Laporan Diskusi Kompas-LMI
“Pendidikan
untuk Transformasi Sosial”
Menuju
Pendidikan Transformatif
KOMPAS, 18 Agustus 2015 |
Dalam usia 70 tahun, negeri ini
masih terseok-seok. Kemiskinan merajalela, sementara korupsi masih jadi
perilaku elite. Pergantian kepemimpinan nasional tak menjamin terciptanya
keadilan dan kesejahteraan sosial. Demokrasi menjelma menjadi democrazy.
Saatnya berpikir jauh ke depan
untuk mewujudkan perubahan yang bersifat fundamental. Pendidikan merupakan
solusi yang tepat untuk dijadikan jembatan menuju gerbang kemajuan negeri
ini. Sebagai republik, para pendiri bangsa sangat sadar ketika menjadikan
klausul "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai salah satu pilar
penting dalam konstitusi. Jika ingin negeri ini sejajar dengan negeri-negeri
yang lain, harus menjadikan pendidikan sebagai titik awal kebangkitan.
Presiden Joko Widodo menegaskan
bahwa problem negeri ini terdapat pada rapuhnya mental. Problem kebangsaan
muncul ke permukaan karena kita kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa
yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Sebab itu, diperlukan revolusi
mental yang harus didesain secara serius melalui jalur pendidikan sejak dini.
Mengubah mental tak bisa bersifat instan, tetapi harus dilakukan secara
sistematis, terstruktur, dan berjangka panjang.
Soekarno-Hatta dan para pendiri
bangsa lain mempunyai kesadaran penuh bahwa tugas mencerdaskan kehidupan
bangsa mempunyai kedudukan yang sama dengan tugas-tugas lain, seperti
menciptakan kedamaian, memajukan ekonomi, dan mewujudkan perdamaian dunia.
Keempat tugas tersebut semestinya berjalan beriringan karena pendidikan
terkait langsung dengan pembangunan bangsa.
Secara filosofis manusia pada
hakikatnya adalah makhluk pembelajar. Pendidikan akan membantu manusia untuk
memberdayakan kemampuannya secara bertahap. UNESCO menegaskan bahwa melalui
pendidikan, setiap warga bisa belajar untuk belajar, belajar untuk hidup
bersama, dan belajar untuk mempunyai jati diri.
Pendidikan merupakan proses
humanisasi. Melalui pendidikan, manusia sedang berproses menjadi manusia
sempurna. Sebab itu, setiap manusia harus berkembang bersama alam dan menjaga
kelestariannya. Melalui pendidikan, setiap warga negara terus berupaya agar
mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
Pendidikan
yang membebaskan
Manusia merupakan makhluk historis
yang terus berkembang seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Karena itu,
pendidikan sejatinya tidak mengajarkan dogmatisme dan positivisme. Pendidikan
harus mendorong setiap warga agar mempunyai nalar konstruktif. Pendidikan
sejatinya dapat melahirkan kreativitas dan inovasi, bukan justru memasungnya.
Pendidikan juga harus mendorong setiap warga agar mampu mengaktualisasikan
kebebasan. Setiap manusia mempunyai fitrah kebebasan yang melekat dalam
dirinya. Sebab itu, pendidikan semestinya tidak memasung kebebasan setiap
warga, tetapi justru membebaskannya.
Dalam diri setiap manusia terdapat
unsur rohani dan jasmani. Kedua unsur ini tidak bisa dipisahkan dalam diri
manusia. Pendidikan harus mampu menjaga keseimbangan di antara kedua dimensi
itu. Manusia pada hakikatnya adalah eksistensi dan insentensi. Keterpenuhan
kedua dimensi itu amat dibutuhkan. Pendidikan sejatinya mampu memenuhi kedua
hal itu sebagai dimensi yang fundamental dalam diri manusia. Setiap manusia
butuh kasih sayang. Pendidikan sejatinya dapat memupuk kasih sayang pada
setiap warga. Sebab itu, diperlukan intersubyektivitas, subyek (guru) dan
subyek (siswa), dalam rangka bergumul dan berinteraksi dengan obyek (dunia).
Kata kuncinya, kasih sayang dan kesanggrahan merupakan dimensi penting
menangkal budaya kekerasan.
Puncaknya, pendidikan harus mampu
menyadarkan manusia agar menghormati kehidupan. Setiap manusia akan menuju
kematian. Karena itu, pendidikan harus didorong agar setiap warga menyadari
bahwa kehidupan adalah anugerah. Berlomba dalam kebajikan dalam hidup
merupakan tugas mulia yang harus dilakukan setiap manusia. Di sini pendidikan
harus menegaskan bahwa tugas manusia adalah mengisi kehidupan dengan
kebajikan, bukan justru menebar kejahatan. Makna filosofis dalam diri manusia
dan implikasinya bagi pendidikan itu penting diperhatikan agar pendidikan
sejalan dengan tujuan pembangunan manusia.
Di sini letak betapa penting
pendi- dikan untuk transformasi sosial. Maka dari itu, diperlukan langkah
serius mewujudkan pendidikan transformatif. Pertama, perlu memformulasikan
kembali konsep pendidikan. Pendidikan sejatinya tak hanya dikaitkan dengan
upaya menguasai disiplin ilmu tertentu, tetapi juga membentuk identitas warga
agar menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai warga.
Kedua, menumbuhkan kesadaran etis
dalam pendidikan. Di dalam etika, setiap warga akan memahami tugas dan
tanggung jawabnya terhadap orang lain. Begitu pula penindasan dan
penyengsaraan sama sekali tidak bisa ditoleransi. Di sini letak penting etika
agar dapat membangun kesadaran untuk melawan ketidakadilan. Pada akhirnya,
etika dapat menumbuhkan kesadaran terhadap hak asasi manusia.
Ketiga, perlu pendidikan yang
memberikan perhatian terhadap keragaman. Pendidikan mempunyai peran yang
sangat vital untuk memberikan penyadaran bahwa keragaman merupakan fakta yang
tak terbantahkan. Hal ini bisa dilihat dari keragaman identitas dan
subyektivitas yang dikonstruksikan secara beragam, bahkan kontradiksionis
antara yang satu dan yang lain. Pendidikan multikultural diperlukan agar
setiap warga mampu menerima dan memahami fakta keragaman serta menjadikannya
sebagai kekuatan untuk membangun bangsa. Demokrasi meniscayakan keragaman dan
pendidikan merupakan cara terbaik memberikan pemahaman betapa penting
menerima dan menghargai keragaman.
Keempat, pendidikan sejatinya
tidak membekukan pengetahuan. Dalam ranah pendidikan, pengetahuan dengan
segala perangkatnya, termasuk kurikulum, sejatinya tidak dijadikan
"baku" dan "beku". Pengetahuan harus dirangsang agar
selalu terbuka diinterpretasi sesuai dengan perkembangan zamannya.
Pengetahuan bersifat dinamis.
Kelima, pendidikan harus mendorong
lahirnya pengetahuan baru. Sebagai konsekuensi pendidikan yang tidak bersifat
statis dan beku, pengetahuan harus terus dilahirkan dan diciptakan. Budaya
kritis dan inovasi diperlukan untuk menstimulus lahirnya tesis-antitesis-sintesis
yang terus-menerus mendorong lahirnya pengetahuan baru.
Keenam, pendidikan harus meninjau
kembali pengertian rasionalitas. Definisi rasionalitas ala masa pencerahan
mesti dikritisi karena hanya menganggap rasio sebagai medium untuk menemukan
kebenaran. Padahal, ada dimensi historis dan ideologis dalam kebenaran yang
dilupakan. Di sinilah batas-batas rasionalitas mesti diperlihatkan.
Ketujuh, perlu pendidikan kritis
yang mampu melahirkan kemungkinan baru. Pendidikan kritis sangat penting agar
selalu ada koreksi dan kontrol yang memungkinkan nalar publik hidup. Tidak
hanya itu, nalar kritik juga diharapkan melahirkan kemungkinan baru dan
harapan baru. Dialektika dalam dunia pendidikan mesti ditumbuhkan sehingga
merangkaikan budaya keberbedaan yang dinamis dan konstruktif.
Kedelapan, pendidikan mesti
menjadikan guru sebagai intelektual transformatif. Pada hakikatnya guru bukan
sekadar "profesi". Guru mempunyai peran yang sangat sentral dan
strategis karena guru dapat memproduksi ideologi, mengajarkan teori, serta
mengaitkannya dengan realitas. Di sini peran guru sangat penting dalam
transformasi sosial.
Kesembilan, pendidikan mesti
mengembangkan kemampuan "bersuara". Pendidikan sejatinya tidak
berpretensi untuk membungkam aspirasi, tetapi justru membukanya agar setiap
warga terdorong untuk menemukan identitasnya.
Katalisator
transformasi sosial
Beberapa langkah itu jadi penting
digelorakan mulai sekarang agar pendidikan dapat jadi katalisator
transformasi sosial. Langkah ini penting dilakukan seiring dengan arus
perubahan yang tak terhindarkan di ruang publik dengan derasnya arus
demokratisasi dan globalisasi. Semuanya itu butuh manusia bermental baja dan
berpengetahuan luas. Intinya, pendidikan transformatif sejatinya bertolak
dari amanat Pembukaan UUD 1945 yang menjadikan pendidikan sebagai medium
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di sini Pancasila salah satu
kekuatan sebagai orientasi bagi pendidikan yang humanistik, dialogis, dan
reflektif. Dengan demikian, mentransformasikan masyarakat pada hakikatnya
mentransformasikan pendidikan. Kita harus lakukan dari sekarang untuk memetik
buahnya pada tahun-tahun mendatang sehingga kualitas demokrasi membaik,
ekonomi berkembang dan merata, serta berperan signifikan di pentas global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar