Pendidikan
Agama dan Kesalehan Sosial
Benny Susetyo ; Rohaniwan,
Sekretaris Komisi HAK KWI
|
KORAN
SINDO, 21 Maret 2014
Pendidikan
agama seharusnya mengajarkan nilai-nilai inklusif. Ialah sebuah nilai yang
mementingkan toleransi kehidupan beragama dan tidak melihat agama lain
sebagai musuh yang menakutkan.
Ini bisa
ditempuh dengan cara mengajarkan nilai-nilai agama secara utuh dan tentu saja
menghindarkan diri dari memahami agama secara eksklusif. Itulah sebagian poin
penting yang didapatkan dari perbincangan lintas agama yang digagas Tony
Blair Faith Foundation pekan lalu.
Dialog Antaragama
Ini
menyangkut masa depan dialog antaragama sebagai jalan menuju dunia yang
damai, toleran, dan berkeadilan. Nasib dialog antaragama ada di tangan para
generasi baru, tentang kesanggupan mereka menerima perbedaan sebagai suatu
keniscayaan, dan kemampuan memperjuangkan nilai-nilai toleransi sebagai harga
mati di tengah tata dunia yang plural. Egoisme kelompok dan pandangan yang
melihat kelompok lain secara picik merupakan akar segala masalah yang
menyangkut terganggunya hubungan antaragama.
Di
tingkat nilai pada umumnya nilai harmonis dan toleransi bisa diterima. Namun,
dalam hal praktik itu kerap hanya menjadi sesuatu yang manis di bibir.
Pertikaian dan konflik seringkali diarahkan untuk memperkeruh hubungan
antaragama dan ironisnya ada oknum yang memanfaatkan situasi ini untuk
mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya. Agar sampai pada praktik yang
mengejawantah dalam segenap perilaku kehidupan kita, penanaman nilai
toleransi sebaiknya dimulai dari generasi muda. Merekalah yang akhirnya akan
menyemaikan gagasan toleransi ini.
Kendatipun
dunia semakin bergerak menuju modernitas dan individualisme semakin tinggi,
eksklusivitas dalam kehidupan beragama juga berkembang. Pada sebagian kecil
kelompok, agama menjadi pilihan pada saat kehidupan modern tak lagi
memberikan kebahagiaan. Celakanya bila agama dipahami dengan cara yang
sempit, kekerasan pun diterima sebagai cara memperjuangkannya. Sikap
kecurigaan terhadap stigma agama tertentu dan menyalahgunakan istilah
keagamaan untuk membenarkan kekerasan yang menimbulkan salah tafsir hendaknya
dihindari sedini mungkin.
Dalam
konteks demikian, urgensi pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai
toleransi seharusnya ditekankan sejak dini. Anak didik perlu diberikan
pemahaman yang menyeluruh tentang keberagamaan dan keberagaman. Ini
mengajarkan agar mereka memiliki cara pandang yang lebih luas terhadap
keniscayaan perbedaan. Nilai-nilai perdamaian diajarkan sejak dini mengingat
”damai” itu sejak dulu begitu mudah diucapkan, tapi begitu sulit dipraktikkan.
Di dalam keseragaman damai relatif mudah diterapkan. Bagaimana dalam hidup di
dunia yang beragam? Kenyataannya, dunia ini beraneka warna.
Dalam
berbagai kasus kekerasan yang terjadi, pertanyaannya masih berkutat pada,
masih adakah harapan damai bisa dinikmati dalam dunia yang penuh dengan
perbedaan ini? Hidup damai dalam perbedaan itulah yang senantiasa perlu
dibudayakan dan terusmenerus dipromosikan dan diajarkan sebagai nilai-nilai
utama berkehidupan. Bukan cara kekerasan yang bisa menyelesaikan masalah,
namun dialog dan saling memahami. Memperbesar kesamaan nilai-nilai
kemanusiaan jauh lebih penting dibandingkan mengungkit-ungkit perbedaan.
Dalam
kerangka ini, tuntutan bahwa suatu budaya damai dan solidaritas antarmanusia
dapat dibangun, di mana setiap orang dengan teguh dapat terlibat untuk
membangun masyarakat persaudaraan. Disadari bahwa agama yang ditafsiri ke
dalam primordialitas akan selalu menegasikan aspek pluralitas dan selanjutnya
ini menghilangkan moralitas manusia yang paling asasi. Tentu pula perlu
disadari bahwa fungsi agama adalah menolak segala macam sikap kebencian,
balas dendam, kepicikan, pembunuhan, pemaksaan, perampokan, dan kerusuhan.
Fungsi
agama adalah mengembangkan sikap kebaikan, belas kasihan, solidaritas, dan
persaudaraan universal tanpa membedakan asal usul suku dan budaya, ras,
maupun gender. Agama tanpa fungsi semacam itu hanya akan melahirkan pemujaan
(cult) belaka. Agama diturunkan ke
bumi ini untuk menciptakan kedamaian dan ketenteraman. Tidak ada cita-cita
agama yang ingin membuat onar, membuat ketakutan, suasana mencekam,
pembunuhan, sadisme, dan perusakan.
Pendidikan Agama
Sering
menjadi kritik tajam bahwa sejauh ini pelajaran agama yang diajarkan di
sekolah-sekolah kita itu lebih banyak bersifat ritual dan dogmatik. Pelajaran
agama justru kurang menyentuh hal yang sangat mendasar yang berkaitan
keberagaman dalam agama. Lebih jauh tekanan pengajaran agama masih terletak
pada to have religion, bukan pada to be religion. Orientasi pelajaran
semacam itu masih menekankan sifat kesalehan individual daripada kesalehan
sosial.
Orang
yang punya agama belum tentu beriman dan bertakwa, tetapi ada orang yang
tidak mempunyai agama, hidupnya lebih beriman dan bertakwa. Persoalannya,
bagaimana agama diajarkan di sekolah mampu membebaskan murid dari kesempitan
ritualitas, kepicikan, dan fanatisme buta. Agama yang diajarkan di sekolah
seharusnya mampu membuka wawasan anak didik untuk meningkatkan keimanan dan
ketakwaan. Agama seharusnya mampu mewujudkan kembali konfigurasi nilai. Agama
bertugas merajut nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai inilah yang menjadi
dasar keimanan dan ketakwaan.
Orientasi
pendidikan agama tidaklah cukup kalau hanya menyangkut ihwal luar seperti
upacara, peraturan, ritus, hukum, lambang-lambang, segi-segi sosiologis,
maupun segi politis dari gejala yang disebut agama. Agama tidak bisa
disamakan hanya dengan semua segi luar itu meski diakui bahwa segi-segi luar
itu menjadi bagian tak terpisahkan dari agama. Pendidikan agama kita sekarang
ini terkesan kurang memberi perhatian pada masalah-masalah sosial (kesalehan
sosial).
Pendidikan
agama belum memperhatikan sungguh-sungguh suasana batin kebangsaan Indonesia
yang penuh warna-warni, tapi lebih banyak menonjolkan nilai-nilai luhur
agamanya yang jauh lebih baik dibandingkan agama lain. Saatnya memperlebar
jangkauan masa depan dialog antaragama dengan memberi sentuhan khusus pada
aspek pendidikan. Dari sanalah segalanya dimulai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar