Rabu, 13 Juli 2022

 

Konservasi Jadi Dalih Tiket Naik Wisata Komodo

Dini Pramita :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 9 Juli 2022

 

 

                                                           

Tarif tiket sebesar Rp 3,75 juta per orang tersebut serupa dengan tiket terusan yang berlaku setahun penuh bagi wisatawan. Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, tiket itu merupakan biaya kontribusi konservasi dengan tujuan untuk pemeliharaan dan perlindungan satwa langka komodo. Juga untuk menekan jumlah wisatawan yang datang ke Taman Nasional Komodo. “Ini baru wacana. Sampai saat ini belum ada pembahasan di lintas kementerian atau lembaga,” kata Menteri Sandiaga, Senin, 4 Juli lalu.

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah mengumumkan pemberlakuan tiket terusan tersebut pada 1 Agustus 2022. Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT Zeth Sony Libing, pemberlakuan tersebut hanya untuk kawasan Pulau Komodo dan Pulau Padar. Sementara itu, Pulau Rinca dan lainnya lolos dari aturan tarif baru tersebut.

 

Menurut Yohanes, sekitar 80 persen dari komposisi pengunjung Taman Nasional Komodo adalah wisatawan lokal dan cenderung bergaya backpacker. Wisatawan dengan karakteristik tersebut enggan mengeluarkan biaya hingga Rp 3,75 juta hanya untuk masuk mengunjungi Taman Nasional Komodo. Tarif tersebut di luar biaya tur yang selama ini dibanderol Rp 300-500 ribu. “Bagi mereka sangat mahal,” tutur Yohanes.

 

Adelia Santoso, 38 tahun, adalah salah satu turis yang membatalkan kunjungan ke Pulau Komodo. Ia menghitung, untuk masuk pulau tersebut bersama dengan suami dan anaknya, ia harus menyiapkan duit sebesar Rp 11,25 juta hanya untuk tiket. “Itu di luar tiket pesawat, hotel, dan lain-lain,” tuturnya. “Lagi pula saya tidak merencanakan untuk datang ke sana setiap bulan selama setahun. Jadinya terasa mubazir,” ujarnya. Menurut dia, masih banyak destinasi wisata yang tak kalah indah dibanding Pulau Komodo dengan ongkos yang terjangkau.

 

Menurut Yohanes, justru tamu-tamu seperti Adelia inilah yang akan berdampak besar bagi masyarakat lokal yang menggantungkan penghidupan dari jasa wisata. “Mereka menghidupi warung makan kecil, bukan restoran mewah berkelas. Mereka juga belanja suvenir murah yang dibuat oleh ibu-ibu di Taman Nasional Komodo,” ucapnya. Adapun turis-turis berkocek tebal, kata Yohanes, cenderung menginap di hotel besar dan restoran mewah. Padahal, Yohanes menekankan, jumlah wisatawan elite tersebut ditemui satu-dua saja dalam setahun.

 

Alasan pemerintah menerapkan tarif tinggi itu adalah membatasi jumlah pengunjung demi menjaga daya dukung dan kelestarian komodo. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Senin, 27 Juni lalu, merilis kajian pembatasan jumlah pengunjung yang disebut demi kelestarian populasi komodo (Varanus komodoensis). “Perlu diatur jumlah maksimum yang dapat ditampung agar tidak berdampak pada kelestarian komodo,” kata Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong.

 

Untuk mengetahui batas maksimal pengunjung, Alue mengklaim Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK telah melakukan kajian daya dukung dan daya tampung wisata berbasis jasa ekosistem di Pulau Komodo dan Pulau Padar. Ia mengatakan hasil kajian merekomendasikan jumlah pengunjung ideal per tahun ke Pulau Komodo adalah 219 ribu wisatawan. Sementara itu, untuk Pulau Padar sebesar 39.420 wisatawan per tahun atau 100 orang per waktu kunjungan.

 

Alasan pemerintah menaikkan tarif masuk untuk membatasi jumlah pengunjung, menurut Yohanes, tak masuk akal. Sejak 1980-an hingga 2019, menurut Yohanes, jumlah wisatawan di Pulau Komodo belum pernah mencapai 200 ribu per tahun. Ia merujuk pada data Dinas Pariwisata Manggarai Barat pada 2019 yang mencatat 160-an ribu pengunjung. Pada 2022 ini, dia menjelaskan, jumlah pengunjung baru mencapai 60-an ribu. Padahal bulan panen pengunjung (Mei, Juni, Juli, dan Agustus) akan segera habis.

 

Kepala Balai Taman Nasional Komodo Lukita Awang Nistyantara dalam konferensi pers di KLHK pada Senin, 27 Juni lalu, mengatakan, berdasarkan penelitian, terjadi perubahan perilaku komodo di taman wisata. Awang mengatakan komodo di kawasan wisata cenderung lebih dekat dengan manusia sehingga menurunkan sisi keliaran mereka. Selain itu, bobot komodo di tempat wisata mencapai 100 kilogram, sedangkan yang di luar tempat wisata 80 kilogram. Hingga Jumat, 8 Juli lalu, Awang tak merespons pertanyaan dan permintaan konfirmasi Tempo.

 

Menurut Evodius, alasan tersebut terkesan mengada-ada. Ia mengatakan praktik wisata yang dilakukan selama ini telah menjaga prinsip kelestarian dan tak mengganggu komodo. “Orang melihat komodo yang di kolong dan bukan komodo liar. Tidak ada wisatawan yang berani menjamah atau memberi makan komodo liar. Konyol rasanya karena tour guide pun pasti akan menegur,” tuturnya.

 

Evodius mengatakan pembatasan demi konservasi dapat saja dilakukan, tapi tak harus dengan cara mematok tarif selangit. Toh, di Pulau Padar telah diterapkan kebijakan pembatasan hanya 100 orang per kunjungan. Menurut Evodius, kebijakan pembatasan yang telah dijalankan di Pulau Padar seharusnya dievaluasi dan dilihat efektivitasnya.

 

Sementara itu, Venansius Haryanto, peneliti dari Sunspirit for Justice and Peace, mengatakan kebijakan ini merupakan solusi palsu untuk konservasi dan akan memiliki dampak negatif terhadap usaha warga. “Kebijakan ini diambil secara mendadak, tak melibatkan warga dan pelaku usaha lokal, tak pernah ada sosialisasi,” kata Venansius. “Selain itu, tak ada tolok ukur dalam menetapkan tarif konservasi tersebut.”

 

Ia mengatakan kebijakan ini pun makin terlihat janggal ketika tarif dipatok setinggi-tingginya untuk membatasi kunjungan manusia. Di sisi lain, pembangunan skala besar yang justru mengancam ekologi dibiarkan. Ia merujuk pada izin pembangunan resor-resor mewah untuk PT Sagara Komodo Lestari, PT Komodo Wildlife Ecotourism, dan PT Synergindo Niagatama. “Meski izin dua perusahaan dievaluasi, tak ada jaminan dicabut, padahal sudah jelas ancamannya terhadap upaya konservasi.”

 

Kejanggalan lain adalah kajian yang sama justru merekomendasikan jumlah kunjungan di Pulau Padar dapat ditambahkan dua sampai dua setengah kali lipat dengan mempertimbangkan beberapa hal yang semuanya dikaitkan dengan pembangunan infrastruktur. “Kami melihat ini sebagai bentuk ironi yang mengatasnamakan konservasi,” katanya. Menurut Venansius, rencana ini hanya akan melanggengkan pengembangan wisata super-premium di dalam Taman Nasional Komodo.

 

Padahal, menurut dia, rencana ini mendapatkan teguran keras dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unesco). Unesco beralasan orientasi pembangunan wisata di kawasan Taman Nasional Komodo membahayakan nilai-nilai universal yang luar biasa dari habitat alami satwa. Unesco juga menyorot posisi masyarakat penghuni kawasan Taman Nasional Komodo yang tidak dianggap penting oleh pemerintah dalam upaya konservasi dan pariwisata. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/lingkungan/166372/konservasi-jadi-dalih-tiket-naik-wisata-komodo

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar