Setelah Car
Free Day, ada baiknya kota-kota besar Indonesia juga memberlakukan Silence Day. Orang Bali menyebutnya
Nyepi. Tujuannya adalah pembersihan diri, fisik, maupun spiritual. Bumi pun
ikut bernafas lega, alam semesta merayakan ketenangan.
Suara burung,
angin, dan air jauh lebih indah dari klakson sepeda motor dan cacian
pengemudinya. Televisi yang menyiarkan kegaduhan berhenti sejenak, juga
gosip-gosip yang meng-entertain
kesusahan orang lain. Banyak orang yang tak menyadari keluhan-keluhan dan
rasa bencinya telah memengaruhi perputaran hormon orang-orang lain.
Kegelisahan dan rasa iri begitu mudah diedarkan, dengan akun palsu yang
dibuat sendiri, gratis pula.
Tak banyak yang
menyadari bahwa energi negatif itu tak lepas dari hukum kekekalan energi,
terus menekan tiada henti. Beberapa kali saya berada di tengah-tengah
masyarakat Bali menikmati Hari Nyepi. Saya merasa tengah berdialog dengan
Tuhan dan penuh kedamaian. Esok paginya, udara jauh lebih bersih.
Oksigennya banyak dan segar sekali. Namun, seperti biasa, bagi orang kota
yang terperangkap dalam suasana itu, apakah karena pesawatnya tak bisa
terbang, atau tugas butuh waktu lebih lama berada dalam suasana itu, sudah
pasti menimbulkan kegalauan.
Bagi orang
kota, perubahan selalu disambut dengan kegaduhan dan perlawanan. Khususnya,
saat lampu di lorong-lorong hotel dipadamkan, diganti lilin-lilin kecil.
Sejumlah orang mengeluh. Beberapa orang yang ingin berlibur merasa telah
tertangkap dalam kesunyian. Mau pulang tidak bisa, jadi yang keluar hanya
keluhan. Namun, begitu selesai, merekalah yang pertama-tama menyebarkan
rasa bahagia. Setiap pengorbanan selalu ada imbalannya, demikian juga
setiap amarah ada karmanya.
Aura Negatif
Kerabat-kerabat
saya di Pulau Dewata sering mengucapkan kata “aura positip-aura negatip”.
Menurut sahabat-sahabat saya di Desa Kedewatan-Ubud, hampir setiap upacara,
umat Bali secara simbolik melakukan pembersihan diri, sekaligus menjinakkan
aura-aura negatif. Nafsu duniawi, angkara murka, semua yang jahat
dilambangkan dengan warna hitam dan wajah-wajah yang menakutkan.
Semua itu harus
dijinakkan. Di Jakarta kita menyebutnya setan atau iblis. Roh-roh jahat
pembawa penderitaan. Sedangkan yang baik-baik, suci, dilambangkan dengan
segala yang serbaputih dan berwajah ceria. Hitam dan putih selalu berjalan
beriringan. Tanpa ada hitam, tak ada keindahan putih. Bagi saya, sehari
saja orangorang kota berhenti beraktivitas dan menjalankan Silence Day,
manfaatnya akan banyak sekali. Apalagi bila Catur Brata juga dijalankan:
Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan.
Berhenti
menyalakan api (tidak mengobarkan hawa nafsu), berhenti kerja (fokus pada
Tuhan, menyucikan rohani), tidak bepergian (introspeksi diri, kontemplasi),
dan tidak mengobarkan hedonisme. Bayangkan, berapa ton karbon hitam yang
bisa kita hemat dan berapa juta ton dosa umat manusia, termasuk segala
sampahnya, bisa kita bersihkan. Kapitalisme hanya bisa berhenti kalau
semuanya berhenti konsumsi bersama-sama. Walau cuma sesaat.
Buat orang
desa, diam berarti emas. Tetapi, buat orang kota, bicara itu emas. Seorang
penyiar radio berkelakar, ”Saya
dibayar hanya kalau saya bawel.” Entah bicara positif, entah negatif.
Pokoknya bicara. Tetapi, bagi orang-orang yang mendengarkan, emas itu baru
berkilauan kalau banyak orang diam. Sesuatu yang berkilauan itu hanya
tampak dari aura-aura yang positif. Aura-aura positif dan negatif sama-sama
saling menularkan.
Orang tak
senang terhadap sesuatu hal akan didukung oleh orang-orang yang juga tidak
senang. Provokator pun laris manis, disambut umpatan- umpatan baru. Di
sosial media seorang yang menyebarkan kalimat-kalimat negatif jarang
dibantah. Yang ada hanya gulungan-gulungan aura negatif. Hanya orang yang
punya lentera jiwa yang terang yang berani mematahkan aura-aura negatif
itu. Kicauan negatif biasa dijawab dengan umpatan-umpatan yang lebih
negatif.
Seorang dokter
yang memasang foto kepala seekor anjing di Facebook-nya bisa-bisanya
mengeluarkan umpatan-umpatan liar sambil mengutip kalimat seorang imam
(yang juga beraura negatif). Ia seperti tengah melupakan profesinya.
Tetapi, begitu dikritik, ia dengan lantang menyebutkan, “Saya dokter di rumah sakit ‘X’.”
Indonesia yang Lebih Sejuk
Kalau orang
kota menjalankan Silence Day sehari saja, rasanya Indonesia akan lebih
sejuk. Polusi udara dan polusi pikiran akan membuat bangsa ini lebih sehat.
Toh, kita sudah lihat, orang-orang yang bersuara negatif ternyata
“penjahat” pula. Dulu kita pikir mereka hebat, pemberani, kritis, dan
jujur. Ternyata mereka menyimpan agenda-agenda terselubung. Menyerang untuk
bertahan.
Banyak
persoalan yang mereka sembunyikan. Begitu dibuka, marahnya minta ampun.
Bahkan bisa memerkarakan orang lain. Aura-aura negatif ini sudah terlalu
banyak ditabur dan memerangkap banyak orang. Kita pikir itu demokrasi,
padahal democrazy. Wartawan saja
bisa terkecoh karena mereka pandai membuat “framing”. Pandai menjerat tokoh-tokoh besar untuk meng-endorse langkah- langkah itu.
Kalau manusia
kota berhenti berbicara, berhenti menaburkan aura-aura negatif, manusia
introspektif akan terbentuk. Seperti kata Deepak Chopra. “Alam semesta saling berinteraksi,
pikiranmu adalah pikiran alam semesta, energimu adalah cerminan dan energi
alam semesta”. Alam semesta adalah representasi dari pikir manusia yang
tinggal di dalamnya, yang berinteraksi dengannya.
Jadi, orang
Jakarta, seperti juga Surabaya, Semarang, Solo, Yogya, Bandung, dan Serang,
dan kota-kota besar lainnya perlu membudayakan Silence Day cukup sehari saja setahun untuk menciptakan
kerukunan dan kebahagiaan. Semua berhenti, kecuali suara azan, lonceng
gereja, atau panggilan memuja Allah. Siapa mau memulainya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar