Kamis, 14 Maret 2013

Pidana untuk Pembocor Sprindik Anas


Pidana untuk Pembocor Sprindik Anas
Asmar Oemar Saleh ;  Advokat
SINDO, 14 Maret 2013


Pertengahan Februari lalu sebuah dokumen yang diduga sebagai surat perintah penyidikan (sprindik) milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bocor ke publik. Dalam sprindik yang beredar tersebut tertera nama Anas Urbaningrum dengan status sebagai tersangka kasus korupsi proyek pembangunan Sport Center Hambalang, Bogor, Jawa Barat. 

Kebocoran draf sprindik tersebut menjadi catatan hitam bagi KPK sebab untuk pertama kalinya dokumen resmi KPK bocor dan beredar luas. Terlebih, kebocoran sprindik itu seolah menegaskan ada kongkalikong oknum di dalam KPK dengan pihak lain (mungkin jurnalis, politisi, atau pejabat negara) untuk membocorkan informasi-informasi yang selayaknya belum menjadi konsumsi publik. 

Aroma politik memang tercium pekat dalam kasus Hambalang ini. Melalui juru bicaranya, Johan Budi, KPK tegas membantah. Johan menyatakan, dokumen tersebut bukanlah sprindik yang dikeluarkan secara resmi oleh KPK. Johan mengakui dokumen yang beredar tersebut memang benar dari KPK, tapi itu bukan sprindik. Dokumenyangberedar tersebut baru draf persetujuan. Menurut Johan, sprindik KPK ditandatangani seorang pimpinan KPK, bukan tiga atau lima pimpinan, dan harus ada nomornya. *** 

Untuk mengusut peredaran dokumen tersebut dan menyelidiki pembocornya, KPK membentuk Komite Etik. Saat ini Komite Etik tengah bekerja dengan memeriksa orangorang yang diduga mengetahui kebocoran dokumen tersebut. Pertanyaannya kemudian, adakah pelanggaran hukum dalam kebocoran dokumen resmi tersebut? Lantas, apakah pelaku dapat diproses secara hukum? 

Dalam KUHAP, penyelidikan merupakan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu dapat mengungkap sebuah tindak pidana dan menemukan tersangkanya. 

Setelah selesai melakukan penyelidikan dan sebelum dimulainya penyidikan, akan dibuat berita acara penyelidikan dan surat perintah untuk dimulainya penyidikan (sprindik) kepada penyidik kasus pidana tersebut. Karena telah melalui penyelidikan yang mendalam, di dalam sprindik tersebut disebut nama tersangka dan pasal-pasal tentang tindak pidana yang terjadi atau diduga dilakukan. 

Sebagai hasil kerja penyelidikan yang bersifat tertutup, draf sprindik adalah dokumen yang masih bersifat rahasia dan belum untuk konsumsi publik. Sifat rahasia itu tidak berlaku ketika draf disetujui dan ditandatangani. Ketika masih berupa draf— rahasia dan tertutup—kemudian bocor ke publik tentu saja telah terjadi pelanggaran hukum. 

Berdasarkan UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, bagian V tentang Informasi Yang Di kecualikan, Pasal 17 menyatakan: “Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali: (a) Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat: (1) menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana.” 

Secara tegas UU Keterbukaan Informasi Publik ini juga memberi sanksi kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran Pasal 17 huruf a angka 1 di atas. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 54, sanksinya adalah pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak sepuluh juta rupiah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 17 huruf a angka 1 dan Pasal 54 UU Keterbukaan Informasi Publik di atas, dapat disimpulkan bahwa kebocoran draf sprindik merupakan perbuatan melawan hukum. Pelakunya, siapa pun itu, dapat diproses secara hukum dan dikenai sanksi pidana. Namun, meski merupakan pelanggaran hukum dan dapat dikenai sanksi pidana, proses hukum terhadap pelaku hanya dapat dilakukan setelah ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. 

Penegak hukum dalam hal ini kepolisian tidak bisa secara serta-merta melakukan pengusutan. Hal ini karena menurut Pasal 57 UU Keterbukaan Informasi Publik, tuntutan pidana berdasarkan UU ini delik aduan dan diajukan melalui peradilan umum. Selain UU Keterbukaan Informasi Publik di atas, Pasal 112 KUHP juga telah mengatur larangan dan sanksi bagi siapa pun yang membocorkan draf sprindik tersebut. 

Pasal 112 KUHP menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keterangan-keterangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara, atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.” 

Berdasarkan ketentuanketentuan di atas, kebocoran draf sprindik KPK yang menyebut-nyebut Anas Urbaningrum dengan status sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek Hambalang adalah pelanggaran hukum dan dapat diproses secara hukum pula. Proses hukum atas pelanggaran ini mensyaratkan ada laporan dari pihak yang telah dirugikan. 

Karena itu, selain membentuk Komite Etik untuk mengungkap pembocor draf sprindik tersebut, KPK atau pihak yang dirugikan juga dapat memproses hukum kasus tersebut dengan melapor ke polisi. Pembocor sprindik itu mestinya diadili dan dikenai sanksi pidana agar peristiwa serupa tidak terulang dan membersihkan KPK dari politisasi perkara oleh oknum-oknum di dalamnya. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar