Satu
Dasawarsa Otsus Papua
Freddy
Numberi ; Laksamana Madya (Purn)
KOMPAS, 06 Juli 2012
Dari 1 Mei 1963, sudah hampir setengah abad
Papua berintegrasi dengan Indonesia. Penerapan otonomi khusus di Papua juga
sudah satu dasawarsa. Namun, pemerintah masih saja terseok-seok mengurusi
Papua. Sungguh ironis, Papua yang alamnya berlimpah tak dapat dinikmati
warganya. Masyarakat Papua masih saja bergelimang kemiskinan.
Semua begitu kontradiktif. Daerah yang kaya
barang tambang bernilai tinggi dan hutan sangat luas dengan kondisi cukup baik
itu tak menyejahterakan warganya yang hanya 2.833.381 jiwa di Provinsi Papua
dan 760.422 jiwa di Papua Barat (data 2010). Padahal, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD 2010) yang dikucurkan sangat besar, mencapai Rp 5,284
triliun untuk Papua dan Rp 2,751 triliun untuk Papua Barat.
Kenyataannya, angka kemiskinan di Papua masih
37 persen, penduduk yang tidak sekolah lebih dari 50 persen, dan penduduk yang
bergizi buruk 30 persen. Celakanya, di tengah kondisi kehidupan yang masih
serba buruk itu, derap langkah pembangunan justru memarjinalisasi,
mendiskriminasi, dan bahkan menzalimi Masyarakat Asli Papua (MAP).
Protes atas ketidakadilan yang dialami rakyat
selalu dihadapi dengan tindak kekerasan berulang-ulang. Maka, rakyat Papua pun
trauma dengan berbagai tindak kekerasan dan stigma, seperti separatisme,
gerakan makar, pemberontakan liar, Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan
sebutan-sebutan lain yang berkonotasi buruk.
Di sisi lain, situasi ini membangkitkan kemarahan.
Beberapa kelompok masyarakat Papua bahkan ingin merdeka. Perbedaan paradigma
berevolusi menjadi antagonisme antara Jakarta dan Papua. Jakarta selalu
mencurigai Papua, begitu pula sebaliknya. Tak heran, persoalan Papua kemudian
menjadi tantangan tersendiri bagi negara. Namun, tidak tampak penanganan yang
segera dan serius dari pemerintah Jakarta. Persoalan Papua malah seolah-olah
terus dipelihara.
Tak Kena Sasaran
Penanganan Papua dengan berbagai kebijakan
tak pernah mengena pada sasaran dan tidak pernah menghasilkan rasa ikut
memiliki (sense of belonging) Masyarakat Asli Papua (MAP). Ini karena
pembangunan yang ada cenderung menyingkirkan mereka dengan kebijakan yang hanya
bersifat instan.
Namun, pihak-pihak berkompeten seperti tidak
becermin pada pengalaman dan kegagalan kebijakan terdahulu. Pro-kontra di
kalangan rakyat Papua saat kemunculan otonomi khusus (otsus) Papua hingga
pelaksanaannya yang tidak konsisten menjadi gambaran buruk sikap pemerintah
yang setengah hati.
Orang Papua merasa, hampir tak ada perubahan
substantif antara masa sebelum dan setelah pelaksanaan otsus. Masalah-masalah
yang berdimensi khusus dan krusial tak banyak berubah. Malah korupsi atau
penyalahgunaan uang rakyat terjadi di mana-mana. Ini semakin menguatkan kesan,
otsus tidak lebih dari politik ”penghamburan” uang untuk membelokkan isu
merdeka.
Sumber-sumber agraria milik masyarakat adat
dieksploitasi dalam skala besar tanpa menyejahterakan pemiliknya. Sebaliknya
marjinalisasi berlangsung di mana-mana. Pelurusan sejarah yang juga diamanatkan
Undang-Undang Otsus tidak pernah disentuh. Persoalan kekerasan oleh negara
tidak diselesaikan, malah bereskalasi. Penambahan pasukan dari luar Papua terus
berlangsung tanpa pengawasan. Kebijakan demi kebijakan untuk Papua sudah
diterapkan Jakarta, tetapi tak bertaji menyelesaikan masalah.
Terlalu Banyak Kebijakan
Sebelum Unit Percepatan Pembangunan Provinsi
Papua dan Papua Barat (UP4B) muncul, otsus Papua (Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001) yang baru berjalan sudah diinterupsi Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Lahirlah
Provinsi Papua Barat. Inpres itu menabrak Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Kontroversi ini telah mengantarkan
masalah hingga ke Mahkamah Konstitusi.
Rencana pemekaran Papua Tengah kini juga
memicu pertikaian kelompok di Timika, dan lagi-lagi seperti dibiarkan. Belum
lagi munculnya Inpres Nomor 5 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 77
Tahun 2007 yang melarang penggunaan bintang kejora dan burung mambruk sebagai
atribut kebudayaan Papua.
Akibat inkonsistensi penerapan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001, beberapa kali rakyat Papua menolak undang-undang ini,
bahkan secara simbolik mengembalikannya kepada pemerintah. Undang-undang ini
dinilai gagal memulihkan rasa keadilan rakyat Papua.
Sebenarnya kebijakan otsus bagi Papua adalah
solusi yang bijaksana, tepat, dan bermartabat. Hanya saja pelaksanaannya seolah
tergagap-gagap. Mengapa?
Pertama, masih banyak komponen bangsa, baik
dalam lingkup lokal (Papua) maupun nasional (Indonesia), yang belum memahami
secara benar hakikat otsus Papua. Hal ini terbukti dari adanya berbagai
persepsi, penafsiran, dan bahkan kebijakan yang keliru, baik dari elite
politik, praktisi, akademisi, maupun masyarakat awam, termasuk adanya sejumlah
kebijakan pemerintah selama pemberlakuan otsus yang justru kontradiktif.
Kedua, masih lemahnya kualitas dan kuantitas
elemen hukum untuk mendukung pelaksanaan UU Otsus. Selama sepuluh tahun
implementasi otsus, perangkat hukum lemah dalam pelaksanaan bentuk peraturan
daerah provinsi (perdasi) dan peraturan daerah khusus (perdasus). Juga,
ternyata tidak ada agenda penyusunan, penetapan, ataupun evaluasi perdasi dan
perdasus. Padahal, UU Otsus Papua mengamanatkan pembuatan sejumlah perdasi dan
perdasus.
Ketiga, masih ada institusi yang
pembentukannya telah diamanatkan oleh UU Otsus Papua, tetapi ternyata belum
dibentuk. Misalnya, pengadilan HAM, komisi kebenaran dan rekonsiliasi,
peradilan adat, partai politik lokal, dan sebagainya.
Keempat, masih banyak pihak yang memiliki
tafsir berbeda tentang peran dan posisi Majelis Rakyat Papua (MRP).
Kelima, pelaksanaan demokrasi melalui pilkada
langsung terbukti hanya mempertajam konflik horizontal. Perlu dipertimbangkan
akar budaya masyarakat Papua di mana demokrasi langsung belum pas untuk
dilaksanakan. Perlu kekhususan di Papua dalam hal ini sehingga konflik
antarmasyarakat dapat diredam. Setelah itu, masyarakat dan aparat pemerintah
bisa mengurai akar konflik.
Tampaklah ada sejumlah permasalahan mendasar
yang menuntut perhatian khusus dalam proses pembangunan Papua ke depan.
Pertama, masih rendahnya partisipasi, pemberdayaan, dan kemandirian masyarakat
Papua. Kedua, masih terjadinya diskriminasi, marjinalisasi, dan berbagai
stigma, terutama terhadap Masyarakat Asli Papua (MAP). Ketiga, lemahnya
pelembagaan, penegakan, dan kepastian hukum, serta masih rendahnya penghormatan
terhadap hak asasi manusia (HAM), lemahnya pemberantasan korupsi, kolusi,
nepotisme (KKN), serta instabilitas ketertiban dan keamanan.
Keempat, manajemen dan birokrasi pemerintahan
yang belum efektif-efisien dan sarat KKN. Kelima, masih rendahnya mutu dan
kualitas kehidupan masyarakat, terutama berkaitan dengan kebutuhan dasar,
seperti pangan, sandang, dan papan, serta masih rendahnya tingkat pendidikan
dan kesehatan. Keenam, masih lebarnya ketimpangan pembangunan sektoral dan
wilayah sehingga pembangunan belum dinikmati secara adil dan merata. Ketujuh,
kegamangan Masyarakat Asli Papua (MAP) menghadapi masa depan karena tidak ada
keberpihakan pemerintah—pusat ataupun daerah—serta dunia usaha untuk
menyejahterakan mereka.
Ubah Pendekatan Keamanan
Akhirnya, saya ingin menekankan bahwa
kebijakan dan proses pembangunan yang selama ini diwarnai pendekatan keamanan (security approach) harus diubah menjadi
pendekatan kemanusiaan dan kesejahteraan (humanity
and prosperity approach) yang mengacu kearifan lokal.
Sebagai sesama anak bangsa, mereka yang
selama ini terlibat gerakan separatisme harus dirangkul dan diajak duduk
bersama untuk berkomunikasi dari hati ke hati sehingga tercipta kembali rasa
saling percaya, rukun, aman, dan damai.
Kebijakan otonomi khusus bagi Papua adalah
solusi yang bijaksana, tepat, dan bermartabat, tinggal bagaimana
pelaksanaannya. Perlu pemikiran yang jernih dan rasional untuk mengurai
permasalahan krusial, struktural, dan sistemik dalam pelaksanaan otonomi khusus
tersebut. Pelaksanaannya membutuhkan inovasi politik, bukan kebijakan politik
yang sudah usang tetapi terus dipaksakan.
Inovasi tersebut harus lahir dari komunikasi
politik yang dilandasi sikap jujur, adil, terbuka, dan saling menghargai.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah menerima tokoh-tokoh agama dari Papua
tahun lalu ikut mendorong adanya dialog nasional antara Jakarta dan Papua untuk
mencari solusi permanen. Inilah contoh inovasi politik yang terhormat dan
bermartabat, tetapi formatnya harus lahir dari konsensus bersama antara
pemerintah dan Masyarakat Asli Papua (MAP). Saya berharap dialog nasional ini
dapat terlaksana sesegera mungkin dan menjadi salah satu tonggak sejarah di
negeri tercinta ini, lebih khusus lagi sejarah tanah Papua.
Inilah pekerjaan rumah kita bersama untuk
terus berupaya agar pembangunan yang dilaksanakan di seluruh wilayah tanah
Papua benar-benar dapat menyentuh Masyarakat Asli Papua (MAP) menuju Papua yang
lebih sejahtera, adil, dan makmur. Saya yakin bingkai NKRI dari timur ke barat,
Merauke hingga Sabang, tetap dapat kita pertahankan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar