Dari Kabul ke Damaskus
Trias Kuncahyono ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 17 Maret
2016
Hampir 70 tahun
sejarah Uni Soviet didominasi oleh tradisi intervensi militer ke negara lain.
Secara geografis, invasi militer Uni Soviet membentang mulai dari Krakow
(Polandia, 17 September 1939) hingga Kepulauan Kuril (18 Agustus 1945).
Invasi terakhir Uni Soviet di zaman Perang Dingin adalah ke Afganistan
(1979-1989).
Invasi ke Afganistan
ini merupakan invasi militer Uni Soviet terakhir sebelum akhirnya negeri itu
bubar pada tahun 1991 dan sekarang menjadi Federasi Rusia. Tengah malam, 24
Desember 1979, sekitar 30.000 tentara (tahun 1985 menjadi 100.000 personel)
Uni Soviet masuk Afganistan. Tujuannya: menyingkirkan Presiden Hafizullah
Amin dan menggantikannya dengan Babrak Karmal. Lewat Babrak Karmal ini Uni
Soviet akan mendirikan rezim komunis.
Dengan masuk ke
Afganistan, Uni Soviet ingin memperkuat penguasaannya atas wilayah Asia
Tengah: Kazakhstan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Tajikistan. Sejarawan Milan
Hauner berpendapat, invasi ke Afganistan merupakan kelanjutan dari kebijakan
luar negeri Kekaisaran Rusia dan Uni Soviet, yang didasarkan pada "Great
Game" (1813-1907), untuk mencari pelabuhan air hangat dan ladang minyak
di Teluk.
Lembaran hitam
Tetapi, Afganistan
adalah lembaran hitam Uni Soviet. Perang yang menewaskan sekitar sejuta
orang, termasuk 15.000 tentara Uni Soviet, nyaris tidak memberikan apa-apa
pada Uni Soviet kecuali kekalahan. Karena itu, ketika September lalu Rusia
mengirimkan mesin perang dan tentaranya ke Suriah untuk mendukung rezim
Presiden Bashar al-Assad menghadapi kelompok oposisi bersenjata dan kelompok
bersenjata yang menyebut dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS),
ingatan akan lembaran hitam di Afganistan itu muncul lagi. Apakah Rusia akan
mengalami tragedi yang sama dengan saat masuk Afganistan?
Dari sisi kepentingan
strategi politik, ekonomi, dan militer tujuan Rusia masuk ke Suriah, nyaris
mirip dengan dulu ketika masuk ke Afganistan. Rusia berkepentingan untuk
mengamankan pelabuhan Tartus (di pantai Suriah), satu-satunya pangkalan Rusia
di Timur Tengah (dalam konteks "Great Game"). Moskwa berpendapat
bahwa rezim Bashar al-Assad adalah satu-satunya benteng yang realistik untuk
menghadapi NIIS dan kelompok-kelompok militan lainnya di Timur Tengah.
Karena itu, Rusia
berusaha mencegah usaha pendongkelan Bashar al-Assad dari luar, yang dimotori
AS. Dan dengan kemampuan militernya, Rusia ingin menunjukkan bahwa mereka
pantas dihitung dalam pertarungan global sebagai kekuatan besar. Fakta di
lapangan mendukung semua itu. Dengan dukungan kekuatan militer Rusia, Bashar
al-Assad dapat merebut kembali wilayah-wilayah yang telah dikuasai oposisi.
Cerita Afganistan tidak terulang
Ketika akhirnya Rusia
memutuskan menarik diri setelah tujuannya tercapai walau belum
seluruhnya-karena itu masih meninggalkan mesin perang-cerita di Afganistan
tidak terulang.
"Adalah lebih
baik menarik diri saat gencatan senjata ketimbang ketika perang berkecamuk.
Sebab, kalau menarik diri saat perang berarti menjadi defensif, dan menarik
diri ketika gencatan senjata adalah kemenangan," kata Alexander Baunov
dari Carnegie Moscow Center.
Negara-negara lain
yang terlibat dalam konflik Suriah menyadari motif, kepentingan, kapabilitas,
dan tujuan yang ingin dicapai Rusia itu. Mereka tidak bisa memungkiri fakta
di lapangan: peran Rusia menciptakan kondisi yang memungkinkan terciptanya
perdamaian. Keputusan Rusia itu juga menyadarkan Bashar al-Assad bahwa
dukungan Rusia pada Suriah ada batasnya. Dan, sudah tiba saatnya kini untuk
ke meja perundingan. Barangkali ini jasa Rusia.
Rusia tidak mau
menambah lembaran hitam dari buku Afganistan. Damaskus beda dengan Kabul.
Meskipun, keluarnya Rusia kemungkinan akan dimanfaatkan oleh NIIS atau
kelompok garis keras lainnya untuk menggempur lagi pasukan Bashar al-Assad. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar