Kamis, 14 Maret 2013

Menegaskan Kembali Eksistensi Desa


Menegaskan Kembali Eksistensi Desa
Gamawan Fauzi ;  Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
KOMPAS, 14 Maret 2013


Desa, atau yang disebut dengan nama lain, adalah salah satu bentuk daerah yang khas di Indonesia. Desa memiliki latar belakang historis dan filosofis yang jelas dan kuat.

Desa hadir sebelum tata pemerintahan tumbuh dan berkembang seperti sekarang. Prasati Himad-Walandit (1350) menyebutkan, desa telah ada sejak zaman kerajaan berkuasa di Nusantara. Pemerintah Hindia Belanda pun mengakui legalitas desa dalam Staatsblad Tahun 1906 Nomor 83 dan Staatsblad Tahun 1938 Nomor 490.

Desa memiliki hak otonomi asli berdasarkan hukum adat, dapat menentukan susunan pemerintahan, mengatur dan mengurus rumah tangga, serta memiliki kekayaan dan aset. oleh karena itu, eksistensi desa perlu ditegaskan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa.

Namun, deregulasi dan penataan desa—pasca-beberapa kali amandemen terhadap konstitusi negara serta peraturan perundangannya—menimbulkan perspektif baru tentang pengaturan desa di Indonesia. Pengaturan desa yang ketat dan penyeragamannya di seluruh Indonesia menjadi salah satu sumber hilangnya potensi kemandirian desa, khususnya di luar Jawa.

Sejarah juga mencatat bahwa regulasi desa selama ini cenderung mengedepankan pengaturan pemerintahan desa untuk mempercepat kemandirian, pembangunan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Akibatnya, terjadi pertambahan desa yang pesat. Tahun 2001 jumlah desa di Indonesia 61.562 desa. Tahun 2012 menjadi 72.944 desa dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,4 persen per tahun.

Pertumbuhan jumlah desa juga disertai sejumlah implikasi. Sebaran desa tidak merata antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa yang luasnya 127.569 kilometer persegi (6 persen dari total luas Indonesia) memiliki 22.453 desa, sementara Pulau Kalimantan dengan luas 574.194 kilometer persegi (25,43 persen dari total luas Indonesia) hanya memiliki 6.295 desa. Kondisi ini memengaruhi percepatan pelayanan masyarakat di tingkat desa.

Permasalahan lain tidak kalah berat membebani desa adalah impitan kemiskinan. Data per September 2012 mencatat ada 63,25 persen penduduk miskin di Indonesia tinggal di pedesaan. Kondisi ini semakin menambah beban desa yang sudah demikian berat sehingga semakin sulit untuk mandiri. Dibutuhkan ikhtiar komprehensif untuk menegakkan kembali eksistensi desa sebagai daerah otonom istimewa.

Tiga Aspek

Solusi terhadap kompleksnya permasalahan desa dimaksud mencakup tiga aspek permasalahan, yaitu aspek kewilayahan, kemasyarakatan, dan pemerintahan. Masalah kewilayahan yang perlu diatasi misalnya hasrat pemekaran desa yang terus berkembang, batas desa yang tidak terselesaikan dan berujung konflik antarwilayah, serta ketimpangan sumber daya antardesa.

Permasalahan pada aspek kemasyarakatan juga menjadi beban berat bagi desa, seperti kemiskinan yang turun secara kuantitas, tetapi meningkat intensitasnya karena tingginya tingkat pengangguran friksional ataupun struktural di pedesaan.

Perubahan nilai-nilai lokal akibat akulturasi dan dampak globalisasi yang deras terus menggerus nilai-nilai yang luhur, berganti dengan nilai-nilai global yang lebih materialistik.

Demikian pula halnya dengan pemerintahan. Tidak jelasnya penyerahan urusan dari pemerintah tingkat atas kepada desa, regulasi pengelolaan sumber pendapatan desa, struktur kelembagaan yang tidak representatif, euforia politik yang menuntut jabatan kepala desa menjadi delapan tahun, tuntutan perangkat desa dijadikan PNS, serta kecenderungan rivalitas Badan Permusyawaratan Desa dengan kepala desa merupakan beberapa contoh kompleksitas pemerintahan desa.

Menyadari beban berat desa, diperlukan pengaturan desa yang bersifat multiperspektif. Agar desa mandiri dan masyarakatnya sejahtera, yang diperlukan tidak hanya penataan aspek pemerintahan, tetapi juga yang berkaitan dengan aspek kewilayahan, tata kehidupan dan adat istiadat, serta pengembangan potensi daerah.

Inilah yang mendorong pemerintah segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa bersama DPR agar eksistensi desa sebagai daerah istimewa yang dulu diakui dalam UUD 1945 kembali. Melalui revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa, maka desain RUU Desa berlandaskan pada pengembangan keanekaan desa. Istilah desa disesuaikan dengan asal-usul, adat istiadat, dan nilai-nilai budaya masyarakat di setiap daerah otonom di Indonesia. Setelah UUD 1945 diamandemen, istilah desa tidak lagi disebut secara eksplisit.

Semangat Demokratisasi

RUU Desa mencoba mengangkat semangat demokratisasi di tingkat desa, yaitu penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa mengakomodasi aspirasi dan kepentingan masyarakat luas.

Demikian juga dengan hak-hak tradisional yang perlu dilestarikan sehingga pemerintah desa mendapat kewenangan mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai budaya yang ada.

Partisipasi masyarakat, diarahkan untuk sebesar-besarnya mengakomodasi peran aktif masyarakat 
dalam pembangunan setiap desa. Begitu pula dengan pemberdayaan masyarakat, ditujukan untuk mengembangkan kemandirian serta meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Melalui RUU Desa, pemerintah mencoba mengembangkan kedudukan desa sebagai self local community. Artinya, semua pelaksanaan tugas pelayanan harus berbasis masyarakat. Melalui konsep ini, desa akan dikembangkan dan dijaga hak asal-usul dan sosial budayanya, seperti tanah kas desa, pasar desa, irigasi desa (subak), dan budaya lokal lainnya. Semua ini diharapkan mampu membangkitkan kembali urusan-urusan lokal, seperti jagabaya, ulu-ulu, modin, amir, serta banyak lagi urusan lokal yang menjadi karakteristik desa selama ini.

Untuk mendukung dan memperkuat eksistensi desa, RUU Desa akan mendorong urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan pemerintah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, dilimpahkan kepada desa. Dengan demikian, dapat dikembangkan kemandirian pemerintahan dan masyarakat desa melalui penguatan kewenangan, keuangan, kelembagaan dan personel di tatanan pemerintahan desa.

Dengan penguatan tersebut, pemerintah desa dan masyarakat mempunyai hak mengatur dan mengurus kesatuan masyarakat hukumnya sesuai adat istiadat yang berkembang, mampu menggali sumber pendapatan sekaligus mengelolanya, serta terwujudnya harmonisasi, sinergi antarlembaga desa yang ada, seperti pemerintah desa, badan permusyawaratan desa, lembaga adat, serta lembaga kemasyarakatan seperti RT, RW, PKK, dan karang taruna. Hal ini diperkuat dengan pembiayaan yang bersumber dari dana yang mungkin menurut RUU, seperti bantuan dana untuk desa mengiringi program/kegiatan di desa.

Memperhatikan kondisi dan dinamika yang berkembang saat ini, beberapa konsep yang telah disusun di dalam RUU Desa tersebut menjadi sangat relevan untuk mendorong penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa yang baik. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar