Iklan
di Media Penyiaran :
Antara
Persepsi dan Realitas
Adjie
S Soera Atmadjie; Praktisi
Penyiaran
SUMBER
: MEDIA
INDONESIA, 26 Mei 2012
SELAMA
30 tahun menekuni dunia penyiaran hingga saat ini, dari radio hingga televisi,
dari hanya mengenal Radio Amatir, RRI, dan TVRI, hingga era radio dan TV swasta
yang dikelola perusahaan partikelir, ditambah era baru teknologi penyiaran
seperti digital radio, digital TV, DTH, cable TV, VOD, Tivo, IPTV, dll, sangat
terasa pasang surut persepsi tentang media penyiaran yang dihembuskan kepada
masyarakat.
Semua
itu tergantung siapa yang menciptakan persepsi dan tujuan yang diinginkannya
sehingga media menjadi sesuatu yang dibenci dan dirindu. Celakanya, orang–orang
media penyiaran terlalu humble untuk
menanggapi, dengan berbagai alasan masing-masing.
Satu
hal dari sekian banyak isu media penyiaran yang perlu diluruskan ialah tentang
iklan, sebab memang sangat banyak isu cantik yang selalu dapat diangkat dari
dunia media penyiaran di Indonesia. Maka dari itu, media penyiaran di
Indonesia, terutama televisi partikelir, sering kali berurus an dengan
pihak–pihak yang mengadukan mereka di depan aparat hukum.
Pengaturan Iklan
Sesuai
dengan sifatnya, lembaga penyiaran swasta (LPS) seperti pada Pasal 16 ayat 1 UU
No 32/2002 jo Pasal 13 ayat 2 huruf (b) adalah lembaga penyiaran yang bersifat
komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya
menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi. Hal itu juga sesuai dengan
Ketentuan Umum butir (2) pada PP 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan
Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Mengapa mengangkat pasal LPS? Sebab, LPS
merupakan media yang hingga saat ini paling banyak menyerap iklan.
Apakah
dalam praktiknya LPS ini (karena sifatnya) hanya melaksanakan siaran murni
berorientasi komersial belaka? Jawabannya tidak karena meskipun dalam tubuh LPS
melekat sifat komersial, secara sadar dalam LPS juga melekat norma dan filsafat
hidup bangsa Indonesia.
Iklan
ialah satusatunya sumber pendapatan LPS yang artinya dari pendapatan tersebut
akan menjadi satu di antara sumber pembiayaan untuk kelangsungan bisnis,
pengembangan teknologi, pembiayaan riset, dan pengembangan program untuk
menjadi program berkualitas dan mampu bersaing, ditambah beban operasional dan
depresiasi peralatan. Boleh dibilang iklan adalah jantungnya LPS.
Pengaturan
tentang penayangan iklan di LPS (conventional
media), terutama radio dan televisi, sebelum diatur dalam UU No 32/2002
tentang Penyiaran dan PP No 50/2005 sudah mengalami pe ngaturan secara internal
dan alami pada setiap media (LPS), bahkan secara ketat dengan tidak mengabaikan
kelangsung an dan perkembangan bisnis yang berhadapan langsung dengan kebutuhan
hidup dan kualitas program siaran.
Pertempuran
sengit di tubuh LPS selalu terjadi setiap hari, antara program owner (pemilik program) dalam hal ini divisi program dan
divisi penjualan iklan (sales &
marketing) untuk menentukan sejauh mana iklan dapat masuk ke sebuah program
siaran.
Apabila
sebuah program menjadi clutter (terlalu
banyak) iklan, pihak divisi program justru merasa dirugikan karena key performance indicator (KPI) mereka
tidak diukur dari banyaknya iklan yang tayang, tetapi lebih kepada kualitas
program dan banyaknya pemirsa. Itu merupakan kebalikan dari KPI divisi sales & marketing. Artinya,
mekanisme saling kontrol itu sudah berjalan sejak UU No 32/2002 belum digagas
dan hal itu masih berlangsung hingga saat ini.
Persepsi yang Misleading
Pada
suatu hari di akhir tahun, anggaran diumumkan bahwa belanja iklan (advertising expenditure/adex) pada 2011
sebesar Rp44 triliun dan di 2012 akan naik menjadi Rp45 triliun Rp50 triliun,
semua mata terbelalak tertuju pada angka itu dan nyaris tak berkedip. Betapa
LPS sangat kaya raya dengan kue iklan yang cukup untuk membangun jalan tol di
sepanjang perbatasan IndonesiaMalaysia.
Jadi,
tidak mengherankan bila banyak orang berlomba untuk mendirikan LPS yang
merupakan perusahaan padat modal dan tidak sedikit di antara mereka yang
berguguran setelah menyadari kenyataannya. Angka itu memang melambungkan
imajinasi yang sangat tinggi, tapi kenyataannya sangat jauh panggang daripada
api.
Dari
angka gross Rp44 triliun (adex 2011),
pada kenyataannya atau nilai nett-nya
tidak lebih dari Rp12 triliun, yang terserap oleh LPS dan Lembaga Penyiaran
Publik (LPP TVRI) karena meskipun sudah mendapat dana dari APBN/APBNP, LPP
boleh menerima iklan sebesar 15% dari jam tayang program mereka atau hanya
berbeda 5% dengan LPS yang diamanatkan hanya boleh 20% jam tayang.
Artinya,
Rp12 triliun sepanjang 2011 itu diperebutkan 10 TV swasta, 1 TVRI, 9 TV
jaringan, dan puluhan TV lokal di seluruh Indonesia.
Masyarakat
perlu tahu bahwa angka adex yang
diterbitkan lembaga riset Nielsen merupakan angka gross, yang dihitung dari publish
rate LPS, jadi tidak serta-merta angka kenyataannya sefantastis itu.
Idealistis yang Realistis
Nilai-nilai
idealistis dalam menciptakan dan menayangkan program pada LPS tidak lepas dari
norma idealistis bangsa sehingga ada lembaga yang selalu menjaga dan mengawasi
seperti LSF (Lembaga Sensor Film), KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), Dewan
Pers, dan ditambah masyarakat. Sisi idealistis lain ialah visi dari LPS itu
sendiri untuk mampu menandingi lembaga penyiaran global.
Di
era globalisasi seperti sekarang, sebuah kenisca yaan bila media-media asing
masuk ke ruang ke asing masuk ke ruang keluarga dan kamar tidur kita. Untuk
menandingi mediamedia asing itu tidak cukup dengan idealisme saja, tetapi
harus realistis bahwa untuk mencapai kualitas menandingi mereka perlu biaya
yang tidak sedikit. Selain kesiapan teknologi, program yang berkualitas global
pun harus dipersiapkan dan konsekuensinya semakin berkualitas. Maka, cost (biaya) akan semakin tinggi,
sedangkan sumber pendapatan hanya dari iklan semata.
Pengaturan
tentang iklan telah jelas pada UU Penyiaran termasuk PP-nya. Penghitungannya
tidaklah fair dan realistis bila diambil secara acak (uji petik). Itu haruslah
dihitung minute by minute, hour by hour, dan day by day sepanjang tahun secara detail dan terekam sehingga tidak
menimbulkan perdebatan yang berdasarkan persepsi. Dengan cara itu, kredibilitas
dan akuntabilitas data akan sangat mudah untuk dipertanggungjawabkan.
Yang
perlu diingat ialah iklan tidak hanya menghidupi lembaga penyiaran dan karya
wannya. Lebih dari itu, iklan juga menggerakkan roda perekonomian dunia,
menghidupkan neighboring industry penyiaran
seperti production house, artis,
musikus, sineas, graphics designer,
copywriter, editor, pengiklan, event
organizer, atlet, dll bersama keluarga besar mereka. Iklan termasuk yang
menghadirkan event nasional dan
internasional di ruang keluarga.
Untuk
itu, perlu kearifan, pengalaman, dan pendalaman kehidupan media penyiaran dalam
memberikan pandangan tentang iklan. Jika tidak, salah–salah itu malah dapat
mengubah konstelasi bisnis penyiaran secara menyeluruh dan tidak menutup
kemungkinan justru membuat media penyiaran swasta di Indonesia menjadi dongeng
pengantar tidur anak–anak karena sudah tidak bisa ditemui lagi.
Na’udzu billah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar