Minggu, 17 Juli 2022

 

Inflasi Kronis

Anton Hendranata: Chief Economist PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Direktur Utama BRI Research Institute

KOMPAS, 15 Juli 2022

 

                                                

 

Dunia seakan tak pernah habis dirundung masalah dalam tiga tahun terakhir ini. Pandemi Covid-19 yang sangat parah pada 2020 menyebabkan resesi ekonomi di sebagian besar negara di dunia. Pandemi mengakibatkan rantai pasok/suplai global terganggu dalam tahap akut karena pembatasan ketat (lockdown) yang dilakukan hampir semua negara.

 

Tahun 2021, ketika perekonomian pulih dan keluar dari resesi, ternyata masih meninggalkan problema. Menggeliatnya perekonomian dan meningkatnya permintaan barang dan jasa tak diikuti pemulihan suplai atau produksi. Kondisi ini dipersulit lagi oleh transportasi laut, darat, dan udara yang belum beroperasi normal, jauh dari kata pulih. Akibatnya, arus barang dan jasa terhambat, biaya kargo melambung, waktu perjalanan dan bongkar muat barang memakan waktu lama.

 

Kondisi ini memicu melonjaknya harga pangan dan energi. Lonjakan harga energi dan pangan terus-menerus ini menyebabkan inflasi tinggi di banyak negara. Awalnya, inflasi tinggi ini diperkirakan bersifat sementara, tak permanen (transitory). Setelah beberapa bulan, kondisi diperkirakan kembali normal seperti era sebelum pandemi. Dunia bahkan sudah bersiap menyambut endemi.

 

Namun, perang Rusia-Ukraina membuyarkan semua itu. Perang yang berlangsung sejak Februari 2022 itu menghambat pemulihan ekonomi dan kian memicu inflasi supertinggi di banyak negara akibat terhentinya pasokan gandum serta minyak dan gas dari dua produsen dan eksportir utama dunia itu.

 

Jika kita bandingkan dengan 2018, harga energi dunia seperti minyak mentah Brent sudah naik 186 persen, gas alam naik 285 persen, dan batubara naik 385 persen. Untuk harga pangan, gandum naik 248 persen, kedelai 182 persen, dan kelapa sawit 273 persen. Bukan hanya harga energi dan pangan, harga logam juga ikut-ikutan naik signifikan. Baja naik 174 persen, bijih besi 203 persen, dan emas/ logam naik 141 persen.

 

Kenaikan harga kebutuhan dasar yang lebih dari 140 persen itu menyebabkan inflasi sudah pada tahap kronis dan abnormal. Inflasi AS dan banyak negara maju lainnya sudah menjurus ke tidak terkendali dan hiperinflasi. Inflasi AS secara tahunan tercatat 8,6 persen pada Mei 2022, padahal dalam kondisi normal hanya 1,5-2,5 persen. Inflasi yang melonjak hampir empat kali lipat dari kondisi normal ini sudah sangat mengganggu perekonomian AS.

 

Inflasi di Indonesia

 

Kondisi Uni Eropa (UE) tak kalah ekstrem, dengan inflasi tercatat 8,6 persen pada Juni 2022, jauh di atas kondisi normal yang berkisar 0,7-1,7 persen. Bahkan kenaikan di UE jauh lebih parah dibandingkan AS karena ketergantungan negara-negara di Eropa terhadap energi dan pangan dari Rusia.

 

Di Jepang, inflasi mencapai 2,5 persen pada Mei 2022, dari kondisi normal 0,2-0,8 persen. Inflasi Singapura juga melonjak ke 2,4 persen, dari normalnya 0,2-0,9 persen. Kondisi paling parah dialami Turki, dengan inflasi mencapai 73,5 persen pada Mei 2022.

 

Dunia dihadapkan pada era hiperinflasi, dengan inflasi sudah tahap kronis. Ada kekhawatiran perekonomian dunia mengalami stagflasi, yaitu resesi yang dibarengi inflasi tinggi.

 

Idealnya ketika perekonomian dunia sedang dalam tahap pemulihan setelah keluar dari resesi ekonomi 2020, inflasi akan naik secara gradual mengikuti kenaikan permintaan. Apa yang terjadi saat ini, di luar dugaan dan perekonomian dunia tampak tak siap menerimanya, termasuk negara maju.

 

Solusi dan kebijakan dalam mengatasi inflasi ini terlihat tidak pas dengan sumber masalahnya. Bank sentral di dunia, yang diinisiasi oleh AS, secara agresif dan masif menaikkan suku bunga acuannya. Suku bunga acuan The Fed naik dari 0,25 persen menjadi 0,50 persen pada Maret 2022, kemudian 1,00 persen (Mei 2022), dan 1,75 persen (Juni 2022). Suku bunga ini diperkirakan masih naik lagi ke 3,25 persen pada 2022. Ini kenaikan yang sangat cepat dan agresif, sekitar 3 persen dalam setahun.

 

Pemicu inflasi

 

Menurut Samuelson dan Nordhaus, ada dua penyebab timbulnya inflasi. Pertama, tarikan permintaan (demand-pull inflation). Kondisi ini terjadi saat permintaan agregat meningkat lebih cepat dibandingkan potensi produktif perekonomian (penawaran), mendorong harga barang dan jasa naik.

 

Hal ini biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di perekonomian sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan harga naik. Menghadapi situasi seperti ini, Bank Indonesia (BI) harus mengatur likuiditas ini secukupnya pada skala yang pantas untuk perekonomian. Kemampuan bank sentral diuji, bagaimana mengatur peredaran jumlah uang (money supply) seefisien mungkin dalam perekonomian sehingga tidak menimbulkan tekanan inflasi.

 

Adapun yang kedua adalah dorongan biaya (cost push inflation/supply shock inflation). Inflasi ini menyebabkan peningkatan biaya akibat kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada kenaikan signifikan.

 

Berkurangnya produksi bisa terjadi karena berbagai hal, seperti pandemi, perang, bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi, aksi spekulasi (penimbunan) sehingga memicu kelangkaan produksi/suplai di perekonomian. Inflasi ini berhubungan erat dengan distribusi, di mana faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting. Untuk inflasi yang disebabkan dorongan biaya, lembaga yang paling relevan mengatasinya adalah pemerintah karena pemerintah memiliki instrumen fiskal dan kebijakan di sektor riil.

 

Lonjakan inflasi yang kita rasakan saat ini sangat jelas penyebab utamanya adalah masalah gangguan rantai pasok akut, bukan karena lonjakan permintaan. Oleh karena itu, menjadi pemandangan yang janggal jika direspons dengan kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga acuan secara agresif di banyak negara maju.

 

Pada kuartal I-2022, perekonomian dunia cenderung melambat dari perkiraan sebelumnya karena diganggu lonjakan harga energi, pangan, dan logam dunia secara bersamaan. Jadi, agak kontradiktif dengan teori ekonomi, kebijakan menaikkan suku bunga acuan bank sentral secara agresif pada saat pertumbuhan ekonomi dunia sedang tertekan dan melemah. Bukankah seharusnya suku bunga acuan bank sentral dipertahankan serendah mungkin?

 

Menarik untuk disimak, apa yang dilakukan BI yang tak mengikuti kenaikan suku bunga acuan AS? BI seolah melawan arus kebijakan moneter dari sejumlah bank sentral. Saya termasuk yang pro-BI tidak terburu-buru dan reaktif menaikkan bunga acuan dan mempertahankannya di 3,50 persen pada Juni 2022, walaupun suku bunga acuan AS sudah naik 1,50 persen menjadi 1,75 persen.

 

Kalaupun BI harus menaikkan suku bunga acuannya, lebih dalam rangka menjaga stabilitas rupiah yang mulai tertekan saat ini, untuk mengurangi arus keluar modal asing dari perekonomian Indonesia.

 

Kita cukup beruntung, inflasi di Indonesia sangat rendah dibandingkan negara maju dan negara berkembang lainnya. Inflasi tahunan Indonesia tercatat 4,35 persen pada Juni 2022, jauh lebih rendah dari AS dan UE yang 8,6 persen. Inflasi intinya juga terjaga dengan baik sekitar 2,6 persen.

 

Inflasi yang mulai naik di Indonesia penyebab utamanya adalah masalah suplai, sedangkan peranan naiknya permintaan relatif kecil. Oleh karena itu, sangat tepat langkah pemerintah melalui instrumen APBN untuk mengurangi tekanan inflasi energi dengan menaikkan subsidi energi 48,8 persen dan subsidi BBM dan listrik 512,7 persen pada 2022.

 

Tingginya harga komoditas dan aktivitas ekonomi yang meningkat menyebabkan pendapatan negara naik 12,7 persen dan ini diharapkan jadi buffer kenaikan subsidi dan bansos untuk menjaga daya beli masyarakat. Masalah suplai karena gangguan rantai pasok harus disikapi dengan kebijakan pada sektor riil. Ketahanan pangan dan energi harus diperbaiki supaya Indonesia mampu menghadapi gejolak eksternal dan tidak perlu khawatir dengan ancaman inflasi kronis ke depan.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/14/inflasi-kronis

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar