Sabtu, 11 Agustus 2012

Stop Konflik KPK vs Polri!


Stop Konflik KPK vs Polri!
( Wawancara )
Teten Masduki ; Sekjen Transparancy International Indonesia (TII)
SUARA KARYA, 11 Agustus 2012


Untuk kedua kalinya, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) vis a vis lembaga Kepolisian Negara RI (Polri). Pada kasus pertama, Polri harus berhadapan dengan KPK dan masyarakat sipil yang digalang lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat umum, termasuk DPR RI. Kasus itu sempat mendapat julukan 'Cicak melawan Buaya'. Cicak mewakili KPK, Buaya-nya adalah Polri.

Saat ini, dalam kasus 'perebutan' wewenang penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator kemudian untuk SIM di Korps Lalu-lintas (Korlantas) Mabes Polri, tampaknya kekuatan, khususnya opini publik, di antara keduanya (KPK dan Polri) relatif seimbang. Di sisi KPK, dukungan masih didominasi oleh koalisi masyarakat sipil. Sedangkan Polri terkesan banyak mendapat dukungan dari sejumlah anggota DPR RI, beberapa pengacara, juga sejumlah akademisi.

Meski pergesekan antarkedua lembaga penegak hukum itu semakin kuat, namun sepertinya tidak ada upaya dari pemerintah untuk menghentikannya. Tindakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), seperti biasa, hanya sebatas retorika.
Kondisi seperti itu tentu dikhawatirkan akan mengganggu langkah pemberantasan                                                             korupsi ke depan. Untuk membahas upaya menghentikan konflik tersebut, wartawan Harian Umum Suara Karya Nefan Kristiono dan fotografer Annisa Maya menggali pemikiran Sekjen Transparancy International Indonesia (TII), Teten Masduki.

Polri dan KPK tampaknya mulai terseret konflik antar-lembaga terkait penanganan kasus simulator SIM. Apa solusinya?

Pertama, sekarang sepertinya memang dalam kondisi yang sudah runyam. Sebab, Polri kan dalam posisi yang tidak mau kehilangan muka untuk mempertahankan kasus tersebut dengan tidak menyerahkannya kepada KPK. Padahal, sebenarnya legal opinion-nya, saya kira sudah sampai kepada Pak SBY bahwa menurut hukum seharusnya diserahkan kepada KPK. Tetapi, karena sudah begini runyam dan Polri berusaha mempertahankan wibawanya, jadi sekarang yang terjadi adalah adu kekuatan.

Hal kedua, semestinya kondisi seperti ini dipakai oleh Kapolri untuk menunjukkan kepada publik bahwa Polri mempunyai keinginan untuk membenahi persoalan internalnya. Tetapi, hal itu tampaknya juga tidak dilakukan.

Sepertinya, Kapolri tampak menjadi tawanan korps Polri sendiri dalam kasus itu, terutama dari para jenderal Polri yang merasa ketakutan dengan ancaman KPK ini. Sebab, sekarang ini mana ada perwira tinggi Polri yang tidak kaya. Memiliki harta yang tidak masuk akal, jika hanya diperoleh dari gaji resmi mereka.

Khusus dalam kasus perebutan penanganan kasus simulator SIM tersebut, apa yang harus dilakukan Presiden SBY?

Meminta Kapolri untuk mematuhi undang-undang dan menyerahkan kasus tersebut ke KPK. Seharusnya hal itu sudah cukup dan Kapolri tidak mungkin akan mengabaikannya. Tetapi, Presiden SBY tampaknya tidak mau melakukan hal itu. Berdasarkan informasi internal kepresidenan, saya tahu bahwa Presiden sudah paham bahwa ada legal opinion terhadap kasus tersebut yang menganjurkan agar diserahkan ke KPK. Pertanyaannya sekarang, mengapa hal yang mudah itu tidak dilakukan oleh SBY?

Saya tidak tahu apakah karena komunikasi Presiden dengan KPK agak kurang bagus, mengingat banyak orang di lingkaran Partai Demokrat dan Istana Kepresidenan terus diobrak-abrik KPK.

Padahal, tema utama yang dijual Presiden SBY dalam karier politiknya adalah pemberantasan korupsi?

Benar. Presiden memang sering mengatakan tidak mau mencampuri hukum dan akan menghormati hukum. Dan, yang menolong presiden di dunia internasional adalah KPK melalui perbaikan indeks persepsi korupsi (IPK) yang terus membaik meskipun belum signifikan. Itu berkat penegakan hukum di KPK.

Bagaimana menghadapi sikap Kapolri yang ngotot untuk menangani kasus simulator SIM?

Tentu dengan melakukan koordinasi dengan DPR. Sebab, ini merupakan bagian dari menjalankan pemerintahan yang efektif. Hal seperti itu bukan sebuah intervensi hukum. Tetapi, berkaitan dengan independensi judiciary, yaitu mempengaruhi proses peradilan yang independen.

Apakah untuk membereskan Mabes Polri cukup dengan mencopot pejabat Kapolri saat ini? Bagaimana dengan perwira lainnya?

Benar. Semua harus direstrukturisasi jika ada perlawanan dari korps kepolisian. Masa presiden tidak memiliki kekuasaan membenahi birokrasi ketika birokrasi tersebut kotor dan tidak efektif. Kan Presiden punya mandat konstitusi untuk itu? Selanjutnya, DPR harus mendukung.

Komisi III DPR RI harus mendukung KPK karena mereka meminta KPK untuk masuk mengungkap korupsi para jenderal polisi. Sekarang, KPK sudah masuk dan harus mendapat dukungan. Jika mengacu kepada HongKong, di sana langkah pertama lembaga anti korupsinya justru membersihkan polisi. Karena, polisi-lah yang membuat penegakan hukum tidak berjalan sehingga korupsi itu menjalar ke mana-mana.

Langkah KPK dalam menangani kasus simulator SIM apakah sudah tepat?

Kalau urusan menangani kasus Korlantas Polri sudah tepat. Sebab, fokus yang harus dibersihkan KPK kan sektor hukum dan politik. KPK sudah masuk dan melakukan langkah berani. Hanya saja, KPK sekarang harus menghadapi sebuah institusi yang sangat besar dan membela harga diri serta kehormatan korpsnya. Sehingga ketika KPK akan masuk ke wilayah Polri agak "kulonuwun" (minta izin - Red) sedikit. Namun, tidak perlu dijelaskan secara detail, karena akan mengganggu proses penyidikan.

Jadi, sebelum masuk, harus membangun komunikasi informal dengan Polri?

Ya. Paling tidak harus mengajak Polri dan mengondisikan langkah itu sebagai bagian inisiatif Kapolri untuk membenahi institusinya. Kalau yang sekarang terjadi, terkesan sebagai pekerjaan KPK sendirian. Padahal, sebaiknya kan menggandeng Polri dan menimbulkan kesan bekerja untuk membersihkan perwira nakal.

Bukankah hal itu dilakukan Ketua KPK sebelum melakukan penggeledahan, beberapa waktu lalu?

Tapi, tampaknya tidak dilakukan. Karena KPK justru tidak bisa melakukan penggeledahan jika minta izin resmi. Memang benar, hal itu sama seperti menyuruh mereka yang akan digeledah siap-siap mengamankan barang-barang yang akan diambil KPK. Tetapi, seharusnya permohonan izin itu bisa disamarkan.

Misalnya bagaimana?

KPK melakukan pertemuan dan mengajak Polri untuk bersama-sama membersihkan institusi kepolisian. Jadi, seolah-olah itu sebuah kerja bersama. Menurut saya, dalam penanganan kasus simulator SIM, penting pula untuk memberi kesan kepada publik bahwa hal itu juga merupakan inisiatif dari internal Polri.

Seperti pada kasus Pajak yang melibatkan tersangka Dhana Widyatmika. Itu kan laporan Ditjen Pajak kepada polisi, lalu polisi menyerahkannya kepada KPK, dan KPK menyerahkan ke Kejaksaan Agung. Harusnya seperti itu. Kepolisian kan sebuah lembaga yang besar. Ada kehormatan korps yang mereka jaga. Mereka akan berkata; "Ini Polsek Kuningan kok berani-beraninya mengacak-acak Mabes Polri." Kira-kira begitu.

Kondisi ini juga akan memiliki implikasi terhadap KPK. Salah satunya akan menghambat kerja komisi tersebut, terutama dalam penanganan kasus. Jika KPK hendak mengejar tersangka ke luar negeri tentu harus minta bantuan Interpol. Sedangkan, lembaga Interpol hanya bekerja sama dengan kepolisian setempat. Artinya, KPK harus minta bantuan Mabes Polri untuk berhubungan dengan Interpol. Saya khawatir ini yang akan terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar