Talibanisasi
dan Kontestasi Perempuan Lies Marcoes ; Peneliti Rumah Kitab |
KOMPAS, 20 Agustus 2021
Dikuasainya
Kabul oleh Taliban meninggalkan kecemasan. Bukan hanya dunia, juga negara-negara
berpenduduk Islam. Taliban, bagaimanapun, suatu kelompok radikal
fundamentalis berbasis pandangan politik keagamaan. Suatu
kelompok radikal, seperti Taliban, lahir dan berkembang dalam konteks politik
dan momentumnya sendiri. Karena itu, tak begitu saja bisa ditiru dan muncul
di waktu dan tempat lain. Namun, sebagai gerakan yang didasari ideologi,
dengan mudah gagasannya menyebar. Apalagi di era media sosial yang tanpa
batas. Watak
ideologi apa pun tak terikat oleh konteks, sejarah, dan waktu. Salah satu
warisan Taliban untuk dunia adalah ”talibanisasi perempuan”, yakni suatu
upaya merumahkan perempuan dengan dasar pandangan keagamaan, bahwa perempuan
sumber fitnah, sumber persoalan sosial dan moral di ruang publik. Karena
itu, gagasan talibanisasi perempuan adalah merumahkan atau membatasi ruang
gerak perempuan melalui simbol seperti burqa atau dengan ideologi moral yang
meyakini perempuan jadi penyebab kekacauan di keluarga dan masyarakat karena
mereka masuk ke ruang publik dengan peran-peran nontradisional mereka dalam
gagasan relasi yang subordinatif. Solusi ideologis mereka adalah memperbaiki
persoalan moral masyarakat dengan mengatur bagaimana seharusnya perempuan
bertingkah laku di ruang publik. Gagal paham Namun,
bacaan atas situasi itu sering luput. Kegagalan dalam memahami isu jender dan
radikalisme seperti dianut kelompok Taliban adalah, pertama, kuatnya anggapan
bahwa ancaman paling besar dari gerakan radikal adalah terorisme. Terorisme
merupakan suatu aksi mengancam kedaulatan negara dengan cara kekerasan. Dalam
konteks sekarang, ancaman ini bisa berupa haluan yang mengusung ideologi
jihadis model Taliban. Dalam aksi mereka, perempuan biasanya tak dihitung.
Paling jauh dianggap sebagai sistem pendukung kerja teroris yang bergerak di
bawah tanah. Keterlibatan perempuan biasanya untuk menormalkan kehidupan sang
teroris dengan status sebagai istri. Kekeliruan
kedua, stereotipe jender. Dalam konsep itu mereka menganggap mustahil
perempuan jadi radikalis, apalagi teroris, kalau tak terbawa-bawa kaum
lelaki. Perempuan dianggap tak punya ideologi, tetapi hanya diajak-ajak. Analisis
lainnya dengan pendekatan esensialis. Karena perempuan punya rahim, otomatis
akan menjiwai perannya sebagai pelanjut dan perawat kehidupan melalui
kehamilannya. Karena dari rahimnya lahir kehidupan baru, maka dalam pandangan
esensialis itu, mustahil perempuan secara alamiah atau naluriah punya pikiran
buruk jadi radikal atau teroris. Jika pun terjadi, itu karena indoktrinasi. Sebagian
besar analisis ahli teroris ketika menghadapi peristiwa bom Makassar dan
Mabes Polri yang melibatkan perempuan cenderung menggunakan pendekatan
esensialis atau ilmu psikologi klasik soal peran ”nature” perempuan. Masuk
dalam peran nature itu adalah instabilitas emosi perempuan, kelemahan pikiran
mereka, ketergantungan mereka pada lelaki sehingga keterlibatannya hanya
terbawa-bawa. Sementara yang punya agenda atau otak di balik perempuan pelaku
bom bunuh diri itu adalah lelaki. Berdasarkan
penelitian Rumah Kitab sejak 2016 tentang perempuan dan fundamentalisme, kami
mengamati ada tiga tipologi analisis terhadap keterlibatan perempuan dalam
gerakan radikal, baik yang kemudian masuk ke dalam aksi terorisme maupun yang
hanya tataran ideologis fundamentalisme/konservativisme ideologis. Tipe
pertama, menganggap kelompok radikal, baik yang pro maupun menolak kekerasan,
seperti terorisme, sepenuhnya urusan dan dunia lelaki, cita-cita yang
diperjuangkan juga sepenuhnya impian kaum lelaki. Dalam
pandangan tipe satu ini inti perjuangannya adalah mewujudkan tertib dunia
dengan cara-cara maskulin. Sebagai jantan, mereka berperang untuk
menyelamatkan keluarga dari ancaman dunia yang akan menghancurkan keluarga
Islami melalui proyek modernisasi. Tipe
kedua, maskulinisasi lelaki atau perempuan yang tertarik menjadi bagian dari
gerakan radikal atau teroris. Alasannya sangat khas, yaitu agar mereka
direkognisi kehadirannya. Dalam tatanan masyarakat atau kelompok patriarki,
apalagi dalam kelompok radikal berbasis keagamaan, orang muda (lelaki) atau perempuan
tak dapat tempat terhormat di tengah orang dewasa maskulin. Posisi
mereka senantiasa disubordinasikan. Karena itu, masuk akal jika lelaki muda
atau perempuan dalam kelompok itu melakukan metamorfosis menjadi bagian dari
pemain inti, tetapi dengan mengubah diri menjadi maskulin. Salah satu tanda
dari maskulinitasnya adalah keberaniannya mengambil risiko paling mematikan,
seperti menjadi pembawa bom. Dalam
sistem yang telah mereka bangun, fungsi mereka adalah sekrup dari sebuah
mesin yang sudah jadi (ideologi maskulin jihadis, misalnya). Dalam sistem
itu, orang muda dan perempuan akan menjalankan peran berbeda-beda; bisa
sebagai penunjang atau instrumen/ jantungnya, tergantung seberapa dalam
penghayatan dan proses ideologisasinya. Namun, secara keseluruhan, agenda
ideologisnya bukan agenda kaum muda atau kaum perempuan. Feminisasi gerakan radikal Tipe
ketiga, feminisasi gerakan radikal. Secara umum polanya dibalik. Bukan
ideologi maskulin memengaruhi perempuan, melainkan gerakan dan ideologi radikal
diberi daya dan aksen oleh kaum perempuan. Kaum
perempuan itu terus- menerus menghadapi kehidupan yang kompleks, tetapi tak
mendapatkan bantuan analisis dalam memahami kompleksitas persoalan itu. Sebaliknya
melalui media sosial, sinetron, atau pengajian yang tak jelas latar belakang
kualitas ustaznya, mereka dapat kesimpulan bahwa krisis dalam kehidupan
sehari-hari (kemiskinan, kenakalan remaja, perselingkuhan, utang, dan
lain-lain) disebabkan oleh rusaknya tatanan keluarga Islami akibat kelalaian
perempuan itu sendiri. Dalam
tipe ketiga ini perempuan langsung jadi agensi aktif untuk menyemai gagasan
tentang tatanan keluarga Islami yang memercayai peran tradisional perempuan
sebagai fitrahnya. Perempuanlah, bukan lelaki, yang jadi motor pembentukan
keluarga melalui jihad harian mereka, seperti dalam cara mengasuh anak,
berpakaian, bergaul, berkeluarga, belajar, dan memilih lingkungan. Intinya
menciptakan eksklusivisme keluarga Islami. Aturannya sangat jelas: cara
bergaul dan bertingkah laku, larangan bergaul dengan orang beda keyakinan,
cara membangun tatanan keluarga dari pacaran hingga beranak dan bertetangga. Di
sini ancaman terbesarnya bukan bom, melainkan kesadaran tentang peran
perempuan sebagai penjaga moral sebab mereka ditaklukkan oleh ideologi tanpa
batas, yaitu ideologi yang meyakini bahwa basis tatanan ideal masyarakat
Islam adalah keluarga di mana lelaki sepenuhnya sebagai pemimpin keluarga,
istri merupakan pendamping suami yang memastikan anak-anaknya menjalankan
tatanan keluarga yang sesuai pandangan tradisional itu. Dalam
tipe ketiga ini agensi perempuan menjadi besar sekali meskipun
pandangan-pandangannya tak selalu diproduksi oleh mereka. Namun, agendanya
jelas, menguatkan perempuan untuk aktif menjalankan peran tradisional
jendernya agar terbentuk tatanan keluarga harmonis yang sesuai dengan
ideologi itu. Mereka
menerima peran subordinasi demi sebuah tatanan harmonis di dunia dan akan
menerima imbalannya di akhirat kelak. Dalam pandangan itu konsep
ketertindasan jender sama sekali tak dipandang sebagai persoalan sebab itu
adalah jihad amaliah perempuan. Tipe
ketiga ini ancamannya masif, berlangsung setiap hari dalam kehidupan
sehari-hari. Perempuan ditaklukkan kebebasannya dalam berpikir dengan
diyakinkan sebagai penyebar fitnah di ruang publik, dan sekaligus
diglorifikasi sebagai benteng kehidupan keluarga. Di sinilah sesungguhnya
arena kontestasi dalam memperebutkan perempuan di era talibanisasi ini. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/20/talibanisasi-dan-kontestasi-perempuan/
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar