|
Politik pada dasarnya adalah bisnis
kepercayaan. Partai Demokrat yang tengah mempersiapkan konvensi calon presiden
mulai diuji, apakah mampu menjadikan konvensi yang digagas Presiden SBY ini
sebagai ajang pemulihan kepercayaan publik.
Betapa tidak,
konvensi belum digelar, tetapi empat tokoh dari 15 orang yang diundang sudah
menyatakan mundur dari arena, yakni Jusuf Kalla, Mahfud MD, Rustriningsih, dan
Rusdi Kirana. Alasan mereka mundur tentu beragam. Namun, pernyataan Mahfud MD
bisa menjadi rujukan. Kepada para juru warta, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
tersebut, antara lain mengatakan, hak dan kewajiban peserta konvensi tidak
jelas dan tidak mampu dijelaskan oleh komite konvensi sehingga dia memilih
mundur.
Sejak awal
sejumlah kalangan meragukan keseriusan parpol segitiga biru ini menggelar
konvensi. Pasalnya, Demokrat tidak kunjung memberi penjelasan yang transparan
terkait skema dan mekanisme konvensi serta persyaratan peserta konvensi. Pada
saat yang sama, AD/ART Demokrat yang memberi otoritas penetapan capres kepada
Majelis Tinggi tidak diubah. Semula publik memperoleh informasi, peserta
konvensi sebagian diundang oleh SBY, sebagian lainnya mendaftarkan diri.
Pembedaan jalur
peserta konvensi ini memicu munculnya rumor terkait adanya perbedaan ”kelas”
para tokoh capres. Mungkin rumor itu sampai juga ke telinga SBY sehingga jalur
pendaftaran pun ditiadakan. Semua kandidat peserta akhirnya melalui mekanisme
undangan.
Tanpa konsep
Kesimpangsiuran
mekanisme dan prosedur konvensi menggambarkan bahwa Partai Demokrat sendiri
tampaknya belum memiliki konsep yang jelas terkait konvensi yang hendak digelar
untuk menjaring capres 2014 tersebut. Meskipun penjaringan capres itu dilabeli
nama ”konvensi”, kegiatan yang seharusnya bersifat internal itu ternyata
mengundang pula tokoh parpol lain, seperti Jusuf Kalla (Partai Golkar) dan
Endriartono Sutarto (Partai Nasdem). Mantan Panglima TNI Endriartono akhirnya
dipecat Nasdem.
Sulit
dimungkiri, gagasan konvensi pertama kali dilontarkan SBY selaku tokoh sentral
Partai Demokrat di tengah kekalutan sang pendiri atas nasib partai yang
elektabilitasnya terus merosot. Kasus korupsi yang melibatkan sejumlah petinggi
partai dan terus ”digoreng” media diduga membuat elektabilitas Demokrat
terpuruk. Sebagai gagasan yang lahir di tengah kekalutan, konvensi versi SBY
ini tampaknya masih mentah dan belum sempat diperdebatkan secara serius dan
mendalam di internal Demokrat sendiri. Risiko seperti inilah yang harus
dihadapi jika sebuah parpol cenderung dikelola secara one man
show dan terlalu bergantung pada figur tunggal, SBY.
Para petinggi
Demokrat sendiri acap kali berbeda pemahaman tentang konvensi karena mereka tak
tahu persis bagaimana konsep, format, dan mekanisme konvensi yang dibayangkan
sang pendiri. Sebagai suatu cara demokratis dalam menjaring capres, ide
konvensi sebenarnya mendapat dukungan luas. Namun, gagasan yang baik belum
tentu berhasil baik jika tak dikelola dan diorganisasikan secara benar, tepat,
dan cerdas.
Pertaruhan Demokrat
Kini konvensi
capres Demokrat mulai bergulir. SBY menetapkan sejumlah tokoh sebagai komite
pelaksana konvensi. Sebelas kandidat pun sudah menyatakan kesediaan untuk turut
serta dalam konvensi. Persoalannya kemudian adalah bagaimana komite konvensi
dan SBY membangun kepercayaan para peserta bahwa konvensi tidak semata-mata
untuk tujuan mendongkrak elektabilitas Demokrat. Jika kepercayaan peserta gagal
dibangun, tak mustahil kelak akan ada lagi kandidat yang mundur sebelum publik
sempat mendengar gagasan dan mimpi mereka tentang Indonesia kita ke depan.
Karena itu,
kemunduran Jusuf Kalla dan kawan-kawan semestinya menjadi pelajaran bagi SBY
dan Demokrat agar tak main-main dengan proses konvensi. Ada beberapa prasyarat
dasar yang perlu dipenuhi komite konvensi dan SBY agar publik dan juga peserta
konvensi percaya bahwa konvensi dilakukan secara serius.
Pertama,
memastikan format, mekanisme, dan tahap-tahap konvensi secara jelas,
transparan, dan akuntabel kepada publik. Kedua, memastikan segenap hak dan
kewajiban peserta konvensi, baik selama berlangsungnya konvensi maupun
sesudahnya, termasuk sumber dan beban pembiayaan. Ketiga, menjadikan konvensi
sebagai arena pertarungan gagasan dan mimpi para capres tentang Indonesia masa
depan. Keempat, memastikan bahwa Partai Demokrat akan menjadikan hasil konvensi
sebagai dasar pengajuan capres, termasuk memperjuangkannya jika harus
berkoalisi dengan parpol lain.
Konvensi capres
ala SBY ini adalah pertaruhan politik yang menentukan masa depan Demokrat,
apakah parpol pemenang Pemilu 2009 ini masih layak dipilih dalam pemilu
mendatang, atau justru bakal tenggelam ditelan sejarah. Apabila konvensi
dikelola dan diorganisasikan secara baik dan benar, Partai Demokrat akan
menikmati hasilnya, yakni kemungkinan pulihnya kembali kepercayaan publik.
Sebaliknya, jika semua soal harus menunggu ”sinyal” dan bahkan ”restu” SBY,
masa depan Demokrat menjadi taruhannya.
Persoalan lain
adalah memastikan kedudukan anggota dan jajaran pengurus Demokrat dalam ajang
konvensi, apakah mereka terlibat sepenuhnya, sebagian, atau disetarakan dengan
masyarakat lain yang bakal menjadi responden survei publik terhadap para capres
peserta konvensi. Dalam praktik konvensi capres di Amerika Serikat, misalnya,
para anggota dan pengurus partai inilah yang akhirnya menentukan kelayakan
kandidat. Lembaga survei kemudian menguji popularitas dan elektabilitas para
kandidat. Oleh karena itu, sebelum kepercayaan publik turut runtuh, beban
pertama dan utama komite konvensi adalah menjelaskan semua soal terkait
konvensi secara terbuka dan apa adanya. Termasuk, apakah komite konvensi
mengambil keputusan secara otonom atau harus menunggu ”sinyal” dan ”restu” SBY
lebih dahulu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar