangat pantas tempuh dengan sekuat tenaga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar