Katanya, demokrasi kita berada di jalan benar menuju pencerahan.
Namun, mengapa jalan pencerahan ini dipandu oleh kegelapan? Ke mana saja
kita menghadap, yang berjaya di banyak tempat adalah kedunguan. Ketika
kebenaran ditentukan oleh jumlah; dan ketika jumlah terbesar adalah
ketidakhirauan dan ketidakberdayaan, kebenaran itu mudah dimenangkan oleh
kejahatan terorganisasi yang beradidaya. Kebebalan keburukan menguasai
sendi-sendi kehidupan.
Ruang publik kita sekarang ini disesaki sampah perdebatan pepesan
kosong, kerapatan parlemen dirayakan dengan kesenyapan gagasan,
program-program pemerintah disibukkan oleh involusi kelambanan dan
kemubaziran. Elite negeri berlomba mengkhianati negara dan sesamanya.
Kedudukan dan kecerdikan bersekongkol mempersembahkan kekayaan negeri bagi
sebesar-besarnya kemakmuran asing. Rasa saling percaya lenyap karena sumpah
dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam
perluasan korupsi. Ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah
merajalela; kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.
Di zaman kalabendu, yang penuh prahara, pertikaian, kedunguan, serta
kehancuran tata nilai dan keteladanan, situasi ”anomali” (a-nomos,
ketidakteraturan) dianggap sebagai ”normal” (norm, keteraturan). Aparatur
negara saling serang memperebutkan ”lahan jarahan”. Penegak hukum berjamaah
melanggar hukum. Komite etik dipimpin oleh orang dengan riwayat tuna-etik.
Agama dimanipulasi untuk tujuan korupsi politik. Kesantunan gerak tutur
menjadi topeng kebusukan susila.
Republik berjalan tanpa tuntunan kepanditaan, pancaran kesadaran
agung para nakhoda Republik untuk membawa bangsa keluar dari kegelapan.
Sutasoma berkata, pemimpin tercerahkan tidak bisa dinilai dari penampilan
citra lahiriahnya. ”Pancaran
pengetahuan suci dan kebijaksanaan itu sendirilah yang menjadi tanda apakah
seseorang itu tercerahkan atau tidak (tanpa memandang dia raja atau pandita
dalam wujud lahirnya).”
Banyak orang berpenampilan pandita untuk menjual ayat dengan harga
yang murah; membenarkan kejahatan politik dengan rekayasa statistika;
mendidik orang untuk tujuan kesesatan dan kebencian. Merajalelanya pandita
palsu membawa bencana dan kemarau keteladanan. Sutasoma berkata, ”Benar dikatakan bahwa murid haruslah
mematuhi gurunya seperti mematuhi orangtuanya sendiri. Namun, jika guru
bertindak jahat, maka akan ada kekeringan, hujan turun salah musim,
panen-panen gagal, kesepuluh penjuru mata angin diliputi ketakutan,
kejahatan terjadi di mana-mana, dan wabah penyakit berlangsung tanpa
akhir.”
Pemimpin Salah Asuhan
Banyak orang berambisi memimpin negeri tanpa memahami dan mencintai
negerinya. Bagaimana bisa berempati terhadap penderitaan rakyat di
keragaman pelosok Tanah Air jika calon pemimpin nasional tidak pernah
mengenali dan menjelajahi Nusantara. Bagaimana bisa menghayati ideologi
nasional jika calon pemimpin bangsa tidak merasakan pahit getir sejarah
perjuangan bangsa. Banyak pemimpin salah asuhan: makan, minum, dan bernapas
dari kesugihan negeri ini, tetapi dengan mentalitas asing yang tega mengkhianati
dan menjarah Ibu Pertiwi-nya sendiri.
Benar juga kata John Lie, pahlawan nasional keturunan Tionghoa, orang
pribumi adalah orang-orang yang Pancasilais, saptamargais, yang jelas-jelas
membela kepentingan negara dan bangsa. Sementara non-pribumi adalah mereka
yang suka korupsi dan merugikan kepentingan nasional. ”Mereka itu sama juga menusuk bangsa kita dari belakang. Maka
patutlah mereka digolongkan orang non-pribumi.”
Banyak orang merasa pantas jadi pemimpin nasional tanpa keterujian
rekam jejak dan kejernihan visi. Semua nilai dan kepantasan disusutkan pada
nilai uang dan popularitas. Tawaran visi diremehkan ketika tawaran ”gizi”
diutamakan. Partai-partai politik membentangkan karpet merah kepada orang
berduit. Ketika orang berduit bisa mendiktekan kemauannya kepada partai
politik atau bisa langsung ditempatkan di pucuk pimpinan organisasi, pada
saat itu pula partai politik sebagai institusi kolektif yang memperjuangkan
aspirasi kolektif roboh.
Banyak orang yang menjanjikan perbaikan bagi negeri, tetapi justru
dengan menempuh cara-cara yang tidak baik. Padahal, untuk tiba pada
kebenaran, orang harus sudah berada di jalan yang benar. Bagaimana bisa
berhasil menjalankan operasi demokrasi jika kepemimpinan dalam partainya
sendiri dijalankan dengan cara-cara tirani. Bagaimana bisa bertanggung
jawab memimpin Republik jika memimpin partai saja tak taat anggaran dasar/ anggaran
rumah tangga atau tega merobohkan partai sendiri ketika kepentingan tidak
lagi terpenuhi. Bagaimana bisa menawarkan pemerintahan yang bersih jika
kepemimpinan partai dalam genggaman tangan pengusaha yang kotor. Bagaimana
bisa memerangi politik uang jika jalan partai alternatif untuk memenangkan
kontestasi pemilihan pun ditempuh dengan menawarkan uang.
Jalan Buntu Demokrasi?
Bagaimana kita bisa percaya, demokrasi kita berada di jalan yang
benar? Setelah 14 tahun reformasi digulirkan, jalan sejarah kita justru
menjelang kebuntuan state manque dalam nubuat Clifford Geertz, yakni sebuah
negara yang tak kunjung menemukan bentuk politik yang cocok bagi watak
rakyatnya, tersandung dari percobaan institusional yang satu ke yang lain.
Jalan buntu ini terjadi karena kemiskinan imajinasi kita. Reformasi sosial
acap kali direduksi sekadar reformasi prosedural, dan pilihan-pilihan
prosedur itu pun sering kali diambil secara serampangan dari model luar
tanpa usaha kontekstualisasi ke dalam sistem sosial-budaya kita. Padahal,
jantung masalah kita ada pada sistem pemaknaan—sebagai inti budaya. Apa pun
prosedur yang kita ambil, jika sistem pemaknaan mengalami kerusakan, tidak
akan menghasilkan perubahan substantif.
Kerusakan sistem makna sebagai sistem budaya kita terlihat dari
bahasa yang dominan di ruang publik, bahasa politik dan bahasa ekonomi.
Bahasa politik dan ekonomi kita hanya mengenal satu pertanyaan, ”siapa yang
menang?” dan ”apa untungnya?” Ruang publik kita jarang mengenal pertanyaan
budaya yang mempertanyakan ”apa yang benar?”
Singkat kata, kita perlu meruwat Republik dengan revolusi budaya,
revolusi mental dalam cara kita memaknai kehidupan publik. Soekarno
berkata, ”Suatu negara dapat berdiri
tanpa tank dan meriam. Tetapi, suatu bangsa tidak mungkin eksis tanpa
keyakinan.” Keyakinan yang tumbuh melalui sistem makna yang tunduk pada
imperatif moral bahwa rasionalitas kepentingan pribadi tidak boleh dibayar
oleh irasionalitas kehidupan publik. Seperti kata John Gardner, ”Tidak ada bangsa yang dapat mencapai
kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak
sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang
peradaban besar.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar