Semakin kuat rakyat mendukung,
semakin besar pula hantaman badai menerpa Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Saat ini KPK lagi-lagi dihantam serangan balik. Bukan hanya dari
luar yang selama ini mampu diredam, tetapi juga dari internal KPK. Salah
satunya adalah bocornya dokumen surat perintah penyidikan (sprindik) Anas
Urbaningrum, yang kemudian pembocornya diarahkan pada salah seorang
pimpinan KPK. KPK pun membentuk Komite Etik yang akan melakukan
penyelidikan siapa sebenarnya yang membocorkan.
Ada kesan keutuhan dan
kolektif-kolegial pimpinan KPK yang selama ini begitu ampuh akan
diacak-acak dengan memanfaatkan bocornya dokumen sprindik sebagai pola baru
serangan balik. Indikasinya terbaca oleh adanya keinginan untuk menyudutkan
atau malah ingin menyingkirkan salah satu pimpinan KPK yang dikenal selalu
bergerak cepat tanpa pandang bulu. Kita berharap pengusutan dokumen
sprindik yang bocor tidak diboncengi kepentingan pragmatis internal
pimpinan KPK. Jika itu terjadi, para koruptor lah yang akan diuntungkan.
Secara etika, bocornya dokumen
sprindik patut disesalkan. Namun, jika memang terbukti pimpinan KPK
pembocornya, tentu layak dijatuhi sanksi etika. Dalam ketentuan sanksi di
Komite Etik KPK, jika terbukti pimpinan KPK ada yang melanggar kode etik,
akan dikeluarkan rekomendasi yang mengikat. Bentuknya berupa teguran lisan
bila masuk pelanggaran ringan, teguran tertulis untuk pelanggaran sedang,
dan pelanggaran berat akan diajurkan untuk mengundurkan diri. Jika
ditemukan unsur pidana akan diteruskan kepada aparat penegak hukum
(polisi). Komite Etik tidak punya wewenang untuk memberhentikan pimpinan
KPK.
Konstruksi hukum bocornya
dokumen sprindik masih bisa diperdebatkan, sebab belum diberi nomor, belum
ada tanggalnya sehingga belum tergolong dokumen resmi yang bisa disebut
rahasia negara, meski asli milik KPK. Belum ada kerugian materil yang
ditimbulkannya, apalagi KPK betul-betul menetapkan Anas tersangka sesuai
isi dokumen sprindik. Dipercaya, penetapan Anas sebagai tersangka bukan
karena tekanan dan intervensi kekuasaan, apalagi sudah lebih dua tahun
kasus Hambalang diselidiki KPK.
Jika betul ada skenario
terselubung mendepak salah satu pimpinan KPK bersambut di Komite Etik,
berarti racikan serangan baru dari luar berhasil dan sudah pasti disambut
riang oleh para koruptor dan kroninya. Jika memang ada pimpinan yang
membocorkan sprindik, itu hanya keinginannya "mengadu ke publik" bahwa KPK serius mengusut kasus
Hambalang. Terlepas adanya pimpinan lain yang terkesan lamban mengapresiasi
temuan bukti minimal dari tim penyelidik.
Keutuhan pimpinan KPK harus
dijaga lantaran sepak terjangnya berhasil membuat banyak orang takut dan
gelisah. Bukan hanya sekelas walikota/ bupati, gubernur, anggota DPR dan
menteri, tetapi juga sampai kelas ketua umum dan presiden partai. Ketakutan
itu cukup beralasan karena KPK "jilid tiga" ini tidak memandang
apakah anggota DPR, menteri, atau ketua umum partai, semuanya dijadikan
tersangka jika betul-betul cukup bukti yang kuat. Masyarakat pun sangat
percaya bahwa kasus korupsi yang ditangani KPK akan berakhir di ruang
penjara.
KPK yang lahir dari rahim
reformasi bersama Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, tidak boleh
dibiarkan terombang-ambing oleh ulah dan skenario gelap dari luar. Namun,
KPK juga harus mampu menjaga kekompakan dan membayar lunas dukungan publik
dengan membongkar semua kasus kakap. Jangan sampai terjadi di antara
pimpinan KPK ada yang justru bertindak sebagai pelindung koruptor.
Negara Tanpa Rahasia
Di negeri yang penuh
persaingan politik, rahasia apa yang tidak bisa bocor? Seringnya sejumlah dokumen negara yang statusnya
rahasia (confidential) bocor ke
ruang publik, sudah bukan persoalan besar lagi. Sebelum sprindik KPK bocor,
publik juga dihebohkan dengan beredarnya Surat Pemberitahuan (SPT) pajak
penghasilan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan keluarganya di
media massa. Tentu saja Presiden SBY gerah, tetapi sampai saat ini tidak
terungkap jelas siapa pembocornya.
Berbagai macam spekulasi
mencuat ke ruang publik, mulai dari jumlah pajak penghasilan yang harus
dibayarkan Presiden SBY, sampai timbulnya kecurigaan terhadap tiga orang
yang dicurigai membocorkannya. Kemudian muncul kecurigaan lain soal dugaan
bocornya rencana "pencegahan keluar negeri" KPK terhadap salah
satu putra petinggi PKS. Sehari sebelum pencegahan terbit, yang terlanjur ke
luar negeri, padahal ia dicekal KPK terkait kasus impor daging sapi.
Seringnya upaya pencegahan ke
luar negeri oleh KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian tidak efektif karena
yang dicekal terlanjur kabur sebelum surat pencegahan diterbitkan. Masih
ingat saat Nazaruddin kabur ke Singapura sehari sebelum surat pencekalan
sampai ke Bea Cukai.
Saling tuding juga mencuat,
ada yang mencurigai pencekalan itu bocor dari pihak internal KPK atau
internal Kementerian Hukum dan HAM. Tetapi seperti lazimnya, kedua lembaga
itu seirama membantah telah terjadi kebocoran di lingkup internal mereka.
Berbagai pertanyaan muncul,
misalnya apakah pihak luar punya akses terhadap kedua lembaga itu sehingga
selalu terlambat pencegahan dilakukan? Jawabnya, tidak ada rahasia yang tidak bisa bocor di negeri ini, terutama berkaitan dengan korupsi. Para koruptor itu punya mekanisme kerja sistematis dan
saling membantu, bahkan berani membeli dengan harga mahal sebuah rahasia
yang bisa menyudutkan posisinya.
Karena itu, jangan berharap banyak soal bocor-membocorkan rahasia
itu bisa diusut tuntas. Itu, malah bisa
merisaukan jika diboncengi kepentingan tertentu seperti kasus bocornya
dokumen sprindik KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar