Momen
Krusial Demokrasi
Siti Siamah ; Peneliti Global Data Reform
|
SINAR
HARAPAN, 08 Agustus 2014
Sejarah akan mencatat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 sebagai
momentum kokohnya demokrasi di negeri ini. Hal tersebut jika semuanya
berlangsung tertib dan damai sehingga keadaan bangsa dan negara tetap normal.
Sebaliknya, sejarah akan mencatatnya sebagai momentum robohnya
demokrasi di negeri ini jika pilpres diwarnai kemelut politik dan rusuh
nasional berdarah-darah sehingga negara dinyatakan dalam keadaan darurat.
Begitulah, pilpres tahun ini memang menjadi momentum krusial
yang menentukan nasib demokrasi di negeri ini. Faktanya, masing-masing calon
presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) memperoleh dukungan
rakyat yang nyaris imbang atau selisihnya di bawah dua digit.
Dengan kata lain, dengan selisih di bawah 10 persen antara yang
menang dan yang kalah, pilpres membuktikan kedua kubu sama-sama berkekuatan
politik besar untuk bisa mengubah keadaan bangsa dan negara, apakah tetap
normal dan damai ataukah sebaliknya, menjadi rusuh atau kemudian dinyatakan
darurat.
Jika sampai keadaan dinyatakan darurat oleh kepolisian dan
militer, bukan tidak mungkin demokrasi dibekukan dengan alasan telah terbukti
membahayakan bangsa dan negara. Jika ini sampai terjadi, Indonesia bisa
dianggap mundur sekian puluh tahun, sebagaimana ketika rezim Orde Lama dihentikan
oleh rezim Orde Baru yang notabene barisan militer yang dipimpin Soeharto.
Kini, banyak pihak menduga-duga ada skenario kaos pascapilpres
untuk menghentikan sistem politik multipartai, dengan menciptakan kekacauan
dan rusuh nasional sebagai alasan bagi militer untuk menyatakan keadaan
darurat.
Skenario tersebut bisa saja memang ada dan sengaja disusun untuk
menggagalkan pilpres, yang berarti membekukan demokrasi. Di baliknya, bisa
saja ada barisan tokoh yang kecewa terhadap jajaran pengelola negara yang
dihasilkan lewat proses demokrasi, yang ternyata memang semakin korup.
Logikanya, jika upaya memberantas korupsi dengan cara
konvensional seperti yang dilakukan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) tidak
banyak mengubah wajah pemerintahan menjadi bersih, layak ditempuh cara lain,
yakni membekukan demokrasi agar tidak terus memproduksi pejabat-pejabat korup
yang cepat atau lambat sangat merugikan bangsa dan negara.
Logika tersebut, jika dipopulerkan saat negara sudah dinyatakan
dalam keadaan darurat, bisa saja justru didukung mayoritas rakyat yang
notabene kecewa melihat makin banyak pejabat yang dihasilkan lewat proses
demokrasi. Pejabat-pejabat itu makin korup sehingga menimbulkan fenomena
korupsi berjemaah yang makin masif di negeri ini.
Harus diakui, sudah cukup lama kita mendengar banyak pihak
mengeluh dan menggerutu terkait masifnya korupsi berjemaah oleh jajaran
pejabat yang lahir dari proses demokrasi. Banyak juga yang pesimistis korupsi
bisa diberantas ketika demokrasi dibiarkan terus memproduksi koruptor di
pusat dan daerah.
Namun banyak yang bermimpi dan berharap segera muncul perubahan
besar yang mampu menumpas koruptor. Lantas banyak orang melirik militer, yang
dianggap satu-satunya institusi tersolid yang mampu melakukan perubahan besar
tersebut.
Dalam logika politik, militer hanya bisa mengambil alih
kekuasaan—untuk sementara, tapi entah sampai kapan)—jika keadaan negara sudah
layak dinyatakan darurat. Dalam hal ini, bermimpi atau berharap militer
membekukan demokrasi hanya bisa terjadi jika ada rusuh nasional yang
berdarah-darah.
Kini dengan melihat pilpres yang konon diwarnai berbagai macam
kecurangan masif, mereka yang bermimpi dan berharap militer segera membekukan
demokrasi tentu menganggap mimpi dan harapannya bukan lagi utopia belaka.
Dengan kata lain, jika betul-betul terjadi kemelut politik dan
rusuh nasional yang berdarah-darah akibat pihak yang tidak menerima
kekalahannya kemudian mengamuk, keadaan darurat pasti betul-betul terjadi.
Saat itu, militer betul-betul telah mendapatkan alasan membekukan demokrasi
untuk sementara.
Bagi mereka yang sudah pesimistis terhadap demokrasi yang memang
sudah nyata-nyata banyak memproduksi koruptor di negeri ini, bekunya
demokrasi tentu disyukuri. Padahal jika sampai proses bekunya demokrasi
terjadi—diawali dengan kemelut politik dan rusuh nasional hingga keadaan
dinyatakan darurat—pasti banyak jatuh korban atau terjadi pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) berat.
Data empiris di sejumlah negara yang pernah mengalami bekunya
demokrasi di tangan militer layak dijadikan pelajaran berharga bagi bangsa
kita, terutama bagi dua kubu capres-cawapres yang berlaga dalam pilpres.
Intinya, jika tidak ingin meihat anak-anak bangsa saling bantai, jangan
pernah mencoba-coba menyulut kemelut politik terkait proses demokrasi.
Lebih gamblangnya, nasib demokrasi bisa ditentukan oleh sikap
politik masing-masing capres-cawapres terkait hasil pilpres. Jika semuanya
menerima hasil pilpres dengan mengutamakan persatuan dan kedamaian, demokrasi
pasti akan tetap kokoh di negeri ini.
Karena itu, jika capres-cawapres yang tidak unggul pilpres
bersedia menerima kekalahannya dengan lapang dada, semua pihak tak perlu
mencemaskan nasib demokrasi Indonesia. Dengan demikian, rakyat layak
memberikan penghargaan dan penghormatan yang tulus dan setinggi-tingginya
kepadanya. Artinya, rakyat layak memilihnya memimpin bangsa dan negara lewat
pilpres berikutnya.
Dengan kata lain, kekalahan dalam pilpres tahun ini bisa berarti
modal besar untuk meraih kemenangan dalam Pilpres 2019 nanti. Ini karena
rakyat telah memberikan penghargaan dan penghormatan atas sikap politiknya
yang betul-betul memperkokoh demokrasi di negeri ini, sebagai fondasi utama
melanjutkan pembangunan bangsa dan negara dalam arti seluas-luasnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar