Pernahkah Anda memperhatikan gaya berfoto
antargenerasi? Kemarin (13/2/2013) di PT Indocement, dalam forum Generation Gap, Direktur SDM dan
Pengembangan Usaha Wijaya Karya, Tony Warsono menunjukkan dua buah foto.
Foto pertama
adalah generasi ”ponsel pintar” yang lahir pasca 1980-an dan direkrut
perusahaan setelah 2006. Foto kedua adalah kumpulan para senior yang
direkrut jauh sebelum krisis moneter 1997. Sebut saja generasi telepon. Ya,
teleponnya telepon rumah, just a telephone. Atau kadang juga disebut generasi
komputer, atau Gen X. Lahir setelah tahun 1960-an. Generasi ponsel pintar
saat diminta bergaya bebas terlihat sangat ekspresif, lepas, riang, dan
benar-benar bergaya bebas dengan gerakan tangan,mulut, dan badan yang
”merdeka”.
Sebaliknya,
saat diminta bergaya bebas,generasi telepon ternyata benar-benar jadul. Kaku,
tidak ekspresif, dengan gerakan tangan yang terbatas. Paling-paling cuma
sekadar angkat jempol. Entah karena umur, agak jaim, atau memang sejak
sekolah dibelenggu banyak aturan yang menyebabkan mereka menjadi generasi
pasif yang menunggu, tak banyak pilihan dan menghadapi banyak risiko.
Beda benar
dengan generasi ponsel pintar yang dibesarkan dalam iklim demokrasi yang
lepas, banyak pilihan, penuh keberanian, dan kebebasan. Lantas, apa hubungannya
antara gaya berfoto dan produktivitas kerja? Benarkah beda generasi telah
menjadi sebuah masalah bagi bangsa ini?
Empat Generasi
Saya pernah
menulis adanya empat generasi yang menjelaskan mengapa kurikulum baru
disambut dengan berbagai pandangan. Adalah keyakinan saya, jurang
antargenerasi tak dipahami para pemikir pendidikan. Keempat generasi itu
adalah generasi kertas-pensil (lahir sebelum 1960), generasi
telepon/komputer (lahir 1960–1970), generasi internet (lahir 1970–1980),
dan generasi ponsel pintar (lahir setelah 1980).
Tentu saja
selain masalah beda generasi, kita juga membedakan mana pandangan orang
yang mengerti masalah, yang senang melihat masalah, dan mana yang ingin
mengatasi masalah. Sebuah gapyangduluterjadi tanpa perbedaan yang jelas,sekarang
justru menjadi masalah besar. Anda mungkin masih ingat, ketika apa yang
dimainkan di rumah sama dengan yang dimainkan di sekolah.
Misalnya saja
mobil-mobilan dari kulit jeruk bali,juga menjadi mainan di sekolah.
Anak-anak perempuan bermain boneka dengan Dakocan yang kulitnya hitam gelap
atau boneka Barbie di rumah, juga di sekolah. Masa emas itu kini telah
berlalu. Apa yang mereka mainkan di rumah (video dan electronic
games) kini tak boleh lagi dibawa ke sekolah. Oleh generasi
kertas-pensil dan generasi telepon, video game dianggap kurang mendidik.
Jangankan video game, kalkulator
saja adalah pembodohan, sedangkan sekolah internasional yang berbahasa
Inggris dinilai melanggar Sumpah Pemuda.
Begitulah
generasi tua mendidik anak-anaknya.Selalu melihat dari kacamata
generasinya. Bagi generasi tua, ”Indonesia
itu gemah ripah loh jinawi,” negeri kaya raya, tetapi ”feelingnya” adalah sebuah tragedi
kemiskinan. Bagi mereka, penduduk Indonesia masih miskin sehingga wajar
dikasihani, diberi listrik yang murah, bensin subsidi, sekolah gratis.
Sedangkan bagi generasi muda, Indonesia adalah sebaliknya. Alamnya sudah
habis dikuras dan dikorupsi. Hutannya sudah gundul.
Tanahnya sudah
dikorek habis. Bagi generasi ponsel pintar, Indonesia adalah negeri dengan
jumlah orang kaya yang fantastis. Alamnya miskin, tetapi orangnya
kaya-kaya. Jadilah generasi yang bingung: diberi subsidi negara tetapi
malah dipakai buat foya-foya, sedangkan yang dari swasta, kalau semakin
mahal, semakin diburu. Tak bisa sekolah internasional di sini,yapindah ke
luar negeri.
Guru bilang A,
murid melakukan B. Sekolah mengutamakan angka nilai dan otak kiri, tetapi
mereka mengembangkan keterampilan lapangan dan otak kanan. Gap ini bukanlah
ilusi.Tetapi terjadi sungguhan.Seperti Anda ketika ditanya orang tua ”apa cita-cita mu kelak ke depan, Nak?”
Maka jawabannya adalah nama-nama fakultas seperti dokter, ekonomi,
psikologi, lawyer, sastrawan,
atau seniman.
Semuanya ada
fakultasnya. Tetapi bila hal serupa Anda tanyakan pada anak-anak sekarang,
Anda akan terbengong-bengong sebab mayoritas keinginan mereka tidak atau
belum ada nama fakultasnya di sini. Ada yang mau jadi sutradara film, fashion desainer, pelukis,
fotografer, perancang pesawat terbang, pembuat robot ruang angkasa, atau
bahkan juru masak, social
entrepreneur, atau artpreneur.
Kegelisahan
Ahok
Ahok, wakil
gubernur DKI, bukanlah generasi kertas. Dia dilahirkan pada tahun 1966.
Jadi ketika dewasa, dia merasakan nikmatnya komputer, lalu memakai internet
belakangan. Namun, Ahok gamang saat melihat pegawai-pegawainya yang masih
muda (mungkin generasi ponsel pintar) justru membuat notulensi dengan
pensil (bolpoin) dan kertas, bukan langsung menulis di laptop.
Ahok pantas
berang, sebab setiap tahun pegawai-pegawai itu mengajukan permintaan anggaran
untuk membeli laptop. Laptop di depan meja, tetapi tulisnya tetap saja di
kertas. Ini benar-benar pemborosan. Namun, para eksekutif yang menjadi
mentor untuk menjembatani generation gap mengajukan usul lebih jauh dari
Ahok. ”Jangan suruh orang lain menjadi
notulis. Kita saja, pemimpin, harus bisa langsung menulis report di depan
mata, di komputer, yang langsung bisa di-share melalui internal media,”
Inilah yang disampaikan sejumlah eksekutif. Memang ini merepotkan.
Bagi saya saja
repot, apalagi bagi kita yang sudah biasa dilayani. Kegelisahan Ahok
seharusnya tidak boleh sekadar menjadi tontonan di YouTube atau TV
saja,melainkan juga sinyal bagi kita semua. Apa yang dialami Ahok adalah
realita generation gap yang
di-akibatkan pembekuan yang dilakukan hampir semua lembaga dan badan
pemerintah di era krisis moneter. Bukan main, 7–8 tahun freezing merekrut pegawai antara
1997–2006, bahkan beberapa lembaga birokrasi melakukan zero growth berkali-kali.
Di banyak
perusahaan, bahkan bukan cuma freezing,
melainkan juga PHK. Maklum, SDM ada dalam komponen biaya. Apa akibatnya?
Kumpulan orang tua menguasai lembaga. Kalau saya lihat, pegawai yang
dimarahi Ahok itu rasanya dari wajahnya berkisar masuk pada Generasi Ponsel
Pintar.Tetapi mengapa ia tak memakai laptop langsung? Pengalaman saya
menemukan, dalam konteks generation gap, kaum muda yang dinamis akan
menjadi sama dengan seniornya, terbelenggu dan tak ada bimbingan untuk
menegakkan aura generasinya yang memberikan kekuatan kreativitas dan
teknologi yang besar.
Jadi, generasi
muda di banyak lembaga dan dunia usaha kita porsinya sudah tinggal sedikit,
sedangkan generasi tua begitu banyak. Sudah banyak, mereka menguasai
pangkat teratas. Itulah yang disebut band Slank sebagai feodalisme. Salah
satu baik lirik lagu itu berbunyi begini: ”Salah nggak salah, sama atasan selalu diturutin. Maunya seumur
hidup minta-minta dihormatin..... ...... Benar-ngga benar yang lebih tua
Sudah pasti benar Suruh menyuruh, larang melarang Dia-dia yang paling
benar....” Jadi, sekarang jelas mengapa reformasi birokrasi susah,
biaya perjalanan dinas terus membengkak kendati peningkatan kesejahteraan
PNS tidak terjadi,atau kendati rapat pakai BB Group, Skype, Kakao, atau
pakai Line saja sudah cukup.
Juga mengapa
protokoler di mana-mana dominan. Kalau sudah begitu, bagaimana kita mau
memperbaiki pelayanan dan kecepatan? Bagaimana perusahaan lokal mau
mendapatkan kualitas SDM kaum muda yang lebih bagus? Tahun ini ribuan
perusahaan asing berdatangan ke sini bersiapsiap menyambut pasar bersama
ASEAN 2 tahun lagi. Rebutan talent
sudah pasti.
Sedangkan para
manajer dari negara yang tak terbelenggu feodalisme, selain atasan berani
turun langsung ke bawah, bahkan melakukan wawancara di bursa-bursa tenaga
kerja,memutuskan dengan cepat sendiri ke bawah. Kala feodalisme merajalela,
atasanlah sasaran pelayanan,mereka sulit turun ke bawah. Dan, pantaslah
produktivitas terganggu. Potensi besar generasi baru itu perlu didampingi
mentormentor hebat, karena mereka punya kekuatan menembus batas yang
mengalahkan kekuatan generasi di atasnya.
Mereka kini
disebut juga sebagai generasi VUCA, yang dibesarkan dalam lingkungan yang Volatile, Uncertain, Complex, dan Ambiguous. Artinya, mereka generasi
tahan banting dan adaptif ditempa dalam pergulatan yang cair dan tidak
pasti,tapi punya kemembalan, daya penetrasi yang kuat dan lincah bergerak.
Jadi, bagaimana sistem pendidikan yang dikomentari kaum tua yang kolot yang
masih berpikir hanya dirinya yang benar? Bagaimana reformasi birokrasi?
Bagaimana
meremajakan partai-partai politik dan sekaligus meluruskan makna subsidi
dan sosial? Semua hanya bisa dilakukan kalau jembatan antara generasi
segera dibangun.Yang tua sadar untuk memberi ruang bagi kaum muda untuk
maju, yang muda tetap respek, tapi yang jelas negeri ini butuh manusia yang
kaya perspektif. Bukan orang yang merasa paling benar, padahal ada kacamata
kuda di wajahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar