Jumat, 24 Agustus 2012

Hakim, Monster atau Penegak Keadilan?


Hakim, Monster atau Penegak Keadilan?
Dominikus Dalu S ;  Senior Asisten Ombudsman pada Ombudsman RI
MEDIA INDONESIA, 23 Agustus 2012


PENANGKAPAN hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Jawa Tengah, Kartini Juliana Magdalena Marpaung dan rekannya, Heru Kusbandono, hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Pontianak, Kalimantan Barat, serta Sri Dartutik, seseorang yang diduga perantara dalam pemberian suap oleh KPK, sungguh sangat ironis. Peristiwa yang terjadi tepat setelah perayaan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 2012 di halaman Pengadilan Negeri (PN) Semarang itu menodai hari keramat bangsa ini oleh ulah hakim yang tidak bermoral. Ketiganya telah ditetapkan sebagai tersangka terkait dengan penanganan perkara tipikor dalam kasus pemeliharaan mobil dinas Sekretariat DPRD Grobogan, Jawa Tengah.

Adapun barang bukti antara lain dua buah mobil yang saat ini dititipkan di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah dan uang senilai Rp150 juta. Peristiwa penangkapan hakim nakal seperti yang terjadi di Semarang bukan hal baru karena setiap tahun, MA memberikan sanksi ringan sampai pemecatan puluhan hakim yang ketahuan menyalahgunakan jabatan.

Sebagai contoh, kasus delapan hakim nakal yang menjadi pemberitaan media nasional. Dwi Djanuwanto, hakim pada PN Yogyakarta, meminta disediakan penari telanjang oleh pengacara. Namun yang bersangkutan menolak mentah-mentah dan merasa difitnah.
Kemudian Dainuri, hakim Mahkamah Syariah Tapak Tuan, Aceh, ketahuan berbuat cabul dengan perempuan yang sedang beperkara dalam kasus perceraian. Syarifuddin, hakim PN Jakarta Pusat, tertangkap tangan oleh KPK menerima sejumlah uang dari kurator, Puguh Wirawan, bernilai ribuan dolar AS. Syarifuddin ditangkap KPK di rumahnya. Endratno Rajamai, hakim PN Serui yang ketahuan memeras Dewi Parasita sebanyak 66 kali dengan nilai sekitar Rp80 juta. Imas Dianasari, hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial PN Bandung, tertangkap tangan oleh KPK pada 30 Juni 2011 karena menerima sejumlah uang dari pihak beperkara sebanyak Rp200 juta.

Muhtadi Asnun, hakim PN Tangerang, telah divonis dua tahun penjara pada 9 Desember 2010. Asnun terbukti menyalahgunakan jabatan saat mengadili perkara Gayus Tambunan karena menerima sejumlah uang dari Gayus. Ibrahim, hakim PTUN Jakarta, dihukum tiga tahun penjara karena menerima imbalan Rp300 juta dalam perkara yang melibatkan pengusaha DL Sitorus.  Ardiansyah Famiahgus Djafar, hakim PN Bitung, dipecat karena menjadi calo calon pegawai negeri sipil (CPNS). Dia menerima uang dari Riza Rahmawati sebanyak Rp90 juta dengan janji bisa menjadikan Riza sebagai CPNS di lingkungan MA.

Dengan beragamnya praktik penyalahgunaan jabatan oleh hakim, publik mempertanyakan mekanisme rekrutmen, pembinaan, dan pengawasan dalam tubuh internal pengadil an (MA).

Profesi Mulia

Profesi hakim sejatinya sudah ada sejak awal peradaban manusia. Pada zaman Nabi Musa, para hakim dipilih di antara umat Israel (Keluaran 18: 25). Namun, Nabi Musa dengan bijaksana mempersilakan umatnya memilih langsung hakim bagi mereka (Ulangan 16: 18). Keputusan para hakim bersifat mutlak dan tidak boleh ditentang umat (Ulangan 17: 12). Karena itu, mereka pun dituntut menghakimi dengan adil (Keluaran 16: 19, 20).
Begitu pentingnya profesi hakim karena statusnya mulia di mata masyarakat dapat pula disimak dari hadis riwayat Amru bin Ashra. Ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang hakim memutuskan perkara dengan berijtihad, kemudian ia benar, ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila ia memutuskan perkara dengan berijtihad, lalu salah, ia memperoleh satu pahala.“

Salah seorang hakim terkenal dalam sejarah China adalah Bao Zheng. Ia merupakan hakim yang memutus perkara berdasarkan keadilan tanpa rasa takut. Ia juga bijaksana karena mampu membedakan mana yang benar dan salah. Siapa pun, walau termasuk kerabat dekat kaisar, harus dihukum bila terbukti bersalah melakukan pelanggaran. Kisah hidup Bao sebagai hakim menginspirasi para hakim sampai saat ini untuk sedapatnya berkarya seperti dia. Bagai mana dengan hakim di Indonesia? Pada saat ini terdapat lebih dari 9.000 orang yang berprofesi sebagai hakim, baik hakim karier maupun ad hoc pada semua lingkungan peradilan.

Di antara ribuan hakim tersebut, masih terdapat hakim nakal yang mempertaruhkan kehormatan untuk tujuan di luar sumpah jabatan dan kode etik hakim yang harus dijunjungnya. Walaupun, masih banyak pula hakim baik yang tetap hidup sederhana dengan menjaga keluhuran martabat mereka.

Hakim Berbudi Luhur

Beberapa persoalan harus segera dibenahi MA agar dapat meminimalkan ruang gerak hakim nakal. Pertama, sistem rekrutmen hakim (karier maupun nonkarier) yang lebih transparan dan akuntabel, mengingat sampai saat ini hal tersebut masih dilakukan MA.
Sistem seperti itu memberikan peluang penyalahgunaan atau KKN. Ke depan, perlu dirancang sistem rekrutmen yang melibatkan pihak independen seperti jasa konsultan. KPK sudah melakukan rekrutmen dengan menggandeng perusahaan multinasional yang memiliki kredibilitas sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Walaupun hasil akhir penentuan calon hakim tetap oleh MA, itu hendaknya melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya sehingga rekam jejak calon bersangkutan dapat diketahui secara jelas.

Kedua, membuka akses seluas-luasnya kepada Komisi Yudisial, KPK, Ombudsman, dan publik untuk membantu mengawasi sepak terjang para hakim. Hal itu sudah dilakukan seperti dalam penangkapan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang. MA sesungguhnya memberikan andil informasi kepada KPK karena rekam jejak hakim bersangkutan yang sering terlibat membebaskan terdakwa kasus korupsi. Hal itu menunjukkan iktikad baik MA untuk mengawasi hakim nakal.

Ketiga, membangun sistem whistleblower (peniup peluit) sebagai peringatan dini jika tercium penyimpangan oleh oknum hakim nakal dari dalam kalangan pengadilan sendiri. Itu hal yang sudah lumrah dipraktikkan pada semua instansi yang ingin perubahan dan perbaikan.

Keempat, sudah tidak pada tempatnya kebijakan `membuang' hakim bermasalah atau karena tidak disenangi ke daerah terpencil sebagai bentuk hukuman. Hal buruk peninggalan rezim Orde Baru itulah yang masih dipraktikkan berbagai instansi hingga sekarang. Bukankah daerah terpencil tersebut masih bagian dari wilayah NKRI yang berhak pula dilayani para hakim baik dan berkualitas dalam rangka memperoleh keadilan yang sama dengan daerah mana pun di Indonesia? Sudah sepatutnya hakim bermasalah diberi pembinaan, termasuk penerapan hukuman berlipat ganda dari hukuman yang berlaku pada penyelenggara negara umumnya, apalagi bila terlibat korupsi.

Kelima, perampingan beberapa pengadilan khusus seperti pengadilan tipikor, pengadilan TUN, PHI, pengadilan niaga di beberapa daerah agar mempermudah pengawasan. Misalnya, hanya dibentuk di kota besar atau kota tertentu secara regional yang merupakan gabungan dari beberapa provinsi karena letak geografisnya berdekatan.
Di samping itu, hal tersebut untuk menghindari hakim menganggur karena beberapa pengadilan tersebut tidak jarang hanya menangani tidak lebih dari 10 perkara per tahun. 

Akhirnya untuk semua penegak hukum, khususnya para hakim, agar mencamkan pendapat Geery Spence, seorang advokat senior Amerika Serikat, yang mengatakan, “Sebelum menjadi ahli hukum profesional termasuk menjadi hakim, jadilah manusia berbudi luhur (evolved person) terlebih dulu. Kalau tidak, hanya akan menjadi monster daripada malaikat penolong.“

Apakah para hakim kita akan menjadi malaikat penolong bagi negeri ini untuk menegakan keadilan atau menjadi monster? Jawabannya hanya pada para hakim itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar