Publik
Menanti UU EBT yang Revolusioner Akmaluddin Rachim ; Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan
Pertambangan (PUSHEP) |
KOMPAS, 20 Agustus 2021
Perubahan
iklim terjadi begitu cepat menyebabkan suhu bumi semakin memanas. Keadaan ini
tidak luput menjadi salah satu fokus pembahasan dalam pertemuan KTT G-7, yang
berlangsung di Inggris pada 11-13 Juni 2021. Kelompok negara G-7 seperti
Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Italia, Jerman, Prancis, dan Jepang
bersepakat untuk meningkatkan upaya mengatasi perubahan iklim. Pada
kesempatan berbeda, sebelum KTT G-7,
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar
Pandjaitan, dalam “Indonesia Investment Forum 2021” mengatakan saat ini
energi fosil adalah musuh bersama dunia. Hasil
kedua pertemuan tersebut mengisyaratkan akan adanya pergeseran arah kebijakan
energi nasional secara fundamental. Pembahasan pembentukan Rancangan
Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) – pada Kamis, 1 Juli 2021 –
telah sampai pada tahap penyampaian pandangan mini fraksi. Hasilnya,
Komisi VII DPR menyepakati RUU EBT untuk diusulkan menjadi RUU Inisiatif
Komisi VII dan selanjutnya disampaikan ke Badan Legislasi DPR untuk dilakukan
sinkronisasi dan harmonisasi. Melalui UU EBT ini nanti kita mengharapkan
adanya perubahan terhadap pemanfaatan, pengelolaan dan pengembangan EBT serta
perubahan menyeluruh dalam pengelolaan energi nasional. Target bauran energi nasional Berbagai
kesempatan rapat antara Komisi VII DPR dengan mitra kerjanya serta forum
lainnya melaporkan produksi energi fosil terutama minyak bumi semakin
berkurang. Hengkangnya investor asing dan sulitnya mendapatkan investasi baru
merupakan gambaran kondisi terkini dalam industri hulu migas. Ada
banyak faktor mempengaruhi kondisi tersebut. Salah satunya terkait dengan
komitmen global dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Di sisi lain,
terdapat kesepakatan negara-negara maju untuk menghentikan penggunaan
batubara sebagai sumber energi. Kenyataan itu mengharuskan adanya
kebijaksanaan. Perlahan
terlihat ada ikhtiar global mempersiapkan transisi energi, dari energi fosil
beralih ke energi ramah lingkungan. Hal ini dimaknai sabagai upaya mengatasi
perubahan iklim dan menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Berkenaan
dengan hal tersebut, keberpihakan kita mengatasi perubahan iklim sejak awal
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Politik
hukum tersebut kemudian diejahwantahkan menjadi arah kebijakan energi nasional
yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang
Kebijakan Energi Nasional (KEN). Regulasi
soal energi bersih tidak berhenti sampai itu saja. Pemerintah selanjutnya
menjabarkan arah KEN melalui Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang
Rencana Umum Energi Nasional. Di
dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah menetapkan target
bauran EBT pada tahun 2025 paling sedikit 23 persen (dua puluh tiga persen)
dan 31 persen (tiga puluh satu persen) pada tahun 2050. Berdasarkan data dari
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi capaian bauran
energi nasional telah mencapai 13,55 persen per April 2021. Jumlah ini
meningkat 2,04 persen dalam waktu empat bulan dibandingkan data akhir tahun
lalu yang hanya 11,51 persen. Gambaran
di atas memberikan optimisme untuk mencapai target bauran energi nasional.
Guna mempercepat target bauran energi nasional sebesar 23 persen pada tahun
2025 dan 31 persen pada tahun 2050 diperlukan upaya dan dukungan berbagai pihak.
Salah satu konsep atau teori perubahan yang perlu diterapkan ialah
sinergisitas pentahelix. Kesinergisan
ini melibatkan unsur pemerintah, akademisi, pengusaha, masyarakat atau
komunitas, dan media untuk bersatu menyusun kebijakan yang berpihak pada upaya
pemanfaatan dan pengembangan EBT. Sinergi lima unsur kekuatan pembangunan dan
pemangku kepentingan ini diharapkan menjadi modal besar dalam merealisasikan
target bauran energi dan program pembangunan nasional berkelanjutan. Sinergisitas
itu diharapkan terjalin hingga ke daerah kabupaten/kota. Hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah dalam menyusun kebijakan energi menjadi salah
satu parameter yang penting. Kebijakan yang dimaksud ialah terkait
pengembangan EBT serta konservasi energi (KE). Kebijakan KE ini penting
terhadap pengembangan EBT sebab ia merupakan bagian dari pengelolaan energi.
Oleh sebab itu, melalui UU EBT nanti diharapkan memberikan kewenangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkoordinasi dalam kebijakan
pengelolaan energi nasional. Urgensi Undang-Undang EBT Pengembangan
EBT dan KE antara pemerintah pusat dan daerah sejauh ini relatif tidak
sejalan. Kebijakan terhadap dua hal tersebut juga belum saling mendukung. Hal
ini terlihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah (UU Pemerintah Daerah). Dalam undang-undang a quo terlihat beberapa
kerancuan aturan, tidak memiliki daya guna, dan menimbulkan kekosongan hukum
terkait pengembangan EBT dan KE. Pertama,
Pasal 14 ayat (1) UU Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan
urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya
mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi.” Pasal
ini mengatur penyelenggaraan urusan bidang energi dan sumber daya mineral
yang hanya dibagi sampai pemerintah provinsi. Itu artinya daerah
kabupaten/kota berdasarkan undang-undang a quo tidak memiliki kewenangan
dalam penyelenggaraan urusan EBT. Kedua,
Pasal 14 ayat (4) UU Pemerintah Daerah mengatakan bahwa “Urusan pemerintahan
bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupaten/kota
menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota.” Pasal
ini menunjukkan kewenangan daerah kabupaten/kota terhadap urusan pemanfaatan
langsung panas bumi. Ketentuan ini perlu mendapat koreksi mengingat banyaknya
jenis EBT dan kegiatan pengelolaan energi lainnya yang memerlukan
sinkronisasi antara pusat dan daerah. Pasal
tersebut juga menyisakan pertanyaan. Mengapa terkait urusan pemanfaatan
langsung panas bumi, daerah kabupaten/kota diberikan kewenangan. Di sisi
lain, berdasarkan data dari Kementerian ESDM, potensi energi terbarukan jenis
matahari atau surya 207,8 GW lebih besar dibandingkan panas bumi 23,9 GW. Ketiga,
lampiran UU Pemerintah Daerah hanya mengatur EBT jenis panas bumi dan
biofuel. Pasal 15 ayat (1) UU Pemerintah Daerah menyebutkan, “Pembagian
urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi
serta daerah kabupaten/kota tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Dalam lampiran undang-undang a
quo, sub urusan EBT yang diakomodasi hanya sebatas panas bumi dan biofuel,
padahal jenis EBT sangat beragam. Undang-Undang
Energi menyebutkan bahwa jenis EBT berasal dari sumber energi baru dan energi
terbarukan, seperti nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane),
batubara tercairkan (liquified coal), batubara tergaskan (gasified coal),
panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta
gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut. Dengan mengacu pada hal tersebut, UU
Pemerintah Daerah belum mengakomodasi jenis EBT lainnya yang diatur dalam UU
Energi. Padahal UU Energi hadir lebih dahulu sebelum UU Pemda. Kenyataan ini
memperlihatkan harmonisasi substansi dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan sektor energi cenderung tidak dilakukan. Keempat,
urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam UU Pemerintah Daerah
dan lampirannya, seperti jenis EBT lainnya dan kegiatan KE, dapat diatur
melalui peraturan presiden (perpres). Dasar hukum ini tercantum dalam Pasal
15 ayat (2) dan (3) UU Pemerintah Daerah. Disebutkan pada ayat (2) bahwa,
“Urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam lampiran undang-undang
ini menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang
penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan
konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.” Pada ayat (3), disebutkan
bahwa, “Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan peraturan presiden.” Pasal
ini memberikan dua ruang penafsiran. Pertama, jenis EBT lainnya yang tidak
diakomodasi dalam lampiran undang-undang a quo dapat diatur melalui perpres.
Jika hal tersebut diatur, maka akan ada penguatan terkait sub urusan EBT
dalam undang-undang tersebut. Kedua,
kegiatan KE yang tidak diakomodasi dalam UU Pemerintah Daerah dan
lampirannya, dapat diatur dengan mengadakan ketentuan baru melalui perpres.
Argumentasi ini didasarkan pada kebijakan KE telah diatur dalam UU Energi dan
Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi, yang
memberikan kewenangan kepada daerah. Menyikapi kebijakan transisi energi dan
upaya mempercepat target bauran energi, sudah seyogianya kegiatan KE ini
diatur dalam perpres atau regulasi lainnya. Uraian
di atas menunjukkan urgensi UU EBT. Diharapkan melalui UU EBT ini dapat
mengisi kekosongan hukum dan menyesuaikan dengan kebutuhan perkembangan
kebijakan energi secara global. Penyesuaian paradigma baru soal energi akan
menuntun kita ke depan dalam pemanfaatan energi yang berkelanjutan. UU EBT
diperlukan untuk menjadi landasan bagi paradigma hukum energi ke depannya. Paradigma
ini diharapkan menjadi basis bagi pengembangan dan pemanfaatan energi yang
berorientasi pada ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi. UU EBT akan
menjadi lex specialis derogat legi generali dan lex posterior derogat legi
priori dalam peraturan perundang-undangan mengenai energi. Undang-Undang EBT yang Revolusioner Pengaturan
mengenai EBT sebenarnya telah ada dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Hal itu terlihat dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah, UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, UU Nomor 30 Tahun
2009 tentang Ketenagalistrikan dan UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.
Selain itu juga diatur dalam PP Nomor 70 Tahun 2009 tentang Konservasi
Energi, PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Perpres
Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, dan Permen ESDM
Nomor 39 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan Energi
Baru dan Energi Terbarukan serta Konservasi Energi. Kendatipun
telah ada berbagai kebijakan dan regulasi yang mengatur EBT, UU EBT tetap
dibutuhkan untuk mengatur hal yang lebih prinsip, yaitu UU EBT yang
revolusioner. Maksudnya ialah UU EBT yang mengatur secara holistik dan
komprehensif mengenai tata kelola EBT. Dalam draf RUU EBT - baik versi 25
Januari 2021 atau 12 Maret 2021 – terlihat kecenderungan pengaturan yang
belum menyentuh aspek substansial. Ketentuan
yang diatur, misalnya lebih banyak seputar persoalan pemanfaatan nuklir
sebagai pembangkit listrik, harga jual EBT, pemberian insentif pengembangan
EBT, dan skema bisnis EBT. Padahal publik menghendaki adanya substansi
pengaturan yang mendasar dan visioner. Beberapa
substansi pengaturan yang perlu dikedepankan ialah mengakomodasi prinsip
hukum energi yang ditawarkan oleh Raphael J Heffron, Anita Rønne, Joseph P
Tomain, Adrian Bradbrook dan Kim Talus dalam jurnal yang berjudul A treatise
for energy law. Selanjutnya pemerintah dan DPR dapat mencontoh Korea Selatan
yang mengkampanyekan new administration’s energy initiatives. Pergeseran
paradigma dari kebijakan energi yang difokuskan pada pemenuhan pasokan energi
yang stabil dan murah beralih ke pendekatan yang seimbang dengan
mempertimbangkan keselamatan nasional dan lingkungan yang bersih. Adapun
hal lain yang perlu dikuatkan ialah terkait optimalisasi pelibatan peran
pemerintah daerah dalam tata kelola EBT, desain tata kelola dan kelembagaan,
mengutamakan pengembangan energi terbarukan ketimbang energi baru. Sementara
terkait konsep hak menguasai negara dalam RUU EBT ini perlu dikaji kembali
karena tidak semua jenis EBT merupakan sumber daya alam strategis yang
menguasai hajat hidup orang banyak. Hal ini telah ditentukan dalam UU Energi
terkait tafsir penguasaan negara dalam sektor energi. Untuk
merumuskan UU EBT yang revolusioner pemerintah dan DPR perlu mendengarkan
masukan dari berbagai pemangku kepentingan. Mempertimbangkan usulan tersebut
penting agar materi yang diatur dalam UU EBT memiliki daya guna. Sehingga
dengan begitu publik menilai bahwa UU EBT yang dirumuskan ini benar-benar
sesuai dengan yang dibutuhkan dan didambakan, yaitu dapat menjadi payung
hukum penyelenggaraan tata kelola energi yang berlandaskan kemanfaatan,
kepastian dan keadilan. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/20/publik-menanti-uu-ebt-yang-revolusioner/
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar