Pertengahan Februari lalu sebuah dokumen
yang diduga sebagai surat perintah penyidikan (sprindik) milik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) bocor ke publik. Dalam sprindik yang beredar
tersebut tertera nama Anas Urbaningrum dengan status sebagai tersangka
kasus korupsi proyek pembangunan Sport
Center Hambalang, Bogor, Jawa Barat.
Kebocoran draf
sprindik tersebut menjadi catatan hitam bagi KPK sebab untuk pertama
kalinya dokumen resmi KPK bocor dan beredar luas. Terlebih, kebocoran
sprindik itu seolah menegaskan ada kongkalikong oknum di dalam KPK dengan
pihak lain (mungkin jurnalis, politisi, atau pejabat negara) untuk
membocorkan informasi-informasi yang selayaknya belum menjadi konsumsi
publik.
Aroma politik
memang tercium pekat dalam kasus Hambalang ini. Melalui juru bicaranya,
Johan Budi, KPK tegas membantah. Johan menyatakan, dokumen tersebut
bukanlah sprindik yang dikeluarkan secara resmi oleh KPK. Johan mengakui
dokumen yang beredar tersebut memang benar dari KPK, tapi itu bukan
sprindik. Dokumenyangberedar tersebut baru draf persetujuan. Menurut Johan,
sprindik KPK ditandatangani seorang pimpinan KPK, bukan tiga atau lima
pimpinan, dan harus ada nomornya. ***
Untuk mengusut
peredaran dokumen tersebut dan menyelidiki pembocornya, KPK membentuk
Komite Etik. Saat ini Komite Etik tengah bekerja dengan memeriksa
orangorang yang diduga mengetahui kebocoran dokumen tersebut. Pertanyaannya
kemudian, adakah pelanggaran hukum dalam kebocoran dokumen resmi tersebut?
Lantas, apakah pelaku dapat diproses secara hukum?
Dalam KUHAP,
penyelidikan merupakan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu dapat mengungkap sebuah tindak
pidana dan menemukan tersangkanya.
Setelah selesai
melakukan penyelidikan dan sebelum dimulainya penyidikan, akan dibuat
berita acara penyelidikan dan surat perintah untuk dimulainya penyidikan
(sprindik) kepada penyidik kasus pidana tersebut. Karena telah melalui
penyelidikan yang mendalam, di dalam sprindik tersebut disebut nama
tersangka dan pasal-pasal tentang tindak pidana yang terjadi atau diduga
dilakukan.
Sebagai hasil
kerja penyelidikan yang bersifat tertutup, draf sprindik adalah dokumen
yang masih bersifat rahasia dan belum untuk konsumsi publik. Sifat rahasia
itu tidak berlaku ketika draf disetujui dan ditandatangani. Ketika masih
berupa draf— rahasia dan tertutup—kemudian bocor ke publik tentu saja telah
terjadi pelanggaran hukum.
Berdasarkan UU
No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, bagian V tentang Informasi
Yang Di kecualikan, Pasal 17 menyatakan: “Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon
Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali: (a) Informasi
Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat
menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat: (1)
menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana.”
Secara tegas UU
Keterbukaan Informasi Publik ini juga memberi sanksi kepada setiap orang
yang melakukan pelanggaran Pasal 17 huruf a angka 1 di atas. Sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 54, sanksinya adalah pidana penjara paling
lama dua tahun dan denda paling banyak sepuluh juta rupiah.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 17 huruf a angka 1 dan Pasal 54 UU Keterbukaan Informasi
Publik di atas, dapat disimpulkan bahwa kebocoran draf sprindik merupakan
perbuatan melawan hukum. Pelakunya, siapa pun itu, dapat diproses secara
hukum dan dikenai sanksi pidana. Namun, meski merupakan pelanggaran hukum
dan dapat dikenai sanksi pidana, proses hukum terhadap pelaku hanya dapat
dilakukan setelah ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan.
Penegak hukum
dalam hal ini kepolisian tidak bisa secara serta-merta melakukan
pengusutan. Hal ini karena menurut Pasal 57 UU Keterbukaan Informasi
Publik, tuntutan pidana berdasarkan UU ini delik aduan dan diajukan melalui
peradilan umum. Selain UU Keterbukaan Informasi Publik di atas, Pasal 112
KUHP juga telah mengatur larangan dan sanksi bagi siapa pun yang
membocorkan draf sprindik tersebut.
Pasal 112 KUHP
menyatakan, “Barang siapa dengan
sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keterangan-keterangan
yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara, atau
dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Berdasarkan
ketentuanketentuan di atas, kebocoran draf sprindik KPK yang menyebut-nyebut
Anas Urbaningrum dengan status sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek
Hambalang adalah pelanggaran hukum dan dapat diproses secara hukum pula.
Proses hukum atas pelanggaran ini mensyaratkan ada laporan dari pihak yang
telah dirugikan.
Karena itu,
selain membentuk Komite Etik untuk mengungkap pembocor draf sprindik
tersebut, KPK atau pihak yang dirugikan juga dapat memproses hukum kasus
tersebut dengan melapor ke polisi. Pembocor sprindik itu mestinya diadili
dan dikenai sanksi pidana agar peristiwa serupa tidak terulang dan
membersihkan KPK dari politisasi perkara oleh oknum-oknum di dalamnya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar