Model
Islamisme Turki
Arya Sandhiyudha ; Kandidat
Doktor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional
dari Fatih
University, Istanbul, Turki
|
REPUBLIKA,
21 Maret 2014
Turki akhir-akhir ini sedang
dilanda kegaduhan, Perdana Menteri Erdogan yang telah menjadi tokoh terpopuler
dunia Muslim kini tengah mengonsolidasi eksekutif, legislatif, dan yudikatif
di bawah kekuasaannya. Setidaknya itu hiruk-pikuk yang terus beredar dalam isu
yang bergantian, namun selalu menjadi trending
topic Twitter, sosial media yang juga katanya hendak dikendalikannya.
Apa pun alasan dan niat baik
dari Erdogan, moga protes rakyat terhadap beberapa blunder yang dilakukannya
tersebut tidak disikapi dengan emosional melalui pernyataan dan tindakan yang
justru kian menemui pembenarannya.
Sebab, Turki adalah harapan
dunia Muslim. Itu dirasakan sekali ketika Arab Spring bergulir, Turki seakan
menjadi panutan di Timur Tengah dalam konteks kisah suksesnya menggabungkan
Islam dan demokrasi selama satu dekade.
Saat Arab Spring belum membuahkan
hasil yang diharapkan, justru Turki terlihat agak meredup sebagai sebuah
model Islamisme. Tunisia justru terlihat berhasil, padahal gerakan An-Nahdhoh pimpinan Rashid Gannoushi
awalnya banyak terinspirasi dari AKP Turki.
Betapapun demikian, hari ini
Turki tetaplah menjadi inspirasi Islamisme di dunia untuk hal yang perlu
dilakukan dan hal yang sebaiknya dihindari. Di antaranya, aturan Perdana
Menteri Recep Tayyip Erdogan yang ditu ding bertendensi ke arah otoritarianisme
semoga tidak berlanjut di Turki dan tentulah jangan dilakukan oleh Islamisme
manapun. Sebab, ini akan mengakhiri klaim Turki untuk menjadi model regional,
juga akan menyudahi kisah sukses Islamis untuk mengintegrasikan dirinya ke
dalam bentuk inklusivitas dan integrasi ke persepsi nasional, demokrasi, dan
globalisme.
Hal lain yang moga tidak
berlanjut di Turki dan tidak perlu ditiru Isla mis manapun, yaitu terpancing
dalam konflik yang menciptakan polarisasi masyarakat secara tajam. Hal ini
dimulai sejak Juni 2013 saat protes Gezi direspons dengan kebrutalan polisi,
ini akhirnya memicu protes nasional karena 11 orang tewas dan ribuan lainnya
luka-luka.
Erdogan menggunakan sebuah
retorika Islam untuk menutupi langkahnya dalam memperkuat konstituen yang
konservatif. Erdogan mengklaim para demonstran Gezi menyerang seorang wanita
yang mengenakan jilbab dan mengonsumsi alkohol di sebuah masjid.
Ragam bukti belakangan menunjukkan
propaganda tersebut adalah palsu.
Hal yang perlu dilakukan oleh
Islamis manapun adalah tidak membentuk polarisasi tajam di masyarakat hanya
untuk memperkuat basisnya dengan mencitrakan diri sebagai pembela Muslim
konservatif. Meskipun pada akhirnya akan berbuah kemenangannya dalam
pemilihan presiden Agustus 2014, namun pluralitas sebuah bangsa akan koyak
kalau masyarakat terbelah terlalu tajam.
Ada hal lain lagi yaitu kasus
penyelidikan korupsi pada 17 Desember 2013 yang merupakan pukulan besar bagi
citra Erdogan untuk maju menjadi presiden dengan kekuasaan yang superkuat. Pada
kasus ini empat menteri kabinetnya harus mengundurkan diri karena tuduhan.
Kemudian, Erdogan mendefinisikan skandal ini sebagai upaya kudeta yang
dipentaskan oleh "negara paralel" dari gerakan Gulen. Ia mendeklarasikan
"Perang Kemerdekaan", dan telah menjuluki semua orang dan pihak
yang tidak setuju dengannya sebagai "pengkhianat" yang dikendalikan oleh gerakan
Gulen.
Ini berbeda sekali dengan cara
Islamis an-Nahdhah di Tunisia, saat
ada kritik terhadap kinerja pemerintahan berkuasa dengan elegan dan
konstitusional, lalu mereka membicarakan solusi bersama dengan rekan-rekan
koalisinya, bahkan siap untuk menempuh jalur reshuffle dan pergantian kepala pemerintahan.
Memang ada psikologis yang mungkin
berbeda dalam kasus Turki, ini dialami oleh partai berkuasa, namun cara
Erdogan menyebut Fethullah Gulen sebagai "nabi palsu" dan pendukung
larangan jilbab, serta memanggil pengikut gerakan Gulen itu sebagai mata-mata
dan lain-lain, jika diteruskan memang benar-benar akan berpotensi merusak
reputasi domestik juga internasional dari diri dan institusinya yang selama
ini menjadi model Islamisme.
Erdogan sampai harus menunda investigasi
korupsi, hingga melakukan reshuffle
sekitar 8.000 polisi dan memerintahkan kepala polisi tidak mematuhi jaksa dan
hakim dalam kasus-kasus korupsi baru. Menteri kehakimannya yang baru
diberikan mandat mengambil alih otoritas Dewan Tinggi Hakim dan Jaksa
Penuntut Umum, serta mencabut izin ratusan jaksa. Semakin geger ketika
tersangka kunci Reza Zerrab, yang diduga menyuap tiga menteri dan ditransfer
miliaran dolar ke Iran, dibebaskan.
Meskipun retorika Erdogan
tentang Islam efektif terhadap para pemrotes Gezi, namun ia tidak akan
terlalu bermakna saat melawan gerakan Gulen yang memiliki kredibilitas baik
di kalangan Muslim konservatif. Sekali lagi, ini hanya akan membuat Turki
sebagai model Islamisme meredup, bukan seperti yang diharapkan oleh dunia
Muslim.
Para penggemar Erdogan dan AKP,
baik warga Turki maupun warga dunia, juga tentu berharap agar beliau bukan
malah melanjutkan rencananya untuk melarang YouTube dan Facebook, namun ia
dapat sedikit tenang dalam merespons. Kali ini, model Islamisme ala Tunisia dan
Indonesia mungkin dapat dijadikan rujukan. Wallahu a'lam bishshawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar