Sabtu, 09 Agustus 2014

Momen Krusial Demokrasi

Momen Krusial Demokrasi

Siti Siamah  ;  Peneliti Global Data Reform
SINAR HARAPAN, 08 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Sejarah akan mencatat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 sebagai momentum kokohnya demokrasi di negeri ini. Hal tersebut jika semuanya berlangsung tertib dan damai sehingga keadaan bangsa dan negara tetap normal.

Sebaliknya, sejarah akan mencatatnya sebagai momentum robohnya demokrasi di negeri ini jika pilpres diwarnai kemelut politik dan rusuh nasional berdarah-darah sehingga negara dinyatakan dalam keadaan darurat.

Begitulah, pilpres tahun ini memang menjadi momentum krusial yang menentukan nasib demokrasi di negeri ini. Faktanya, masing-masing calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) memperoleh dukungan rakyat yang nyaris imbang atau selisihnya di bawah dua digit.

Dengan kata lain, dengan selisih di bawah 10 persen antara yang menang dan yang kalah, pilpres membuktikan kedua kubu sama-sama berkekuatan politik besar untuk bisa mengubah keadaan bangsa dan negara, apakah tetap normal dan damai ataukah sebaliknya, menjadi rusuh atau kemudian dinyatakan darurat.

Jika sampai keadaan dinyatakan darurat oleh kepolisian dan militer, bukan tidak mungkin demokrasi dibekukan dengan alasan telah terbukti membahayakan bangsa dan negara. Jika ini sampai terjadi, Indonesia bisa dianggap mundur sekian puluh tahun, sebagaimana ketika rezim Orde Lama dihentikan oleh rezim Orde Baru yang notabene barisan militer yang dipimpin Soeharto.

Kini, banyak pihak menduga-duga ada skenario kaos pascapilpres untuk menghentikan sistem politik multipartai, dengan menciptakan kekacauan dan rusuh nasional sebagai alasan bagi militer untuk menyatakan keadaan darurat.

Skenario tersebut bisa saja memang ada dan sengaja disusun untuk menggagalkan pilpres, yang berarti membekukan demokrasi. Di baliknya, bisa saja ada barisan tokoh yang kecewa terhadap jajaran pengelola negara yang dihasilkan lewat proses demokrasi, yang ternyata memang semakin korup.

Logikanya, jika upaya memberantas korupsi dengan cara konvensional seperti yang dilakukan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) tidak banyak mengubah wajah pemerintahan menjadi bersih, layak ditempuh cara lain, yakni membekukan demokrasi agar tidak terus memproduksi pejabat-pejabat korup yang cepat atau lambat sangat merugikan bangsa dan negara.

Logika tersebut, jika dipopulerkan saat negara sudah dinyatakan dalam keadaan darurat, bisa saja justru didukung mayoritas rakyat yang notabene kecewa melihat makin banyak pejabat yang dihasilkan lewat proses demokrasi. Pejabat-pejabat itu makin korup sehingga menimbulkan fenomena korupsi berjemaah yang makin masif di negeri ini.

Harus diakui, sudah cukup lama kita mendengar banyak pihak mengeluh dan menggerutu terkait masifnya korupsi berjemaah oleh jajaran pejabat yang lahir dari proses demokrasi. Banyak juga yang pesimistis korupsi bisa diberantas ketika demokrasi dibiarkan terus memproduksi koruptor di pusat dan daerah.

Namun banyak yang bermimpi dan berharap segera muncul perubahan besar yang mampu menumpas koruptor. Lantas banyak orang melirik militer, yang dianggap satu-satunya institusi tersolid yang mampu melakukan perubahan besar tersebut.

Dalam logika politik, militer hanya bisa mengambil alih kekuasaan—untuk sementara, tapi entah sampai kapan)—jika keadaan negara sudah layak dinyatakan darurat. Dalam hal ini, bermimpi atau berharap militer membekukan demokrasi hanya bisa terjadi jika ada rusuh nasional yang berdarah-darah.

Kini dengan melihat pilpres yang konon diwarnai berbagai macam kecurangan masif, mereka yang bermimpi dan berharap militer segera membekukan demokrasi tentu menganggap mimpi dan harapannya bukan lagi utopia belaka.

Dengan kata lain, jika betul-betul terjadi kemelut politik dan rusuh nasional yang berdarah-darah akibat pihak yang tidak menerima kekalahannya kemudian mengamuk, keadaan darurat pasti betul-betul terjadi. Saat itu, militer betul-betul telah mendapatkan alasan membekukan demokrasi untuk sementara.

Bagi mereka yang sudah pesimistis terhadap demokrasi yang memang sudah nyata-nyata banyak memproduksi koruptor di negeri ini, bekunya demokrasi tentu disyukuri. Padahal jika sampai proses bekunya demokrasi terjadi—diawali dengan kemelut politik dan rusuh nasional hingga keadaan dinyatakan darurat—pasti banyak jatuh korban atau terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

Data empiris di sejumlah negara yang pernah mengalami bekunya demokrasi di tangan militer layak dijadikan pelajaran berharga bagi bangsa kita, terutama bagi dua kubu capres-cawapres yang berlaga dalam pilpres. Intinya, jika tidak ingin meihat anak-anak bangsa saling bantai, jangan pernah mencoba-coba menyulut kemelut politik terkait proses demokrasi.

Lebih gamblangnya, nasib demokrasi bisa ditentukan oleh sikap politik masing-masing capres-cawapres terkait hasil pilpres. Jika semuanya menerima hasil pilpres dengan mengutamakan persatuan dan kedamaian, demokrasi pasti akan tetap kokoh di negeri ini.

Karena itu, jika capres-cawapres yang tidak unggul pilpres bersedia menerima kekalahannya dengan lapang dada, semua pihak tak perlu mencemaskan nasib demokrasi Indonesia. Dengan demikian, rakyat layak memberikan penghargaan dan penghormatan yang tulus dan setinggi-tingginya kepadanya. Artinya, rakyat layak memilihnya memimpin bangsa dan negara lewat pilpres berikutnya.

Dengan kata lain, kekalahan dalam pilpres tahun ini bisa berarti modal besar untuk meraih kemenangan dalam Pilpres 2019 nanti. Ini karena rakyat telah memberikan penghargaan dan penghormatan atas sikap politiknya yang betul-betul memperkokoh demokrasi di negeri ini, sebagai fondasi utama melanjutkan pembangunan bangsa dan negara dalam arti seluas-luasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar