Mengembalikan
Citra Islam
Robitul Umam ; Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta
Konsentrasi Kajian Pemikiran Islam
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Maret 2015
DEWASA ini, dunia
diresahkan dengan gerakan radikal ISIS (Islamic
State of Iraq and Syria) di Timur Tengah dan kelompok Boko Haram di
Afrika. Kedua kelompok ini sama-sama mengatasnamakan Islam sebagai pembenar
tindakan kekerasan yang telah mereka lakukan. Kedua kelompok ini juga sama
dalam memimpikan berdirinya kembali pemerintahan yang berasaskan ajaran
Islam. Namun, benarkah ajaran Islam baik dari sisi syariat (Islamic law) maupun akidah (teologi)
membenarkan tindakan mereka? Ataukah itu semua hanya interpretasi dari ISIS
dan Boko Haram yang memahami Islam hanya secara parsial?
Tindakan kelompok radikal
ISIS dan Boko Haram tentu merusak citra positif Islam dan umat Islam dunia. Islamophobia
pun bermunculan di berbagai negara, terutama negara yang mayoritas
berpenduduk nonmuslim. Oleh karena itu, perlu ada
gerakan kontra ISIS dan Boko Haram yang masif dari kalangan muslim moderat
dunia, baik melalui gerakan sosialisasi maupun melalui tulisan untuk
menjelaskan kepada dunia bahwa tindakan ISIS dan Boko Haram tidak dibenarkan
dalam Islam.
Dalam sebuah hadis sahih
(valid) yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhari yang sangat dipercaya
kredibilitasnya, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “permudahlah dan jangan
persulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.“ Dari hadis
ini, dapat kita bayangkan bagaimana Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin agama
menginginkan Islam tersebar dengan penuh keramahan dan kesantunan, bahkan
beliau menyerukan agar menanamkan unsur-unsur kegembiraan kepada khalayak
umum, bukan malah membuat orang lari ketakutan dari Islam. Karena sejatinya
kebenaran itu dengan sendirinya akan diterima tanpa ada intimidasi dan
pemaksaan. Sebagaimana Allah berfirman dalam Alquran Surah Albaqarah (2):
256, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah
jelas yang benar dari jalan yang sesat.
Sayyid Qutb dalam
tafsirnya “Fî Dzilâlil Quran“ juz III (1400 H/1980 M) menjelaskan bahwa
kalimat “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)“ ini untuk
`Nafyuljinsi' meniadakan segala jenis, yaitu menegaskan semua bentuk
pemaksaan di dunia dalam realitas kehidupan beragama tidaklah dibe narkan,
sedangkan makna dari kalimat “Sesungguhnya telah jelas yang benar dari jalan
yang sesat“, Sayyid Qutb berpendapat bahwa iman itu adalah jalan yang benar,
yang sudah secara naluriah manusia menyukai dan menginginkannya, tanpa harus
dipaksa.
Dr Abdul Moqsith Ghazali
dalam bukunya yang berjudul ` `Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi
Berbasis Alquran' (2009) juga mengatakan bahwa ayat La ikraha fi din (Albaqarah, 256) ialah termasuk dalam kategori lafd `am (pernyataan umum) yang
menurut usul fiqih mazhab Hanafi ialah tegas dan pasti (Qath'i) sehingga
meniscayakan ayat ini tidak dapat dihapuskan (tkhashish, nasikh) oleh ayat-ayat yang sifatnya kontekstual,
apalagi oleh hadis ahad (seperti hadis yang memerintahkan membunuh orang yang pindah agama) yang dalalatnya
ialah zhanni (relatif). Ayat La
ikraha fi din (Albaqarah, 256) ini bersifat universal, melintasi ruang dan
waktu. Ayat yang berisi nilainilai umum ajaran disebut sebagai ayat ushul
(ushul Alquran atau ayat kulliyat).
Sejarah juga mencatat
bagaimana Islam hadir dengan mengakui hak hidup dan beragama bagi umat
beragama lain. Karen Armstrong memuji tindakan Umar bin Khattab saat
penaklukan Jerusalem. Di saat kaum Kristen Eropa menyerukan membunuh kaum `heresy'
karena berbeda agama, Umar bin Khattab justru tampil memberikan perlindungan
dan kebebasan beragama kepada kaum Kristen di Jerusalem.Karena mencatat Umar
bin Khattab ialah penguasa pertama yang menaklukkan Jerusalem tanpa
pengrusakan dan pembantaian manusia, bahkan menandatangani perjanjian `Iliya'
dengan pemimpin Kristen Jerusalem.
Dalam kehidupan
keseharian, umat muslim secara normatif juga dianjurkan mengucapkan salam
perdamaian (assalamualaikum). Para
ulama berpendapat bahwa hukum menjawab salam ialah fardhu kifayah.
Ini artinya, bahwa Islam
mesti diinternalisasikan ke dalam jiwa setiap muslim sehingga perdamaian,
keselamatan, dan kemaslahatan menjadi pijakan dalam beragama.Kemudian, perlu
juga ditegaskan di sini bahwa teks Islam, Alquran dan hadis, sebagai sumber
utama hukum Islam tidak pernah menjelaskan konsep sistem kenegaraan yang
rinci.
Islam sebagai way of life manusia tidak mengenal
pandangan yang jelas, pasti, dan terperinci mengenai ideologi negara,
konstitusi negara, mekanisme pemilihan dan pergantian pemimpin, serta alat
kelengkapan negara.
Dalam literatur sejarah
Islam, dapat kita dapati bagaimana para pemimpin awal Islam (khalifah)
dipilih dan diganti dengan cara yang berbeda-beda. Abu Bakar dipilih dengan
cara dibaiat atau prasetia, Umar dengan cara sistem ditunjuk oleh pemimpin
sebelumnya (Abu Bakar), Utsman dipilih oleh sistem dewan pemilih (electoral college - ahl halli wa al-aqdli) yang
beranggotakan tujuh orang.
Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib dengan
proses serbamendesak. Pada saat yang sama, Abu Sufyan tengah mempersiapkan
anak-cucunya untuk mengisi jabatan khalifah se bagai pengganti Ali bin Abi
Thalib.Kemudian pada masa berikutnya, umat Islam menggunakan sistem monarki
yang diadopsi dari sistem kekaisaran Romawi dan Persia.
Belum lagi, perbedaan
pendapat sarjana awal Islam mengenai konsep negara dan ciri pemimpin yang
ideal. Misalnya, perbedaan pendapat antara al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali,
Ibn taymiyyah, dan Ibn Khaldun. Dengan demikian, jelaslah bahwa gagasan ISIS
untuk mendirikan negara Islam tidaklah konseptual dan tidak benar-benar
berdasar dari teks-teks Islam (Alquran dan hadis).
Gagasan ISIS
dan Boko Haram untuk mendirikan negara Islam hanyalah `pemikat' untuk menarik
umat Islam dunia agar terjerumus pada `jebakan' kepentingan politik mereka
saja.
Oleh karena itu, pemahaman
terhadap keagamaan yang didasari akan kesadaran perbedaan, pengakuan akan
adanya hak-hak orang lain tanpa adanya pemaksaan, toleransi dengan tanpa
kehilangan sibghah (jati diri)
ialah pilar-pilar dalam ajaran Islam. Dengan pengakuan dan pelaksanaan
inilah, Islam akan senantiasa menjadi rahmat bagi semua (Rahmatan lil'alamin). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar