JAWA POS, 02
Agustus 2013
|
PASANGAN Khofifah
Indar Parawansa-Herman Sumawiredja akhirnya ikut Pemilihan Gubernur (Pilgub)
Jatim 2013. Khofifah layak optimistis bisa memenangi pilgub dengan kalkulasi
dia memperoleh dukungan terutama dari umat Nahdlatul Ulama (NU) yang sekitar 42
persen (ada yang mengklaim lebih dari 50 persen) penduduk Jatim. Sekalipun umat
nahdliyin tersebar di pelbagai partai, tentu Khofifah berharap mereka
"pulang" mendukung dirinya.
Khofifah tentu ingin ending berbeda dengan Pilgub 2009 yang dia klaim sebagai kemenangannya yang dicurangi. "Pada Pilgub 2013 ini, saya berharap menang dan dilantik. Pada Pilgub 2009, saya menang, tetapi tidak dilantik," kata Khofifah.
Apakah nadliyin akan solid mendukung "Ibu" dan melupakan "Pak De"? Memang sulit dipetakan. Saat ini Khofifah maju dari dua partai berbasis umat nahdliyin, yaitu PKB dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) ditambah Partai Kedaulatan (PK). Kalau utuh, dari tiga partai ini hanya diperoleh sekitar 15 persen suara.
Artinya, dia harus mengambil nahdliyin di partai lain. Peranti untuk menembusnya sudah dia miliki, yaitu jabatannya sebagai ketua umum PB Muslimat. Dia bisa menyedot wanita NU di lintas partai.
Upaya ini tentu tidak gampang. Selama ini suara umat nahdliyin tidak bisa utuh baik dalam pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif. Pemilu 1999 mungkin adalah puncak soliditas politik nahdliyin Jatim, yang dapat 35 persen suara. Puncak utuhnya barangkali hanya terjadi pada Pemilu 1955 ketika NU menjadi partai pemenang di Jatim.
Kali ini, tampaknya, juga tidak mudah menyolidkan suara umat nahdliyin. Partai berbasis umat NU yang lain, seperti PPP dan PKNU, sudah mendukung Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa).
Kiai NU sebagai basis dukungan juga mengalami diferensiasi pilihan. Kiai ini masih patut diperhitungkan akan diikuti pengikutnya karena kultur patrimonialisme kiai-santri masih lumayan kuat dalam format politik lokal. Bukan hanya dalam tataran pilihan politik, bahkan dalam tataran syar'i pun masih ada defrensiasi. Misalnya, KH Mas Subadar dari Pasuruan dan KH Alawy Muhammad dari Sampang masih menganggap kepala pemerintahan wanita itu haram. Kiai lain, seperti KH Hasyim Muzadi dan KH Solahuddin Wahid, menghalalkan.
Maka, arus dukungan sebagian umat nahdliyin mungkin akan ke Karsa. Saifullah Yusuf atau Gus Ipul adalah kader NU sejati. Dia menjadi ketua umum PP GP Ansor selama dua periode. Keponakan Gus Dur ini dikenal sangat tawaduk ke kiai. Sejak lima tahun lalu, Gus Ipul sudah mengantipasi akan kembali berhadapan dengan Khofifah. Maka, dia sangat aktif membina silaturahmi dengan kiai dan rajin blusukan ke pusat-pusat umat nahdliyin.
Hubungan Gus Ipul yang karib dengan kiai dan umat nahdliyin inilah yang menjadi salah satu pertimbangan mengapa Soekarwo tetap memilih dia sebagai pasangannya. Basis dukungan itu dianggap riil sekalipun Gus Ipul tidak punya partai. Termasuk ketika Soekarwo menolak Ridwan Hisyam, sekalipun memiliki partai, Golkar.
Faktor Madura
Tidak bisa diabaikan pula adalah kemungkinan mengalirnya sebagian suara umat nahdliyin yang berbasis komunitas Madura ke pasangan Bambang D.H.-Said Abdullah. Said adalah warga asli Madura yang berkultur NU sekalipun secara politik dia PDIP. Selama ini dia juga memiliki hubungan yang baik dengan kiai NU Madura, terutama kiai-kiai muda. Dia cukup populer di kalangan rakyat Madura yang mayoritas NU.
Selain atas dasar tradisi patrimonialisme, untuk mengalkulasi peta dukungan politik nahdliyin, tentu yang tidak bisa diabaikan adalah realitas orientasi politik umat NU yang terus cenderung mencair. Beberapa studi terakhir menunjukkan bahwa dalam urusan fikih, umat NU masih sami'na wa atha'na (mendengar dan patuh) kepada kiai. Tetapi, dalam urusan pilihan politik, warga NU kadang tidak sami'na wa atha'na. Salah satunya sudah dibuktikan dengan merosotnya suara partai-partai berbasis NU.
Artinya apa? Keindividualan umat NU dalam berpolitik sudah semakin kuat. Pilihan ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan yang bersifat mandiri-individual. Tidak rubuh-rubuh gedhang atau ikut-ikutan. Dengan demikian, bisa saja pilihannya lepas dari faktor ideologi, platform, tradisi patrimonialisme.
Walhasil, trennya bisa-bisa seperti galibnya kecenderungan pemilih di Indonesia, yaitu bersifat praktis-transaksional. Memilih kepada yang memberikan manfaat langsung kepada dirinya. Kalau manfaat langsung itu berarti endum-enduman uang atau sembako, ya akan diterima. Tradisi ini sudah lama hidup. Hal itu bisa dilihat pada setiap pemilihan kepala desa sejak zaman Belanda.
Praktis saja, daripada memimpikan janji-janji kandidat yang belum tentu ada wujudnya. Bukankah sering setelah terpilih pemimpin lupa janjinya sehingga pemilih layaknya nyangoni kere minggat.
Jangan-jangan faktor endum-enduman inilah, yang nanti akan lebih menentukan daripada soal ideologi, partai, platform, janji, karisma, lobi. Jangan-jangan pula inilah yang disebut dengan Pilgub wong cilik melu gumuyu ha..ha..ha... ●
Khofifah tentu ingin ending berbeda dengan Pilgub 2009 yang dia klaim sebagai kemenangannya yang dicurangi. "Pada Pilgub 2013 ini, saya berharap menang dan dilantik. Pada Pilgub 2009, saya menang, tetapi tidak dilantik," kata Khofifah.
Apakah nadliyin akan solid mendukung "Ibu" dan melupakan "Pak De"? Memang sulit dipetakan. Saat ini Khofifah maju dari dua partai berbasis umat nahdliyin, yaitu PKB dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) ditambah Partai Kedaulatan (PK). Kalau utuh, dari tiga partai ini hanya diperoleh sekitar 15 persen suara.
Artinya, dia harus mengambil nahdliyin di partai lain. Peranti untuk menembusnya sudah dia miliki, yaitu jabatannya sebagai ketua umum PB Muslimat. Dia bisa menyedot wanita NU di lintas partai.
Upaya ini tentu tidak gampang. Selama ini suara umat nahdliyin tidak bisa utuh baik dalam pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif. Pemilu 1999 mungkin adalah puncak soliditas politik nahdliyin Jatim, yang dapat 35 persen suara. Puncak utuhnya barangkali hanya terjadi pada Pemilu 1955 ketika NU menjadi partai pemenang di Jatim.
Kali ini, tampaknya, juga tidak mudah menyolidkan suara umat nahdliyin. Partai berbasis umat NU yang lain, seperti PPP dan PKNU, sudah mendukung Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa).
Kiai NU sebagai basis dukungan juga mengalami diferensiasi pilihan. Kiai ini masih patut diperhitungkan akan diikuti pengikutnya karena kultur patrimonialisme kiai-santri masih lumayan kuat dalam format politik lokal. Bukan hanya dalam tataran pilihan politik, bahkan dalam tataran syar'i pun masih ada defrensiasi. Misalnya, KH Mas Subadar dari Pasuruan dan KH Alawy Muhammad dari Sampang masih menganggap kepala pemerintahan wanita itu haram. Kiai lain, seperti KH Hasyim Muzadi dan KH Solahuddin Wahid, menghalalkan.
Maka, arus dukungan sebagian umat nahdliyin mungkin akan ke Karsa. Saifullah Yusuf atau Gus Ipul adalah kader NU sejati. Dia menjadi ketua umum PP GP Ansor selama dua periode. Keponakan Gus Dur ini dikenal sangat tawaduk ke kiai. Sejak lima tahun lalu, Gus Ipul sudah mengantipasi akan kembali berhadapan dengan Khofifah. Maka, dia sangat aktif membina silaturahmi dengan kiai dan rajin blusukan ke pusat-pusat umat nahdliyin.
Hubungan Gus Ipul yang karib dengan kiai dan umat nahdliyin inilah yang menjadi salah satu pertimbangan mengapa Soekarwo tetap memilih dia sebagai pasangannya. Basis dukungan itu dianggap riil sekalipun Gus Ipul tidak punya partai. Termasuk ketika Soekarwo menolak Ridwan Hisyam, sekalipun memiliki partai, Golkar.
Faktor Madura
Tidak bisa diabaikan pula adalah kemungkinan mengalirnya sebagian suara umat nahdliyin yang berbasis komunitas Madura ke pasangan Bambang D.H.-Said Abdullah. Said adalah warga asli Madura yang berkultur NU sekalipun secara politik dia PDIP. Selama ini dia juga memiliki hubungan yang baik dengan kiai NU Madura, terutama kiai-kiai muda. Dia cukup populer di kalangan rakyat Madura yang mayoritas NU.
Selain atas dasar tradisi patrimonialisme, untuk mengalkulasi peta dukungan politik nahdliyin, tentu yang tidak bisa diabaikan adalah realitas orientasi politik umat NU yang terus cenderung mencair. Beberapa studi terakhir menunjukkan bahwa dalam urusan fikih, umat NU masih sami'na wa atha'na (mendengar dan patuh) kepada kiai. Tetapi, dalam urusan pilihan politik, warga NU kadang tidak sami'na wa atha'na. Salah satunya sudah dibuktikan dengan merosotnya suara partai-partai berbasis NU.
Artinya apa? Keindividualan umat NU dalam berpolitik sudah semakin kuat. Pilihan ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan yang bersifat mandiri-individual. Tidak rubuh-rubuh gedhang atau ikut-ikutan. Dengan demikian, bisa saja pilihannya lepas dari faktor ideologi, platform, tradisi patrimonialisme.
Walhasil, trennya bisa-bisa seperti galibnya kecenderungan pemilih di Indonesia, yaitu bersifat praktis-transaksional. Memilih kepada yang memberikan manfaat langsung kepada dirinya. Kalau manfaat langsung itu berarti endum-enduman uang atau sembako, ya akan diterima. Tradisi ini sudah lama hidup. Hal itu bisa dilihat pada setiap pemilihan kepala desa sejak zaman Belanda.
Praktis saja, daripada memimpikan janji-janji kandidat yang belum tentu ada wujudnya. Bukankah sering setelah terpilih pemimpin lupa janjinya sehingga pemilih layaknya nyangoni kere minggat.
Jangan-jangan faktor endum-enduman inilah, yang nanti akan lebih menentukan daripada soal ideologi, partai, platform, janji, karisma, lobi. Jangan-jangan pula inilah yang disebut dengan Pilgub wong cilik melu gumuyu ha..ha..ha... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar