Duta Besar RI untuk Filipina Letjen Leo Lapoulisa baru bertugas
selama delapan bulan ketika tiba-tiba Pemerintah Filipina meminta agar
Pemerintah RI menarik kembali dubesnya tersebut.
Presiden Filipina Ferdinand E Marcos mengemukakan pernyataan persona
nongrata (rasa tidak senang dalam tradisi diplomatik) atas pernyataan Leo
Lapoulisa dalam surat kabar Bulletine Today Filipina, April 1982.
Leo Lapoulisa mengemukakan bahwa untuk memelihara persaudaraan dan
kekerabatan antarnegara ASEAN, kiranya Pemerintah Filipina melepaskan saja
klaimnya atas Sabah. Pernyataan Leo ini sungguh-sungguh membuat Marcos
marah dan saat itu juga Marcos meminta Departemen Luar Negeri Filipina
mengeluarkan surat pernyataan persona nongrata yang meminta Leo Lapoulisa
segera meninggalkan Filipina dalam waktu 1 x 24 jam. Demi persahabatan dan
hubungan baik dengan Filipina, Jakarta terpaksa menarik kembali Leo
Lapoulisa.
Filipina sesungguhnya sampai hari ini belum mengeluarkan pernyataan
resmi melepaskan klaimnya atas Sabah, suatu wilayah subur dan indah di
timur laut Kalimantan. Filipina beranggapan, wilayah itu adalah wilayah
nenek moyang mereka dan sudah ditempati turun-temurun Keluarga Sultan Sulu
hingga Pemerintahan Federal Kerajaan Malaysia mengusir mereka. Karena itu,
Filipina tidak akan melepaskan klaim yang berdasarkan sejarah tersebut
sampai sekarang sekalipun pemerintah Benigno Aquino III meminta para
penyusup bersenjata ke Sabah tersebut untuk menyerah.
Adalah sangat memprihatinkan sesungguhnya ketika Malaysia dengan
emosional melakukan pengepungan bersenjata untuk mengusir para penyusup
dengan paksa sehingga menewaskan 14 penyusup (Kompas, 2/3), disusul
penyerangan lima polisi Malaysia (Kompas, 4/2). Insiden ini sesungguhnya
memang cukup sulit penyelesaiannya karena sampai hari ini Filipina masih
mengklaim Sabah adalah wilayah integral mereka.
Malaysia tentu saja tidak akan meminta bantuan Filipina untuk
mendeportasi warga mereka. Bahkan, terkesan saran yang dilontarkan Presiden
Aquino III setengah hati, tidak menunjukkan gelagat diplomatik yang serius.
Negara-negara ASEAN lain juga tidak berani mengemukakan pernyataan
penyelesaian karena wilayah ini sungguh merupakan wilayah yang sangat
sensitif bagi kedua negara, bahkan wilayah panas bagi mereka berdua.
Batas Klaim Sejarah
Sebagai orang Maluku, kita tidak paham pernyataan yang dikemukakan
Leo Lapoulisa di Bulletine Today tersebut meskipun menyangkut klaim
unilateral yang dilakukan para raja atau dinasti berdasar klaim sejarah.
Apa yang diklaim Belanda ketika memegang koloni di Indonesia adalah
berdasarkan penetapan unilateral yang dilakukan raja-raja Nusantara.
Sebagai contoh, Belanda mengklaim wilayah Papua Barat karena hal itu
berdasarkan penetapan secara unilateral yang dilakukan Sultan Ternate.
Ketika Belanda datang sebagai penguasa koloni, ditetapkanlah seluruh
Kepulauan Maluku, termasuk wilayah Papua Barat, sebagai batas wilayah
kekuasaan Sultan Ternate. Sebagian wilayah itu sesungguhnya sudah dimasuki
Inggris dari timur (Papua Niugini) dan dari selatan (Australia), tetapi
Belanda tetap bertahan berdasarkan patok-patok yang ditetapkan Sultan
Ternate. Atas dasar itulah, Belanda dan Inggris melakukan perjanjian di Den
Haag dan menetapkan wilayah-wilayah batas yang mereka klaim masing-masing,
dan Belanda tetap mempertahankan semua batas-batas wilayah yang ditetapkan
Sultan Ternate secara unilateral.
Inggris mengakui klaim Belanda berdasar patok sejarah yang diletakkan
Sultan Ternate dan menarik seluruh wilayah koloninya di Papua Barat. Contoh
sama dilakukan klaim oleh unilateral yang dilakukan Sultan Bulungan di
Kalimantan yang dijadikan dasar pada Perjanjian London yang melahirkan
Konvensi London 1893 antara Belanda dan Inggris yang menjadi landasan
perbatasan Kalimantan sekarang.
Berdasar catatan Profesor Harry Roque dari Universitas Filipina
(Kompas, 5/3), pada tahun 1658 Sultan Brunei menghadiahkan wilayah Sabah ke
Sultan Sulu atas bantuan yang diberikan dalam melawan pemberontakan di
Brunei. Pada masa penjajahan Inggris tahun 1878, wilayah Sabah disewa
British North Borneo Company. Perusahaan ini membayar uang pajak senilai
1.600 dollar AS per tahun. Kontrak ini dipandang sebagai manifestasi
pengakuan Inggris atas wilayah Kesultanan Sulu di Sabah. Uniknya, kontrak
yang sama dibayarkan Malaysia ketika Inggris meninggalkan Sabah dan
menyerahkan wilayah konsesi tersebut kepada Malaysia. Sewa yang dibayarkan
Malaysia selama ini tetap dipandang sebagai manifestasi pengakuan Malaysia
atas wilayah Kesultanan Sulu di Sabah.
Gambaran apa yang tampak dari petikan di atas menandai sesungguhnya
bahwa penetapan batas negara berdasarkan sejarah (historical boundary)
telah menjadi hukum kebiasaan internasional (international customary law)
sebagai awal penetapan batas wilayah negara. Contoh kasus yang paling
populer kini adalah klaim China atas Laut China Selatan. China Menganggap
seluruh wilayah Laut China Selatan adalah wilayah milik Dinasti Ming di
bawah pemerintahan Kaisar Yung-lo (1473).
Ketika Yung-lo berkuasa, panglimanya yang bernama Cheng-ho membuat
peta pelayarannya selama 15 tahun dan membangun wilayah gugus kepulauan di
daerah selatan tersebut. Dalam peta yang dibuat Cheng-ho, wilayah-wilayah
seluruh gugus kepulauan di Laut China Selatan tersebut disebutnya sebagai
Nansha Chuntao. Meskipun demikian, penetapan berdasar sejarah memang sering
kali menimbulkan konflik yang berkepanjangan karena berbenturan dengan
penetapan wilayah berdasar prinsip keadilan hukum (median line atau
equidistance line).
Latar Sewa-Menyewa
Menarik dalam studi sejarah hukum ini (seperti dikutip Kompas, 4/3),
persoalan awalnya muncul ketika Inggris memerdekakan Malaysia tahun 1963
saat Sabah dinyatakan masuk wilayah Malaysia, secara sepihak Inggris
menginterpretasikan isi kontrak secara berbeda. Inggris menganggap uang
sewa yang dibayarkan untuk pengalihan hak milik yang seterusnya diwariskan
kepada Pemerintah Malaysia agar suatu saat diselesaikan hak kepemilikan itu
kepada Malaysia. Pihak Kesultanan Sulu menganggap uang itu tetap uang sewa
dan kepemilikan tetap ada pada Sultan Sulu. Itu sebabnya Prof Roque
berpendapat, ”Dalam opini saya, uang itu seharusnya memang tetap uang sewa
karena tidak ada penjualan yang harganya tidak tetap dan terus dibayar
sampai kiamat.”
Barangkali, berdasar pada interpretasi hukum yang berbeda tersebut,
Presiden Marcos sangat berkeras untuk mempertahankan wilayah Sabah sebagai
bagian integral dari Filipina. Adapun nuansa politik yang muncul akibat
Perjanjian Damai antara Pemerintah Filipina dan Kelompok MILF dengan
mengabaikan Kesultanan Sulu adalah persoalan lain. Uji materi dari Mahkamah
Internasional, sesungguhnya dalam menyelesaikan sengketa ini, tidak bisa
berdasar pada penguasaan efektif (effective occupation) semata seperti yang
mereka terapkan pada kasus Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia
karena bukti-bukti sewa-menyewa sampai hari ini masih berlangsung.
Analogi hukum yang sama sesungguhnya terjadi pada sewa-menyewa atas
wilayah Hongkong dan Makau selama 100 tahun oleh Inggris atas China, 28
Maret 1897 di Peiping (Bejing sekarang) dan sewa-menyewa pangkalan militer
antara Filipina dan Amerika Serikat di Subic Bay dan Clark Field selama 32
tahun, 14 Maret 1947-14 Maret 1990.
Setelah berakhirnya Perang Candu (opium war) 1895, ditandatangani
perjanjian penyewaan Hongkong oleh Kaisar Dinasti Manchu, I Kuang Ching, 28
Maret 1897, dengan utusan Ratu Victoria dari Inggris, Lord Berersford. Pada
waktu bersamaan, Pulau Makau disewakan kepada Portugis oleh raja yang sama
dengan tenggang waktu sama, 100 tahun. Tiga pergolakan politik di China,
Revolusi Republik Nasionalis Oktober 1911, dan Revolusi Komunis 1949 tidak
membatalkan sewa-menyewa tersebut.
Inggris tetap mengakui status Hongkong sebagai wilayah China sampai
dikembalikan tahun 1997. Sementara penyewaan pangkalan militer AS di Subic
Bay dan Clark Field ditandatangani pada 21 Januari 1948 di bawah
pemerintahan Presiden Manuel V Roxas dan Dubes AS untuk Filipina Paul V Me
Nutt sebagai wakil Pemerintah AS. Perjanjian itu tenggang waktunya 42
tahun. Di zaman Presiden Filipina Corazon Corry Aquino (ibunda Presiden
Aquino III sekarang) berkuasa, AS meminta perpanjangan sewa pangkalan
militer mereka, tetapi ditolak Corry sehingga militer AS angkat kaki dari
Filipina.
Perjanjian penyewaan Hongkong-Makau dan Subic Bay-Clark Field jelas
statusnya. Bagaimana dengan Sabah yang sampai hari ini Malaysia masih
membayar uang sewa terhadap Kesultanan Sulu? Jika berdasar pada patron
sewa-menyewa itu, bagaimana status hukum wilayah itu kemudian dalam
pengujian Mahkamah, baik Mahkamah Internasional maupun Mahkamah Arbitrasi?
Agak sayang memang karena Benigno Aquino III tak setegas Marcos menghadapi
tuntutan Sabah atas Malaysia.
Aquino III agaknya lebih banyak ditaktiki Malaysia yang memang sangat
terkenal gigih dan kuat dalam soal klaim-klaim wilayah. Indonesia saja
sudah kalah satu kosong atas sengketa Sipadan-Ligitan, berikutnya mengancam
sengketa Blok Ambalat di Laut Sulawesi. Atau, barangkali memang sudah ada
niat dari Aquino III untuk menyerahkan Sabah kepada Malaysia demi
solidaritas dan persaudaraan ASEAN? Kita Tunggu ! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar