Kamis, 14 Maret 2013

Politik Menyusui dan Kuota 30 Persen


Politik Menyusui dan Kuota 30 Persen
Hapsari Kusumaningdyah ;  Alumnus ''Menjadi Indonesia'' Tempo Institute,
Mahasiswi Psikologi UI
JAWA POS, 14 Maret 2013



Tahun 1317, ketika Prancis masih bergumul dengan peraturan yang melawan perempuan naik singgasana, seorang perempuan Majapahit bernama Tribuanatunggadewi berhasil naik takhta. Dia melahirkan seorang putra Majapahit bernama Hayam Wuruk. Kelak putra Ratu Tribuanatunggadewi itulah yang menjadi raja yang membawa ke era cemerlang Majapahit. Dikisahkan, Ratu Tribuanatunggadewi memiliki jasa yang besar dalam menyusun balok demi balok kekuasaan Majapahit dan mendidik Hayam Wuruk supaya menjadi seorang pemimpin besar.

Sejarah pernah mencatat bahwa sebelum ada konvensi hak tentang perempuan, gerakan feminis seluruh dunia, atau hari perempuan dunia, tanah Nusantara ini pernah memiliki seorang pemimpin sekaligus tokoh politik perempuan. Waktu terus berjalan. Muncullah Cut Nyak Dien, Laksamana Keumalahayati, hingga Presiden Megawati menjadi tokoh politik perempuan yang cukup populer. 

Kini ada amanat pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang kuota perempuan dan keterwakilannya dalam parlemen. Disebutkan bahwa setiap parpol dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten atau kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Amanat itulah yang disebut ''kuota 30 persen perempuan''. Ada jatah perempuan dalam politik agar menghasilkan kebijakan yang mewakili perempuan. 

Amanat itu setidaknya membawa angin segar bagi perempuan untuk mengaktualisasikan diri dalam koridor-koridor politik. Namun, tampaknya, banyak partai politik kelimpungan merekrut figur-figur perempuan yang dianggap berkualitas. Ada yang secara instan beralih ke banyak sekali figur publik seperti artis untuk memenuhi kuota. 

Muncul pertanyaan kritis: siapkah para perempuan memenuhi kuota? Apakah kuota menjamin suara perempuan dalam parlemen? Jangan-jangan para perempuan ini hanya menjadi pemanis, hiasan, dan pajangan dalam ruang tamu parlemen yang bila dihilangkan pun tidak akan menjadi persoalan besar.

Bagi seorang warga sipil seperti saya, keterwakilan para politikus perempuan itu sangat krusial untuk melahirkan berbagai kebijakan yang menyuarakan hak-hak perempuan. Suara politisi perempuan seharusnya lantang, ala Sembodro dalam wayang, yang suaranya sangat lirih kemayu. Kuota 30 persen tersebut layak dirayakan dengan menghasilkan kebijakan perundangan yang juga memperhatikan hak-hak perempuan. 

Lihat saja. Untuk perundangan yang menjamin urusan biologis perempuan, seperti ruang layak untuk ibu menyusui (nursery room) di muka umum, negara ini belum mampu menyediakan secara penuh. Walaupun hal itu telah diamanatkan dalam pasal 128 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa pemerintah layaknya mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus baik dalam tempat bekerja maupun fasilitas umum. 

Walau menyusui tampak bukan sebagai urusan besar dalam bidang perpolitikan, hak perempuan itu sangat strategis untuk diperjuangkan. Urusan menyusui atau nyusu atau nyusoni tersebut sangat penting. Bukan hanya bagi para perempuan, juga bagi kesehatan para generasi kelak, generasi yang ingin melahirkan ''Hayam Wuruk'' baru. 

Referensi sejarah besar lain, urusan nyusu itu bahkan tak terpisahkan dari catatan sejarah awal kelahiran nabi bernama Muhammad SAW. Semasa kecil, para perempuan yang memberikan limpahan air susunya kepada bayi Muhammad, mulai Aminah Az-Zurriyah hingga Halimah Sa'diyah. Kini urusan susu-menyusui mungkin hanya akan diulas dalam cerita majalah ibu hamil saja, dan tidak akan diulas panjang lebar layaknya kasus korupsi.

Kepekaan Djamila 

Sedikit cerita mengenai adanya sebuah ruang menyusui di Terminal Tirtonadi di Kota Solo. Ruang menyusui itu merupakan ruang menyusui pertama di terminal yang ada di Indonesia. Ide ruang menyusui ataunursery room tersebut diprakarsai oleh perempuan yang menjabat kepala UPT Terminal Tirtonadi, yakni Djamila. Dalam wawancara dengan sebuah media, kepala terminal itu prihatin melihat banyak pempuan yang harus menyusui bayinya di tengah hiruk pikuk maupun kepulan asap rokok dan juga asap kendaraan bus terminal.

Suara Djamila akhirnya direalisasikan dalam bentuk ruang menyusui bagi para ibu yang awalnya hanya alih fungsi ruangan. Pada Maret 2011, ruang menyusui tersebut di resmikan, ratusan ibu dan bayinya mendapat manfaat. Ada sebuah buku tamu dan kesan pesan disediakan di sana. Salah satu di antaranya ditulis dalam bahasa Jawa. ''Dalem ngaturaken maturnuwun taksih wonten priyayi pengageng purun tanggap kagem kawula alit bab ibu menyusui'' (Saya mengucapkan terima kasih masih ada pembesar yang perhatian terhadap orang kecil terkait ibu menyusui). 

Pesan itulah yang mewakili salah satu respons warga sipil bila haknya dipenuhi oleh suara perempuan. Saat ini walaupun belum seluruh terminal maupun fasilitas umum milik pemerintah memiliki ruang menyusui, beberapa terminal mulai berbenah. Seperti Terminal Purabaya di Jawa Timur maupun terminal Lebak Bulus yang mempertahankan ruang menyusui sejak Lebaran pada 2012.

Kisah Djamila dan ruang menyusui mungkin hanya contoh kecil peran perempuan dalam ranah publik. Walaupun kisah ini belum sebesar Rosa Parks ''ibu gerakan hak sipil Amerika'' yang menyuarakan hak sipil pada era 1950-an dengan tidak mau berdiri dari bangku ''bus kulit putih''. Kisah Djamila ini dapat menjadi contoh bahwa perempuan juga punya suara untuk publik. Suara itu jangan hanya bergema saat selebrasi setiap 8 Maret sebagai Hari Perempuan Sedunia, namun setiap hari. 

Bila para perempuan yang duduk di parlemen sana melakukan sesuatu untuk rakyatnya, ''menyusui'' bangsanya dengan ide yang hebat, keterwakilan perempuan dan kuota dalam parlemen tidak hanya menjadi pajangan semata. Silakan para perempuan memasuki parlemen dengan niat demi mewarnai negara ini agar kebijakannya ''lebih perempuan''. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar