Selamatkan Pasal
33 UUD 45
Sri-Edi Swasono ; Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 23 Agustus 2012
Lebih spesifik, pada pidato di HIPKI Sumatera
Barat 18 April 1979 Bung Hatta menegaskan “…keputusan-keputusan
ekonomi untuk rakyat banyak sesuai cita-cita UUD 1945 tidak berdasarkan
mekanisme pasar seperti pada ekonomi liberal…” UU Migas yang dibela
Radjagukguk jelas liberalistik mengacu pada mekanisme pasar.
Kemudian dalam Pidato pada Kongres Ikatan
Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) 15 Juni 1979, Bung Hatta menegaskan pula:
“…pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang besar-besar seperti
membangun tenaga listrik, penyediaan air minum, menggali saluran pengairan,
membuat jalan perhubungan guna lancarnya jalan ekonomi, menyelenggarakan
berbagai macam produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak – apa yang
disebut dalam bahasa Inggris public-utilities,
diusahakan oleh pemerintah.
Tetapi, pemimpin perusahaan diberikan kepada
tenaga yang cakap… apabila tidak terdapat atau belum terdapat di antara bangsa
sendiri, disewa manajemen asing, dengan syarat bahwa selama ia memimpin
perusahaan negara, ia mendidik gantinya dari orang Indonesia sendiri… Di mana
perlu orang asing dan kapital asing diikutsertakan… di bawah penilikan
pemerintah dan dalam bidang dan syarat yang ditentukan pula oleh pemerintah”.
Jelas peranan pemerintah adalah untuk
menyelamatkan kepentingan rakyat dan negara, “cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara” dan yang “menguasai” hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara dan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
“dikuasai oleh negara” untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Demikianlah perekonomian imperatif harus
“disusun” (Ayat 1 Pasal 33), tidak dibiarkan tersusun sendiri sesuai dengan
selera dan kehendak pasar bebas. Ini pun sekarang sesuai dengan kehendak zaman
kontemporer yang menghendaki the end of
laissez-faire, perlu berakhirnya pasar bebas (Polanyi, Baran, Galbraith, J
Robinson, Tinbergen, Kaldor, Myrdal, Singer, Seers, Sen, Streeten, Kuttner,
Giddens, Etzioni, Akerlof, JW Smith, Williams, Stiglitz, dst).
Mohammad Hatta memang bukan
seorang yang antiasing, tidak pula antimodal asing, tetapi itu bukan berarti
pandangan Hatta yang dikutipnya itu terlepas dari cita-cita nasional, yaitu
bahwa investasi asing maupun pinjaman luar negeri harus mampu meningkatkan
kemandirian nasional.
Tentang Ayat 2 Pasal 33 UUD 1945
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara”. Penjelasan dari Bung Hatta bahwa
“menguasai” tidak harus menjadi “ondernemer”,
sama sekali tidak berarti untuk mengingkari Doktrin Demokrasi Ekonomi”.
The
global rule of the game yang berlaku adalah bahwa “menguasai”
haruslah dengan “memiliki”. Subject
matter Pasal 33 adalah “menguasai”, apabila penguasaan tidak bisa dilakukan
tanpa pemilikan, maka haruslah pemerintah “memilikinya”, minimal 51 persen ke
arah indonesianisasi demi menyelamatkan kepentingan dan kedaulatan negara.
Yang “vital-strategis” harus dimiliki
sepenuhnya oleh negara. Lebih tegas lagi, baik Bung Hatta atau Bung Karno sudah
menggariskan bahwa investasi asing dan investor asing tidak boleh mempredominasi
(beheersen) ataupun mendominasi (overheersen) ekonomi nasional kita.
Mengenai open
door policy dalam pelaksanaan Undang-Undang Penanaman Modal Asing No 1 1967
telah dikritik oleh Bung Hatta pada rapat Panitia Lima 11 Maret. (1)
ekonom-ekonom Bappenas didikan Amerika hanya mau mengekor ekonom-ekonom
Amerika; (2) mengapa konsesi-konsesi antara lain hutan tanpa batas; (3) mengapa
pabrik baja dan semen diserahkan kepada swasta; (4) mengapa pabrik pupuk mau
dibatasi untuk menguntungkan importir; (5) mengapa DPR lumpuh kurang tanggap
menjaga soal pajak dan perjanjian-perjanjian dengan swasta asing untuk bidang
“vital-strategis”.
Kemudian di dalam Seminar Penjabaran Pasal 33
pada 6-7 Oktober 1977 Bung Hatta mengakhiri
pidatonya dengan kata-kata: “…Pada masa yang akhir
ini negara kita masih berdasar Pancasila dan UUD 1945, tetapi politik
perekonomian negara di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang, sering kali
liberalisme dipakai jadi pedoman. Berbagai barang yang penting bagi penghidupan
rakyat tidak menjadi monopoli pemerintah, tetapi dimonopoli orang-orang China…”
Mengapa Undang-Undang No 1/1967
diteken Presiden Soekarno padahal Bung Karno baru bilang “go to hell with your aid” dan keluar dari keanggotaan PBB?
Barangkali Presiden Soekarno mencoba realistis.
Toh Pasal 4, 5 dan 6 dalam undang-undang itu
masih menegaskan bidang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak (Pasal 33) yang secara eksplisit dinyatakan tertutup bagi modal asing,
meliputi pelabuhan, produksi, transmisi dan distribusi listrik untuk umum,
telekomunikasi, pelayaran, air minum, kereta api umum, tenaga atom dan media
massa. Inilah penolakan tegas terhadap neoliberalisme.
Ada pula “the
invisible hands” alias tangan-tangan yang tak tampak atau “tangan ajaib”,
jauh-jauh hari telah merencanakan mengubah Pasal 33 UUD 1945, bahkan dengan
kenekadan luar biasa berantisipasi dan yakin (self-fulfuling prophecy) bahwa Pasal 33 UUD 1945 pasti berhasil
mereka gusur.
Sejak tahap masih disusun
sebagai RUU Migas telah dipersiapkan jauh-jauh hari dan sudah mereka cantumkan
dalam konsiderannya, dan tertulis “Mengingat:
...Pasal 33 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah
dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945; …”.
Padahal, kita tahu bahwa Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945 telah gagal mereka
ubah, tetap utuh sebagai aslinya.
Ketika amendemen diputuskan dan menolak
perubahan antara lain berkat perjuangan mati-hidup saya dan kawan-kawan saat
itu selaku anggota MPR, mereka lupa menyesuaikan kembali konsideran yang penuh
kerakusan imajinasi dan mimpi. Akibatnya UU Migas konsiderannya tidak valid atau sepenuhnya keliru sebagai rechtsidee. Jadi, UU Migas secara
otomatis batal demi hukum.
Untuk jelasnya, Pasal 33 dan Hatta
mendudukkan rakyat pada posisi “sentral-substansial” dalam sistem ekonomi
Indonesia. Sebaiknya sistem ekonomi neoliberalisme (akibat hegemoni akademis
yang dipelihara di kampus-kampus kita) telah menempatkan peran kapital
mengungguli harkat manusia, mereduksi kedudukan rakyat menjadi "marginal-residual".
Itulah kapitalisme dan
neoliberalisme, manusia bebas tampil dalam bentuk rakus-materialistiknya, jauh
dari sosok homo-sosius, homo-humanus dan homo-religius. Pembangunan diwajarkan
menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar