Rabu, 08 Agustus 2012

Menggagas Pengelolaan Air Partisipatif


Menggagas Pengelolaan Air Partisipatif
Suyatno ; Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik UGM;
Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Terbuka
MEDIA INDONESIA, 08 Agustus 2012


Keluhan dan keberatan akan gangguan air akibat kebijakan pembangunan pemerintah patut mendapatkan respons yang semestinya. Kejelasan peranan akan membawa pengelolaan SDA menjadi hak dan tanggung jawab bersama."

MEMASUKI musim kemarau tahun ini, sejumlah kawasan telah mengalami krisis air. Persediaan air di berbagai daerah tak memadai. Musibah kekeringan mengancam sebagian wilayah di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Pulau Jawa dan Bali saat ini menghadapi krisis air (Media Indonesia, 6/8). Penyebabnya yakni terus bertambahnya kebutuhan air dan kemarau panjang yang terjadi tahun ini. Penanganan bersifat komprehensif menjadi tuntutan yang tak bisa lagi ditunda.

Kekeringan merupakan kondisi kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa yang berkepanjangan beberapa bulan hingga bertahuntahun. Kejadian itu biasanya muncul bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem yang ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi kekeringan merupakan suatu proses sehingga batasan kekeringan dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Akan tetapi, kekeringan yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerusakan yang signifi kan.

Air merupakan sumber daya alam (SDA) yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Rakyatlah yang berkaitan langsung dengan air. Ia sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tuntutan untuk bisa menikmati air menjadi hak semua orang sehingga pengelolaannya juga menjadi tanggung jawab semua pihak. Tidak hanya pemerintah, mereka juga harus mengupayakan pelestariannya. Peran aktif rakyat dalam pengelolaan SDA air merupakan kebutuhan yang tak terhindarkan.

Bagaimana seharusnya pengelolaan kelestarian dan kualitas air dilakukan? Apakah telah ada ruang yang semestinya bagi peran serta masyarakat? Diperlukan peran serta masyarakat dalam pengelolaan SDA dan keterbukaan memperoleh kesempatan untuk mengaksesnya. Bukankah bumi dan air dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran seluruh rakyat? Tidak hanya sebagian.

Korporatisme

Kebijakan negara mengenai sumber daya air yang tertuang dalam UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air telah membingkai pengelolaan air di negeri ini. Pembahasan difokuskan pada sistem birokrasi dalam implementasi kebijakan tersebut dan bagaimana kemampuan komunitas lokal bisa memainkan peranan mereka. Hal itu didasari sifat lingkungan yang spesifik, maka implementasi kebijakan pengelolaan sumber daya air dan lingkungan untuk setiap tempat cenderung berbeda. Namun, prosedur penyusunan kebijakan dilaksanakan dengan metode yang relatif sama.

Hal yang patut dilihat kemudian ialah institusi mana yang diberi kewenangan mengelola dan mengendalikan. Sejumlah konsekuensi dan kecenderungan dari pemberian kewenangan itu terhadap akses sumber daya air oleh masyarakat penting diketahui. Secara pakem, kewenangan merupakan kekuasaan yang membutuhkan syarat pokok adanya pengakuan dari masyarakat. Sangat ironis bila kewenangan yang dilimpahkan itu nirakseptabilitas publik. Pengabaian terhadap pengakuan dan keterlibatan masyarakat bisa menghilangkan makna kewenangan yang dilimpahkan.

Penting juga untuk melanjutkan pemaparan tentang peran serta lebih luas yang bisa dimainkan masyarakat. Tentu saja yang mengarah ke tanggung jawab dan insentif yang lebih menjamin akseptabilitas publik (public acceptability). Di situ, komitmen lembaga terhadap visi dan misi pengelolaan sumber daya air dilihat. Selain itu, kemampuan lembaga terkait dengan keahlian SDM di dalamnya. Rekam jejak lembaga dan pemahaman terhadap kondisi sosial dan ekologi lokal juga menjadi tumpuan penerimaan masyarakat.

Kebijakan yang ada ternyata kental akan korporatisme negara. Artinya, lembaga yang terkait erat dengan civil society sangat ditentukan negara. Dalam hal ini pemerintah daerah dengan unit pelaksana di dalamnya merupakan representasi negara. 

Pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air dikerjasamakan dengan korporasi pengelola wilayah sungai. Pengujian kualitas air dilakukan dengan penunjukan terhadap laboratorium, dengan didasarkan pada pemilikan sertifikat Komite Akreditasi Nasional. Korporatisme negara terjadi karena lembaga pengelola sangat ditentukan pemerintah (negara). Padahal, kinerja lembaga-lembaga tersebut terkait dengan sejumlah stakeholder, yang terbanyak melibatkan civil society.

Kecenderungan tersebut berakibat keberpihakan pengelolaan kepada kepentingan rakyat banyak dipertanyakan. Penunjukan itu juga rentan terhadap terjadinya penyimpangan apalagi bila telah melibatkan para pemilik modal.
Terlebih bila sudah terjebak pada kepentingan yang sempit dan sesaat yang lebih mudah terjadi.

Partisipasi

Keterbatasan peran masyarakat tergambar pada kebijakan itu. Meski terdapat bab tentang peran serta masyarakat, hanya dikatakan itu dilaksanakan melalui pemberian saran, pendapat, dan penyampaian informasi kepada pejabat berwenang serta kegiatan pelestarian kualitas dan pengendalian pencemaran air pada sumber air. Penyampaian saran, pendapat, dan informasi menunjukkan posisi rakyat yang lemah karena bisa diterima, bisa juga tidak oleh pejabat.

Hal itu berbeda, misalnya, bila masyarakat diberi ruang untuk menyampaikan keluhan atau keberatan jika merasa kebutuhan akan air terganggu. Keikutsertaan dalam kegiatan pelestarian menunjukkan aktivitas mereka sangat ditentukan pemerintah yang berwenang. Masyarakat hanya menjadi pelengkap. Berbeda dengan masyarakat yang berinisiatif dan bertanggung jawab terhadap kelestarian itu. Semua hal tersebut penting karena kebijakan tidak akan berarti apa-apa tanpa peran serta masyarakat.

Ruang yang lebih luas bagi peran serta masyarakat dalam pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air mesti lebih tecermin pada kebijakan pemerintah, termasuk perda. Meski tiap daerah menghadapi persoalan berbeda, secara umum ada dua peran masyarakat yang penting. Pertama, insentif dari pengelolaan sumber daya air yang akan diperoleh masyarakat patut diakomodasi dalam kebijakan. Hal itu akan mendorong inisiatif bagi peran serta masyarakat yang lebih optimal. Mereka yang akan memperoleh manfaatnya, maka merekalah yang harus bertanggung jawab.

Kedua, terakomodasinya kepentingan berupa penempatan kebutuhan mereka akan air menjadi pertimbangan utama pelestarian dan pengendalian. Konkretnya, keluhan dan keberatan akan gangguan air akibat kebijakan pembangunan pemerintah patut mendapatkan respons yang semestinya. Kejelasan peranan akan membawa pengelolaan SDA menjadi hak dan tanggung jawab bersama.

Fenomena alam seperti krisis air ini seyogianya bisa dijadikan cambuk kecil agar kita terus berbenah dalam hidup ini, seperti pesan Ebiet lewat lagunya. Jika tidak, berarti manusia telah membuat kehancuran di muka bumi ini. Tak terbayangkan kalau bumi kita tanpa air. Tentu semua berharap agar kecukupan akan air dalam hidup senantiasa terjaga sampai anak cucu kita. Tanggung jawab itu berada di pundak kita segenap anak bangsa.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar