Rabu, 13 Juli 2022

 

Ancaman Resesi Karena Surplus Perdagangan

Yopie Hidayat :   Reporter Majalah Tempo, Kontributor Tempo

MAJALAH TEMPO, 9 Juli 2022

 

 

                                                           

PASAR sedang menghadapi situasi muram. Inflasi yang melonjak tajam memaksa bank-bank sentral negara maju menaikkan bunga dengan agresif. Akibatnya, ekonomi global melambat, bahkan makin besar kemungkinan jatuh ke resesi. Ekonomi Indonesia sejauh ini memang masih aman. Namun ada dua risiko yang mengancam di tengah situasi karut-marut ini.

 

Yang pertama, kaburnya dana investasi portofolio asing dari Indonesia. Inilah salah satu penyebab kurs rupiah merosot. Jika terus berlanjut, merosotnya rupiah akan menambah inflasi karena naiknya harga barang-barang impor. Beban pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri, baik pemerintah maupun korporasi, akan melonjak. Kebutuhan dana untuk subsidi elpiji ataupun bahan bakar minyak juga akan menggelembung karena semua produk itu harus diimpor.

 

Modal asing kabur sejak awal masa pandemi, April 2020, dan masih merembes keluar belum berhenti. Dana asing yang paling banyak keluar terutama yang sebelumnya tertanam di obligasi pemerintah RI. Sepanjang Januari 2020-6 Juli 2022, Rp 318 triliun dana milik asing hengkang.

 

Selera investor global untuk menaruh dana di obligasi pemerintah negara-negara berkembang memang sedang merosot saat ini akibat kenaikan bunga. Sebelumnya, untuk mengatasi pandemi, banyak pemerintah negara berkembang mencari utang besar-besaran di pasar global karena bunga yang sangat murah. Sekarang, ketika bunga mulai naik dengan cepat, negara-negara berkembang makin sulit menjual obligasi di pasar internasional. Ongkosnya sudah terlalu mahal. Harga obligasi pemerintah negara berkembang berjatuhan.

 

Investor melihat fenomena ini sebagai risiko yang bisa mengancam keamanan uangnya. Ketimbang menanam uang ke obligasi pemerintah negara-negara berkembang, investor memilih jalan aman, memindahkan uangnya ke berbagai wahana investasi lain. Tren ini bisa jadi akan berlanjut lantaran kenaikan bunga di Amerika Serikat ataupun negara maju lain masih bakal terus berlangsung, bahkan lebih cepat. Kenaikan bunga itu seolah-olah menjadi magnet kuat pengisap dana asing.

 

Modal asing juga tengah terbang di pasar saham Indonesia. Angka penjualan bersih investor asing mencapai Rp 12,16 triliun dalam sebulan terakhir hingga 8 Juli 2022. Hengkangnya modal asing dari pasar saham berkaitan erat dengan risiko kedua yang juga mengancam Indonesia: turunnya harga berbagai komoditas ekspor Indonesia.

 

Penurunan harga komoditas jelas berpengaruh negatif pada kinerja berbagai perusahaan yang berbasis komoditas ataupun sektor-sektor lain pendukungnya. Hal ini menurunkan selera investor asing untuk menanamkan uang di bursa saham Indonesia yang ekonominya masih berbasis komoditas.

 

Di pasar komoditas selalu ada siklus yang berkaitan erat dengan keadaan ekonomi dunia. Jika ekonomi dunia bergairah, harga komoditas pasti turut melonjak-lonjak. Sebaliknya, ketika ekonomi melemah, harga komoditas akan menyesuaikan diri, ikut merendah. Begitulah situasinya. Ekonomi dunia yang kini di ambang resesi sudah mulai mendorong turun harga berbagai komoditas. Hanya harga energi seperti minyak, gas, dan batu bara yang masih tinggi gara-gara invasi Rusia ke Ukraina.

 

Sedangkan komoditas andalan ekspor Indonesia sudah mulai tertekan. Harga minyak sawit mentah, misalnya, merosot 32 persen dalam sebulan terakhir. Harga acuan nikel, yang juga penghasil devisa ekspor utama kita, melorot 16,5 persen sejak April lalu. Penurunan harga komoditas penghasil devisa pada gilirannya akan menggerus surplus neraca perdagangan Indonesia. Padahal surplus inilah yang membuat ekonomi Indonesia tetap baik-baik saja kendati ekonomi negara-negara lain di seluruh dunia mengalami kesulitan.

 

Ketika surplus perdagangan merosot atau hilang, sementara dana investasi asing terus terbang keluar, itulah pukulan ganda yang bisa membuat investor sempoyongan. Tak hanya merontokkan harga aset finansial, pukulan ganda seperti ini juga bisa memicu resesi dan membuat ekonomi secara keseluruhan ikut menderita. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/sinyal-pasar/166369/ancaman-resesi-karena-surplus-perdagangan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar