Senin, 23 Agustus 2021

 

Mempertahankan Status Warisan Dunia

Wihana Kirana Jaya ;  Guru Besar FEB UGM

KOMPAS, 21 Agustus 2021

 

 

                                                           

Program pembangunan kawasan strategis pariwisata nasional secara masif, khususnya pada kawasan superprioritas Borobudur dan Taman Nasional Komodo, memicu kemungkinan risiko terburuk, yakni dicabutnya status warisan dunia oleh UNESCO.

 

Komite Warisan/Pusaka Dunia (World Heritage Committee/WHC) pada masa sidang ke-44 di Fuzhou, China, 15-31 Juli 2021, telah mendesak pihak terkait (Pemerintah RI) untuk menunda seluruh proyek pembangunan di dalam dan di sekitar kawasan Candi Borobudur hingga selesainya revisi Heritage Impact Assessment, Management Plan for Borobudur Temple Compounds (MP), Integrated Tourism Management Plan of Borobudur-Yogyakarta-Prambanan (ITMP BYP), dan Borobudur Visitor Management Plan (BVMP).

 

Ada kemungkinan satu atau lebih usulan atau rencana proyek dihentikan sama sekali mengingat potensi dampak negatifnya terhadap keotentikan, integritas, dan nilai universal luar biasa (outstanding universal value/OUV) dari ”properti” tersebut.

 

Teguran WHC tersebut terkait dengan status Borobudur sebagai situs warisan budaya dunia berdasarkan ketetapan UNESCO tahun 1991. Bukan hanya Borobudur, rekomendasi/permintaan penghentian sementara proyek-proyek pembangunan kawasan wisata di dalam dan di sekitar situs warisan dunia juga mencakup kawasan TN Komodo, dan kawasan lanskap budaya Subak di Bali.

 

Dari perspektif teori property rights, adanya status warisan dunia pada properti publik warisan nenek moyang—baik kultural maupun natural seperti Borobudur dan TN Komodo—tidak membuat kita menjadi kehilangan hak untuk memanfaatkan properti tersebut sebagai kawasan wisata dan strategi pengembangan ekonomi dan hak untuk memperoleh pendapatan devisa dan pemasukan pariwisata dari properti itu.

 

Sebaliknya, status itu membuat kita justru kehilangan hak untuk menelantarkannya dan membuat kita berkewajiban untuk merawat dan melindungi, dengan atau tanpa bantuan UNESCO. Pembangunan di dalam dan di sekitar kawasan yang mengancam integritas properti warisan dunia akan berarti tindakan yang tidak melindungi, terlebih tanpa rekomendasi dari UNESCO.

 

Risiko pencabutan status

 

Komitmen kita terhadap pariwisata inklusif dan berkelanjutan serta Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), vis a vis realisasi program pembangunan kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) secara masif, sedang diuji dengan kemungkinan dicabutnya status Borobudur dan TN Komodo sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Padahal, justru status itulah yang menjadi raison d’etre dikembangkannya kawasan tersebut dan andalan untuk promosi.

 

Risiko pencabutan status warisan dunia sudah dialami Liverpool akibat pembangunan water front city yang menimbulkan ”irreversible loss of attibutes”, yakni dampak negatif terhadap keotentikan, integritas, dan OUV. Pembangunan water front city ini antara lain dilakukan dengan menghancurkan Bramley Moore Dock yang dibuka pada tahun 1848.

 

UNESCO menyematkan status warisan dunia pada Liverpool tahun 2004 karena peran kota pelabuhan ini dalam perdagangan dunia abad ke-18 dan ke-19.

 

Keunikan, pada satu sisi, menjadi prasyarat pengembangan pariwisata, terlebih properti berkelas dunia seperti Borobudur dan TN Komodo. Keunikan inilah yang dijual dan dipromosikan ke berbagai penjuru dunia sehingga turis mancanegara tertarik untuk mengunjunginya.

 

Keunikan ini secara substansial sejatinya identik dengan OUV sebagaimana dimaksudkan oleh WHC/UNESCO, yang mendefinisikan OUV sebagai signifikansi penting kultural dan/atau natural yang amat ”eksepsional” karena melampaui batas-batas negara dan menjadi kepentingan bersama generasi sekarang dan mendatang dari seluruh manusia.

 

Untuk menjadi warisan dunia, properti harus memenuhi setidaknya satu dari sepuluh kriteria. Kawasan Borobudur-Mendut-Pawon, misalnya, dengan Borobudur sebagai candi terbesar di dunia, memenuhi tiga kriteria.

 

Ketiga kriteria itu ialah (1) mencerminkan hasil karya kreatif luar biasa, dalam hal ini arsitektur Buddha dan seni monumental (kriteria i); (2) menjadi contoh luar biasa dari seni dan arsitektur Indonesia antara awal abad ke-8 hingga akhir abad ke-9 (terkait kriteria ii); serta (3) refleksi luar biasa percampuran ide yang amat sentral dari pemujaan leluhur dan konsep Buddha mencapai nirwana (kriteria vi yang berkaitan dengan kriteria i dan ii).

 

TN Komodo memenuhi dua kriteria (kriteria vii dan viii), yakni kawasan dengan keindahan natural dan estetik luar biasa, dan kawasan yang merupakan habitat bagi komodo. Keindahan natural TN Komodo merupakan hasil perpaduan lanskap perbukitan savana, kantong-kantong vegetasi hijau berduri, pantai berpasir putih, dan birunya laut di antara batu-batu karang dan dikatakan sebagai ”salah satu lanskap paling dramatis di Indonesia” (unquestionably one of the most dramatic landscapes in all of Indonesia).

 

OUV yang inheren pada setiap kriteria itulah yang dikhawatirkan akan terdampak oleh masifnya pembangunan KSPN, di samping integritas propertinya (candi, taman nasional).

 

Dalam hal kawasan superprioritas Borobudur-Mendut-Pawon, hasil heritage impact assessment (HIA) awal menunjukkan bahwa proyek-proyek KSPN dapat berdampak terhadap OUV dari properti warisan dunia tersebut, khususnya aspek ”setting” dan lanskap di sekitar proyek konstruksi, pada kawasan antarcandi (pembangunan empat gerbang/koridor, jalur poros/skywalk, area parkir/komersial), dan dalam kawasan candi, yakni jalan masuk menuju candi (concourse area).

 

Sementara itu, untuk TN Komodo, hal yang dapat menjadi ancaman terhadap OUV antara lain adalah pembangunan infrastruktur di Pulau Rinca untuk menyambut KTT G-20 pada 2023, serta konstruksi fasilitas pariwisata di Pulau Padar tanpa pemberitahuan kepada WHC.

 

Pilihan terbaik

 

Kini, kita tinggal memilih, apakah seperti Liverpool yang sejak 2012 masuk daftar situs ”world heritage in danger”, tetapi maju terus dengan pembangunannya, dan akhirnya 2021 kehilangan status warisan dunia? Atau seperti Venesia, Italia, yang merespons dengan larangan terhadap kapal-kapal pesiar berukuran besar melewati pusat sejarah kota, untuk mencegah penempatan Venesia beserta lingkungan lagunanya pada daftar situs ”world heritage in danger”.

 

Bekerja sama dengan UNESCO untuk mencari solusi boleh jadi pilihan terbaik. Kehilangan status warisan dunia dapat berdampak negatif, baik pada aspek konservasi (dukungan teknis/finansial dan supervisi UNESCO) maupun promosi pariwisata, dan reaksi dari komunitas pencinta lingkungan dunia.

 

Dari persepsi hipotesis tragedy of the commons gagasan William F Lloyd (1833) yang ditulis Garret Hardin (1968), kepemilikan bersama masyarakat dunia (yang diwakili UNESCO) terkait Borobudur dan TN Komodo serta Subak di Bali adalah terhadap sumber daya dalam bentuk OUV yang melekat pada warisan-warisan dunia tersebut. Aturan mainnya mengikuti Konvensi Warisan Dunia 1972 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/21/mempertahankan-status-warisan-dunia/

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar