Menatap
ISIS dengan Tenang
Rumadi ; Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Peneliti Senior the WAHID Institute
|
KORAN
SINDO, 07 Agustus 2014
Di luar persoalan konflik kawasan Israel-Palestina yang tak
pernah usai, kini dunia dikejutkan dengan gerakan politik keagamaan baru yang
tak kalah dahsyat. Islamic State of
Iraq-Syria (ISIS) kini menjadi momok baru yang menjadikan instabilitas
politik Timur Tengah akan semakin lama. ISIS kini bukan hanya menguasai
beberapa wilayah di Irak dan Suriah, tapi juga sudah menguasai satu wilayah
di Libanon. Pertanyaannya, apayangperlu dikhawatirkan dengan perkembangan
ini? Mengapa Pemerintah Indonesia menaruh kewaspadaan tinggi terhadap
persoalan ini? Dua pertanyaan ini bisa dijelaskan panjang lebar. Namun,
karena keterbatasan ruangan, penulis hanya akan memberi ulasan singkat atas
dua pertanyaan tersebut.
ISIS dan Terorisme
Kebanyakan pengamat menilai, ISIS merupakan kelanjutan dari
organisasi teroris, al- Qaeda. Ia bahkan lebih berbahaya dari al-Qaeda. Jika
al-Qaeda lebih berkonsentrasi melawan Barat dengan melakukan aksi pengeboman,
ISIS lebih jauh dari itu. Dengan dasar ideologi radikal yang kurang lebih sama,
ISIS lebih berkonsentrasi untuk merebut dan menguasai wilayah politik.
Penguasaan wilayah politik dan memproklamirkan sebuah khilafah
islamiyah yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi, ISIS akan lebih leluasa untuk
memasarkan dan mengimplementasikan ideologi Islamnya di satu pihak dan
memperkuat sumber- sumber ekonomi dengan menguasai kilang-kilang minyak di
pihak lain. Dengan demikian, jika ada yang berpendapat ISIS lebih berbahaya
dari al-Qaeda, ada benarnya. Namun, bagi negara-negara Barat tingkat emergencynya
tentu berbeda.
Karena ISIS untuk sementara lebih berorientasi lokal, tidak
menjadi ancaman langsung terhadap Barat meski dalam jangka panjang tentu akan
menjadi ancaman serius bagi Barat, bukan saja soal keamanan, melainkan juga
ekonomi. Apakah ISIS akan semakin memperluas wilayah kekuasaannya? Saya tidak
terlalu yakin. Meskipun sebagian tentara ISIS adalah tentara profesional yang
beberapa di antaranya pernah menjadi tentara andalan Saddam Husein, saya
tidak yakin mereka akan mampu terus memperluas wilayah kekuasaannya.
Mereka terus mampu mempertahankan kota-kota yang sudah dikuasai
saja sudah cukup baik. Ke depan saya kira ISIS akan lebih berkonsentrasi
mempertahankan wilayah daripada memperluas wilayah kekuasaan. Ada beberapa
alasan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, hampir tidak ada negara di kawasan
itu yang secara eksplisit memberi dukungan politik, finansial, dan
persenjataan.
Pemerintah Irak, Suriah, Libanon, dan negara-negara lain di
sekitarnya juga tidak akan membiarkan ISIS akan terus memperluas
kekuasaannya. Kedua, negara-negara Barat juga tidak ada yang secara terbuka
memberi dukungan politik pada ISIS. Sekarang ini bahkan terjadi perubahan
geopolitik yang arahnya justru mempertemukan negara-negara yang selama ini
saling bermusuhan. Hubungan Amerika Serikat dan Iran yang selema ini sulit
bekerja sama—bahkan saling bermusuhan— mulai membuka komunikasi untuk
bergandeng tangan menangkal ISIS.
AS dan Rusia yang biasanya berseberangan dalam menyikapi
sejumlah persoalan di Timur Tengah tampaknya juga akan bergandengan tangan.
Persoalan kekejaman Bashar al-Assad yang membantai ribuan warganya dengan
dalih melumpuhkan pemberontak untuk sementara akan dilupakan. Bukan tidak
mungkin, Bashar al-Assad akan mengambil keuntungan politik dari persoalan
ISIS ini. Jika sebelumnya AS memusuhi Bashar al-Assad yang didukung Rusia
dalam menghadapi pemberontak, sangat terbuka kemungkinan kini AS bersama-sama
Rusia akan mendukung Bashar al-Assad untuk menghadapi ISIS.
Ketiga, ISIS mengklaim mewakili politik Suni. Namun, ini tidak
berarti mereka bisa menyatukan seluruh kekuatan politik Suni di kawasan Arab.
Alihalih menyatukan kekuatan politik Suni secara internasional, menyatukan
dalam satu kawasan saja akan sulit dilakukan. Perlawanan terhadap ISIS bukan
saja dilakukan oleh penganut Syiah, melainkan juga di kalangan Suni sendiri.
Ini terjadi karena ISIS mempunyai ukuran-ukuran ke-Suni-an
sendiri. Atas dasar itu, ISIS tidak akan menjadi arus mainstream politik di
Timur Tengah meski memusnahkan sama sekali juga bukan hal mudah. Kelompok ini
akan terus ada meski tidak akan mampu melakukan ekspansi lebih masif.
Konteks Indonesia
Pemerintah Indonesia, melalui Menkopulhukam, sudah menyampaikan
bahwa ISIS merupakan gerakan berbahaya yang harus diwaspadai, bertentangan
dengan Pancasila, dan tidak diizinkan berkembang di Indonesia. Kepala BNPT
Ansyad Mbai juga menyatakan ISIS sebagai organisasi teroris. Tokoh-tokoh
agama, baik NU, Muhammadiyah, maupun MUI juga menyatakan bahwa ISIS tidak
bisa diklaim sebagai gerakan Islam, apalagi Suni, tapi tak lebih sebagai
organisasi politik yang menghalalkan kekerasan.
Ada juga sejumlah kalangan yang mengusulkan pencabutan warga
negara jika ada WNI yang berbaiat setia pada ISIS. Respons tersebut bisa
dimaklumi karena Indonesia punya pengalaman panjang dengan persoalan
kekerasan agama dan terorisme. Meski demikian, kemunculan baiat kesetiaan
pada ISIS yang merebak di berbagai tempat harus disikapi dengan tenang, tidak
perlu gugup, dan berlebihan. Usulan pencabutan warga negara, menurut saya,
sebagai bentuk kegugupan yang berlebihan. Kelompok-kelompok masyarakat di
Indonesia yang memberi dukungan kepada ISIS sebenarnya tidak terlalu besar.
Sel-sel gerakannya juga akan bisa dengan cepat diungkap.
Simpul-simpulnya tidak berbedajauhdengangerakan radikal yang
selama ini sudah diketahui. Beberapa kelompok yang selama ini dikenal radikal
bahkan tidak semua menyetujui ISIS. FPI misalnya menyatakan
ketidaksetujuannya dengan ISIS. Meski Abu Bakar Baasyir sebagai pimpinan
Jammah Anshorut Tauhid (JAT) berbaiat pada ISIS, tidak semua komponen JAT
setuju. Ponpes Ngruki yang dipimpin Abu Bakar Baasyir juga menyatakan tidak
mendukung ISIS. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga tidak setuju dengan ISIS
meski sama-sama punya ideologi khilafah. Itu menunjukkan, dilihat dari segi
dukungan, tidak perlu terlalu ditakutkan.
Baiat-baiat kesetiaan pada Khalifah ISIS Abu Bakar al-Baghdadi
hanya akan menjadi gejala sesaat yang akan hilang dengan sendirinya. Namun,
hal yang bisa dipastikan, pentolan-pentolan pendukung ISIS merupakan orang
yang tingkat radikalisme sudah sampai di ujung, termasuk menafikan Indonesia
yang negara Pancasila. Dengan demikian, persoalan ISIS ini tidak perlu
dihadapi dengan berlebihan meski tetap penting memberi kewaspadaan tinggi.
Dalam kaitan ini, ada beberapa hal yang penting untuk mendapat
perhatian. Pertama, dalam konteks gerakan radikal di Indonesia, ISIS hanyalah
momentum untuk membangkitkan konsolidasi gerakan Islam radikal di Indonesia.
Gerakan ini akan bisa membesar di Indonesia kalau terjadi instabilitas
politik nasional. Sebagaimana di negeri asalnya, ISIS tumbuh dan berkembang
karena ada instabilitas politik di Irak dan Suriah. Di sinilah pentingnya
Indonesia tetap harus menjaga stabilitas politik pascapilpres untuk
memastikan negara tetap berdiri kokoh untuk menghadapi segala bentuk ancaman.
Kedua, pendukung ISIS di Indonesia bisa dipastikan adalah orang-orang yang
menganggap Indonesia adalah negara kafir.
Demokrasi dan nasionalisme adalah sistem kafir. HTI sebenarnya
mempunyai paham yang sama. Mereka sama-sama mengidealisasi negara khilafah,
namun menempuh jalan perjuangan yang berbeda. Jika ISIS seperti dilakukan di
Irak dan Suriah berjuang dengan kekerasan dan perang, HTI lebih menempuh
jalan damai. Namun, keduanya sama-sama anti-Pancasila yang perlu diwaspadai.
Jika ada kesempatan politik, bukan tidak mungkin HTI dan ISIS akan bekerja sama.
Ketiga, hal yang perlu diwaspadai adalah ada sejumlah warga Indonesia yang
dikabarkan ikut bergabung dengan ISIS di Suriah.
Sebagaimana alumni perang Afghanistan yang kemudian membentuk
sel-sel teroris di Indonesia, orang-orang ini juga perlu diwaspadai.
Pergerakan jaringan-jaringan ini bukan tidak mungkin akan membentuk pasukan
perang di Indonesia, melakukan pelatihan-pelatihan militer di mana benih
kelompok radikal seperti ini sudah ada di Indonesia.
Terakhir, saya masih yakin, masyarakat muslim Indonesia adalah
masyarakat yang moderat dan sulit menerima ideologi radikal seperti
ditunjukkan ISIS, namun jika tidak dibendung, virus ideologi ISIS akan bisa
merasuk ke mana-mana. Inilah yang harus mendapat perhatian bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar