Strategi Pelita Air Setelah Garuda
Indonesia Beroperasi Kembali Aisha Shaidra : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 9
Juli
2022
PENGALAMAN pertama
menumpang pesawat Pelita Air Service agak merepotkan bagi Nashir Effendi.
Saat berangkat dari Jakarta ke Yogyakarta pada Rabu, 29 Juni lalu, pria 29
tahun itu sempat bingung ketika hendak check in secara online lewat telepon
seluler pintarnya. Tak seperti saat menggunakan maskapai penerbangan
langganannya, Nashir tak menemukan fasilitas online check-in di situs Pelita
Air. “Entah saya yang tak menemukannya di web atau memang belum tersedia,”
katanya kepada Tempo, Jumat, 8 Juli lalu. Walhasil, Nashir harus
check in manual di loket Pelita Air di bandar udara. Bukan cuma itu, Nashir
pun harus membayar lebih mahal karena pembelian tiket mepet dengan waktu
keberangkatan. Dia membandingkan, harga tiket kelas ekonomi yang ia beli saat
itu Rp 900 ribu, lebih mahal sekitar Rp 200 ribu ketimbang tiket maskapai
penerbangan lain. Meski begitu, Nashir cukup
puas karena penerbangannya tepat waktu dan Pelita Air menyediakan makanan
ringan dalam perjalanan. Hal lain yang membuat dia senang adalah Pelita Air
berangkat dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. “Yang
saya tahu, terminal itu hanya untuk pesawat full service dan penerbangan luar
negeri,” ujar Nashir, yang berstatus pekerja lepas. Konsumen berusia muda
seperti Nashir adalah target pasar Pelita Air, yang baru beroperasi sebagai
maskapai penerbangan berjadwal pada 28 April lalu. Kepada Tempo, Direktur
Utama Pelita Air Dendy Kurniawan mengatakan segmen yang disasar sebagai
konsumen loyal adalah masyarakat berusia 25-40 tahun. "Karakter mereka
unik, antara lain convenience seekers dan digital savvy," tutur Dendy
kepada Tempo, Kamis, 7 Juli lalu. Karakter konsumen yang
dimaksud Dendy adalah kalangan yang mengutamakan kenyamanan dan melek gaya
hidup digital. Menurut dia, segmen konsumen ini adalah “pesanan” Kementerian
Badan Usaha Milik Negara saat menugasi Pelita Air sebagai maskapai berjadwal
berbiaya rendah. Karena itu, Dendy menambahkan, timnya menyiapkan sejumlah
fasilitas, seperti layanan pemesanan tiket yang fleksibel dan hiburan yang
bisa dinikmati selama penerbangan. Sebelum menjadi maskapai
berjadwal, Pelita Air bermain di segmen penerbangan carter dan kargo. Sebagai
anak usaha PT Pertamina (Persero), Pelita juga melayani keperluan industri
minyak dan gas bumi. Semua berubah sejak
pertengahan tahun lalu, saat pemerintah berniat mengubah Pelita Air menjadi
maskapai penerbangan berjadwal sebagai penyangga operasi PT Garuda Indonesia
(Persero) yang ketika itu di ambang kebangkrutan. Operasi Garuda terganggu
karena menghadapi utang Rp 142 triliun dan gugatan penundaan kewajiban
pembayaran utang (PKPU). Bahkan sempat beredar
kabar bahwa pemerintah akan memposisikan Pelita Air sebagai pengganti Garuda.
Opsi ini berjalan jika Garuda gagal berdamai dengan para kreditor dan harus
dipailitkan. Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengakui hal
ini. "Pelita disiapkan bila PKPU Garuda tidak berhasil. Tapi Pelita juga
disiapkan untuk menangani kelas konsumen medium," ucapnya kepada Tempo,
Jumat, 8 Juli lalu. Skenario ini berubah
setelah Garuda lolos dari lubang jarum. Dalam sidang PKPU pada Senin, 27 Juni
lalu, Garuda menyepakati homologasi atau perdamaian dengan para kreditornya.
Walhasil, Garuda bakal beroperasi kembali dengan fokus rute domestik. Kini
Pelita Air melayani segmen medium service, kelas penerbangan di antara
low-cost carrier yang diisi Citilink dan full service yang dilayani Garuda.
“Pelita akan melayani kelas premium economy," kata Menteri BUMN Erick
Thohir, Jumat, 8 Juli lalu. ••• SEJAK diangkat menjadi
Direktur Utama Pelita Air pada 8 April lalu, Dendy Kurniawan mematangkan
sejumlah skenario dan model bisnis. Mantan Direktur Utama PT Indonesia
AirAsia ini menentukan rute-rute potensial hingga memetakan sumber daya
manusia. "Juga melakukan restrukturisasi internal, mana yang perlu kami
perkuat. Ini perlu komitmen dan dukungan dari pemegang saham," ujarnya. Pelita Air melayani
penerbangan Jakarta-Denpasar dan Jakarta-Yogyakarta sebagai rute perdana,
masing-masing satu kali penerbangan dalam sehari. Untuk mengarungi rute itu,
tutur Dendy, Pelita Air memiliki dua pesawat Airbus A320-200. Pada November
nanti, ada tambahan enam pesawat yang melayani sejumlah rute baru. Dendy
menargetkan tambahan 10 pesawat setiap tahun sehingga pada 2026 Pelita Air
memiliki 48-50 pesawat. Dendy mengatakan Bali dan
Yogyakarta menjadi rute pilihan saat Pelita Air beroperasi sebagai maskapai
penerbangan berjadwal. Pertimbangannnya, dua daerah itu adalah wilayah tujuan
wisata favorit. Pelita Air juga mulai melayani penerbangan berjadwal pada
libur Idul Fitri lalu, saat pemerintah memperlonggar izin perjalanan
antardaerah dan arus mudik. Pada momen itu pula Bali dan Yogyakarta menjadi
tujuan favorit konsumen penerbangan kelas medium. Hal lain yang disiapkan
Dendy adalah brand awareness. Maklum saja, selama ini orang Indonesia kadung
mengenal Pelita Air sebagai maskapai carter. Karena itu, dalam waktu dekat,
setelah mendapatkan tiga pesawat baru, Pelita Air bakal menambah dua rute
yang diminati konsumen muda. "Untuk branding,” ucapnya. Dendy mengaku meminta
waktu kepada Menteri BUMN Erick Thohir agar Pelita Air tidak langsung
berekspansi secara agresif. Sebab, dia menjelaskan, memimpin maskapai
penerbangan swasta berbeda dengan mengelola anak usaha BUMN seperti Pelita.
“Butuh waktu untuk menyiapkan fondasi agar kokoh, menambal bolong di
sana-sini.” Sebagai maskapai yang
melayani konsumen kelas medium, Pelita Air mendapat beban tertentu. Di tengah
persaingan ketat industri penerbangan, Dendy dituntut menyusun struktur biaya
penerbangan yang efisien agar bisa bersaing secara sehat dengan maskapai
lain. Dia memberi gambaran, struktur biaya Pelita Air harus condong ke
penerbangan murah alias LCC tapi dengan layanan mendekati full service. “Kami
pun tak bisa bersaing dengan cara banting harga,” katanya. Analis Jaringan
Penerbangan Indonesia, Gerry Soejatman, mengatakan masuknya Pelita Air di
segmen medium menjadi cara pemerintah untuk menghadirkan kompetisi
antar-BUMN. Dia menyamakan kondisi ini dengan kompetisi antar-bank pelat
merah. Pemerintah, Gerry melanjutkan, menghendaki maskapai penerbangan milik
negara bisa bertumbuh karena kompetisi yang sehat. "Termasuk untuk
berkompetisi dengan produk yang berbeda-beda," ujarnya. Sedangkan Erick Thohir
mengatakan Pelita Air sengaja dipasang di kelas medium agar tidak bersaing
dengan Garuda, yang saat ini sedang memulihkan operasi. Menurut dia, Pelita
Air menjadi bentuk intervensi pemerintah untuk mewujudkan keseimbangan di
industri penerbangan. "Pelita Air akan menambah kapasitas angkutan dan
memberikan lebih banyak pilihan kepada penumpang." Tahun depan, Pelita Air
bakal mengoperasikan 18 pesawat dengan lebih banyak rute. Lagi-lagi pemilihan
rute akan mempertimbangkan selera konsumen muda. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar