Moderasi Hukuman Mati
M Ali Zaidan ;
Dosen Ilmu Hukum UPN Veteran
Jakarta;
Anggota Komisi Kejaksaan RI
(2006-2010)
|
KOMPAS, 09 April
2016
”Tuhan saja Maha
Pemaaf,” demikian ”Pojok” harian ini pada edisi 22 Maret lalu ketika
pemerintah dan DPR sepakat moderasi hukuman mati. Dalam batas tertentu,
ungkapan demikian tak terlalu salah, tetapi dalam bidang hukum,
maaf-memaafkan itu harus diletakkan dalam bingkai proporsional.
Di negara Islam pada
umumnya, seperti Arab Saudi, pemaafan dapat menghapuskan eksekusi hukuman
mati dalam kasus pembunuhan apabila terdapat maaf dari keluarga korban. Hal
demikian memang ditetapkan Al-Quran, Surah Al-Baqarah: 178. Juga dalam
Perjanjian Lama, Mikha 7: 18. Berkaca dari dua kitab suci di atas, tentang
moderasi hukuman mati telah terdapat rujukan yang diakui secara universal.
Dalam hukum positif,
berbagai undang-undangtetap mempertahankan eksistensi hukuman mati. Dalam UU
Korupsi, UU Terorisme, dan dalam induknya, KUHP, terdapat pengaturan hukuman
mati. Namun, yang pasti, kontroversi hukuman mati akan terus muncul ketika
terdapat rencana menghapuskan ataupun mempertahankannya
Di dunia terjadi
polarisasi dalam dua kelompok besar: negara yang telah menghapuskannya
(golongan abolisionisme) dan yang tetap mempertahankannya (kelompok
retensionisme). Pada yang disebut terakhir pun masih terdapat penggolongan
antara negara yang tetap menjatuhkan hukuman mati dan mengeksekusinya, dan
negara yang hanya menjatuhkan hukuman mati tetapi tidak mengeksekusinya.
Negara kita saat ini
berada pada kelompok terakhir. Pada beberapa kasus politik tertentu, para
terdakwa dijatuhi hukuman mati, tetapi tetap dibiarkan berada dalam tahanan
tanpa dieksekusi. Sebaliknya, dalam kasus tertentu, seperti narkotika,
terorisme, ataupun pembunuhan berencana, sebagian terpidana (telah)
dieksekusi. Khusus dalam perkara narkotika, eksekusi sering terjadi ketika
terdapat momentum tertentu, misalnya peringatan Hari Narkotika Dunia, dan
aktivis menggugat agar hukuman mati dilaksanakan.
Dalam konteks demikian,
itu tentu dapat dipahami mengingat jenis hukuman ini tetap kontroversial. Di
Belanda, sebagai asalnya KUHP Indonesia, hukuman mati telah dihapus pada
tahun 1870, 16 tahun sebelum Wetboek van Strafrecht (KUHP Belanda) disahkan.
Ia dikecualikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer, terutama
ketika tengah terjadi perang. Dengan demikian, praktis di negeri Belanda
hukuman mati telah dihapuskan. Berkaca dari pengalaman negara ”kincir angin”
itu, apakah dengan dihapuskannya hukuman mati kejahatan merajalela atau
pelaku tak jera?
Sudah seharusnya
Sikap batin seseorang
senantiasa berubah. Apa yang diputuskan suatu ketika dapat saja akan berubah
pada waktu lain. Jiwa manusia itu hidup, senantiasa dinamis. Dengan demikian,
penerapan hukum pun mengikuti perubahan dalam perkembangan jiwa terpidana.
Perubahan sikap batin tertentu setelah tindak pidana seyogianya punya
pengaruh dalam hukum.
Orang yang melakukan
tindak pidana berat dan dijatuhi hukuman berat sewaktu-waktu dapat berubah
seiring dengan perubahan sikap pelaku. Itulah yang kemudian ditangkap
perancang KUHP dengan memperkenalkan konsep moderasi, tepatnya modifikasi
hukuman mati.
Modifikasi mengandung
makna perubahan atau pengubahan. Artinya, atas hukuman mati yang telah
dijatuhkan dapat dilakukan perubahan atau pengubahan menjadi jenis pidana
yang lain, seperti pidana seumur hidup atau pidana untuk waktu tertentu,
maksimum 20 tahun.
Modifikasi hukuman
mati membawa perubahan dalam sistem (administrasi) peradilan pidana. Aparat
eksekusi pidana, seperti petugas lembaga pemasyarakatan, harus mengetahui
dengan persis perubahan sikap warga binaan (narapidana) karena mereka yang
secara terus-menerus berhubungan langsung dengan terpidana.
Begitu juga fungsi
hakim pengawas dan pengamat akan efektif. Tak ada informasi yang menunjukkan
bahwa putusan pengadilan yang telah dijatuhkan, terutama dalam hukuman mati,
dilakukan pengawasan dan pengamatan oleh hakim. Perubahan itu hanya terjadi
apabila dikabulkannya permohonan grasi oleh presiden atau akibat diterimanya
argumentasi melalui upaya hukum banding atau kasasi yang diajukan terpidana.
Meskipun kita tak
serta-merta menghapuskan hukuman mati dalam hukum positif, perlu juga
dilakukan modifikasi sebagai cara melaksanakan/eksekusi hukuman mati. Saat ini
ada ketentuan dalam UU No 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Eksekusi Hukuman Mati
oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer perlu ditinjau
ulang. Hukuman mati yang dilaksanakan dengan cara ditembak telah menimbulkan
efek dramatisasi tertentu, bahkan membutuhkan biaya besar. Dari sudut
efisiensi, eksekusi itu tak sejalan dengan prinsip peradilan cepat,
sederhana, dan berbiaya ringan.
Hormat akan hak hidup
Cara-cara yang
dipraktikkan di negara maju perlu diikuti, misalnya dengan penggunaan zat
kimia tertentu, merupakan hal yang cukup mendesak dilakukan. Memodifikasi
hukuman mati bukan dengan maksud berkompromi dengan pelanggar hukum, atau
anggapan bahwa dihapuskannya hukuman mati tidak menimbulkan efek jera.
Modifikasi hukuman
pada hakikatnya merupakan bentuk kepedulian terhadap kehidupan sesama. Bahwa
kewajiban menghormati hak hidup seseorang merupakan kewajiban siapa pun.
Dengan demikian,
perampasan terhadap hak itu hanya dibenarkan dalam keadaan tertentu.
Modifikasi terhadap hukuman mati merupakan pencerminan sikap negara yang
memandang pelaku sebagai subyek yang sewaktu-waktu dapat berubah.
Dengan demikian,
perampasan nyawa terpidana hanya dibenarkan dalam hal kepentingan hukum tidak
memberikan ruang untuk dihormatinya hak atas hidup yang dimiliki terpidana
sendiri, tetapi bukan dengan tujuan balas dendam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar