Rabu, 22 Januari 2014

Menyemai Toleransi

Menyemai Toleransi

Edi Sugianto   ;   Penggiat Pendidikan Multikultural, UMJ Jakarta
KOMPAS,  21 Januari 2014
                                                                                                                        


SEKARANG orang memandang biasa perayaan agama yang dikawal ketat aparat keamanan. Demikian pula halnya dengan perayaan Natal yang baru berlalu, agar umat bisa beribadat dalam suasana aman dan nyaman. Maklum saja negeri ini sudah seperti ”rimba”.

Penjagaan ketat tersebut sangatlah kontradiktif dengan ajaran agama yang serba damai dan menghargai sesama.

Kenyataannya, agama yang dianut kelompok tertentu masih dianggap musuh oleh pemeluk agama yang lain. Mimpi indah tentang bangsa yang penuh kedamaian di negeri kita, masih fatamorgana.

Tahun 2012 tercatat 264 pelanggaran kebebasan beragama dan 371 bentuk tindakan penghambat kebebasan beragama yang menyebar di 28 provinsi.

Lima provinsi dengan tingkat pelanggaran tertinggi berturut-turut: Jawa Barat sebanyak 76 peristiwa, Jawa Timur (45), Aceh (36), Jawa Tengah (30), dan Sulawesi Selatan (17). Ini belum termasuk sweepingdi sejumlah tempat ibadah.

Pada periode Januari-Juni 2013 Setara Institute mencatat, 122 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dalam 160 bentuk tindakan menyebar di 16 provinsi. Separuhnya terjadi di Jawa Barat sebanyak 61 peristiwa, diikuti Jawa Timur (18) dan DKI Jakarta (10).

Dari 160 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan terdapat 70 tindakan negara yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor.
Dari 70 tindakan negara, 58 tindakan merupakan tindakan aktif (by commission) termasuk 11 tindakan penyegelan tempat ibadah dan delapan tindakan diskriminasi. Sementara itu 12 tindakan merupakan tindakan pembiaran/by omission (www.setara-institute.org).

Hemat saya, konflik antarumat beragama di negeri ini hanya mungkin bisa diredam apabila para penganut agama sudah benar-benar memahami inti ajaran agama masing-masing.

Muncul pertanyaan, kapan para penganut agama memahami hakikat agama? Bagaimana respons pendidikan (agama) tentang itu?

Pendidikan multikultural

Pendidikan sebagai jembatan perubahan sosial (social change) diyakini mampu memoderasi konflik horizontal di masyarakat, termasuk konflik berlabel agama. Banyak usulan agar gagasan ”multikulturalisme” diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan (formal).

Saat ini, multikulturalisme mulai ditiupkan dalam ”pendidikan agama” karena model pendidikan agama yang lama dianggap sudah usang, tidak relevan, dan gagal menciptakan harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara.

Multikultural diakui sebagai realitas hidup manusia dengan keragaman budaya, etnis, kebangsaan, agama, bahasa, adat/tradisi, jender, dan sebagainya, yang secara sengaja diciptakan Tuhan.

Pluralitas merupakan ibu kandung manusia, mengingkarinya berarti ”kafir” dengan takdir Tuhan. Karena sikap sombong, merasa hebat dan paling benar sendiri adalah musuh kaum beriman, juga musuh Tuhan yang nyata.

Multikulturalisme menjadi solusi hidup untuk menumbuhkan sikap saling mengakui, menghargai dan menghormati satu sama lain. Tanpa semua itu, persaudaraan dan perdamaian hanya sebuah mimpi.

Pendidikan sebagai wadah transformasi diharapkan mampu menebarkan nilai-nilai multikulturalisme; toleransi, humanisme, persaudaraan, perdamaian, demokrasi, dan keadilan.

Persaudaraan antarumat beragama hanya bisa dibangun dengan nilai-nilai universal agama, tanpa harus menanggalkan kekhasan dari masing-masing agama (partikular). ”Bersatu tidak berarti harus sama”.

Dua model

Lalu, model pendidikan (agama) seperti apa agar tradisi eksklusivisme dan intoleransi bisa dimusnahkan secara radikal, serta keluar dari tradisi in the wall pengajaran agama.

Hemat saya, ada dua model pendidikan agama yang tepat untuk memberantas eksklusivisme.

Pertama, pendidikan agama at the wall. Dalam pembelajaran ini, guru tidak hanya mengajarkan peserta didik tentang agamanya sendiri, tetapi juga tentang agama lain.
Guru pun mengajak murid-murid berdiskusi dengan penganut agama lain agar belajar mengapresiasi orang lain yang berbeda agama melalui dialog sehat. Dialog harus dibangun dengan semangat demokratis dan tidak ada satu pihak pun yang dirugikan.

Kedua, pendidikan agama beyond the wall. Dalam model ini, guru tidak sekadar mengajak anak didik berdiskusi dan berdialog dengan orang yang berbeda agama.
Akan tetapi sudah mengikutsertakan anak didik dari beragam agama untuk mengampanyekan perdamaian, keadilan, harmoni, dan melibatkan mereka dalam kerja-kerja kemanusiaan.

Musuh agama bukan pemeluk agama yang berbeda, melainkan kemiskinan, kebodohan, kapitalisme, imperialisme, radikalisme, korupsi, kerusakan lingkungan, dan lain-lain.

Pendidikan multikultural, menunjukkan bahwa semua agama mengajak kepada kebaikan.

Toleransi tak akan pernah tumbuh di hati gersang lagi tandus yang selalu berkata, ”agama (keagamaan) saya paling benar, dan yang lain salah/sesat”.

Tak ada cara lain untuk menciptakan masyarakat agama yang penuh toleransi, kecuali terlebih dahulu membangun paradigma generasi sedini mungkin.

Dengan demikian maka akan terwujud masyarakat madani yang menjunjung nilai kebersamaan, persaudaraan, dan kemanusiaan universal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar