Buya
Syafii dan Pancasila Benni Setiawan ; Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta; Anggota Kaukus Aliansi
Kebangsaan |
KOMPAS, 01 Juni 2021
Mungkin mudah meneriakkan
saya Indonesia, saya Pancasila. Namun, apakah teriakan itu telah menjadi laku
bangsa sehingga bangsa ini benar-benar mengamalkan Pancasila—meminjam istilah
Orde Baru—secara murni dan konsekuen? Sampai saat ini, Pancasila
tidak menjadi laku pemimpin bangsa. Setidaknya kritik itu muncul dari seorang
tokoh bernama Ahmad Syafii Maarif. Buya Syafii menulis, ”Adapun suasana moral
bangsa yang masih ringkih, goyang, dan bahkan rapuh sampai saat ini, penyebab
utamanya bukan berasal dari Pancasila, melainkan justru karena Pancasila
dikhianati dalam laku perbuatan, tidak terkecuali dipelopori oleh para
pemimpin dan golongan elite.” Guru Besar Emeritus
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta ini menambahkan,
”Pancasila di tangan mereka lebih banyak dijadikan retorika politik yang
amoral. Inilah penyebab utama mengapa bangsa ini sulit sekali bangkit secara
autentik dan bermartabat.” Kata
dan laku Pria kelahiran Sumpur,
Kudus, 31 Mei 1935, ini memang dikenal kritis terhadap persoalan kebangsaan
dan kenegaraan. Kritik Buya didasarkan pada keprihatinannya terhadap kondisi
bangsa tercerabut dari nilai-nilai Pancasila. Mantan Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah ini selalu gelisah melihat ketidaksesuaian antara kata dan
laku pemimpin bangsa. Ketidaksesuaian itu sering kali menimbulkan masalah.
Pasalnya, kata yang terucap dari seorang pemimpin mempunyai konsekuensi
panjang. Kata itu ibarat mantra mujarab yang dapat mengubah banyak hal. Jika
mantra itu diucapkan sembrono, akan banyak jatuh korban. Ironisnya, masih ada
pemimpin bangsa saat ini begitu pandai beretorika dan berkelit dengan kata,
padahal laku tindakannya jauh dari nilai-nilai kebangsaan. Laku kebangsaan
yang tercermin dalam Pancasila tidak menjadi panduan langkah. Pancasila hanya
menjadi lips service, pemanis kata dan perbuatan. Pancasila tidak pernah
mendasari langkah dan kebijakan yang diambil. Seakan-akan bangsa dan negara
ini tidak memiliki Pancasila sebagai sebuah nilai. Pancasila benar-benar
dikangkangi untuk kepentingan jangka pendek/pragmatis. Kepemimpinan pragmatis
hanya akan mempercepat laju pelapukan bangsa. Pelapukan bangsa berarti
hilangnya jiwa dan nilai yang selama ini telah ada. Kepemimpinan pragmatis
pun akan menyuburkan tindakan destruktif. Pasalnya, mereka tidak dipandu oleh
moral. Mereka melakukan dan mengambil kebijakan sesuai dengan apa yang
dikehendakinya, bukan didasarkan pada kepentingan umum. Hajat hidup orang
banyak terkangkangi oleh nafsu segelintir pemimpin yang mempunyai kuasa
mengatur dan menata Republik. Republik tergadai dan tersandera oleh nafsu
selintir elite. Kasus pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya. Sampai saat ini belum ada satu kata
antar-pemimpin. Betapa dengan mudah kita mendapatkan berita tentang
ketidaksesuaian antar pemimpin dalam kasus ini. Ironisnya, mereka mengklaim
benar dan sesuai dengan perintah. Ketidaksesuaian inilah yang kemudian
memunculkan tanda tanya besar, apakah ini jalan mengakhiri KPK; apakah KPK
benar-benar menjadi ancaman nyata bagi penjahat korup di republik ini
sehingga perlu dimatikan? Korupsi jelas musuh
Pancasila. Koruptor tidak layak hidup di bumi Pancasila. Namun, penyeru
Pancasila sering kali tidak satu kata dalam hal ini. Sebaliknya, pendukung
koruptor berbaris rapi melumpuhkan KPK dan membela sang juragan korupsi. Kedaulatan Kedaulatan Pancasila
terbangun atas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan hanya
akan terwujud saat pemimpin berlaku adil sejak dalam pikiran. Pemimpin pun
berkuasa atas perintah. Melalui ”perintah” itulah ketertiban sosial akan
mewujud. Salah satu wujud ketertiban sosial adalah dengan menghukum para
koruptor dan mempersempit ruang geraknya. Lebih lanjut, kehidupan
Pancasila juga tercermin dalam laku menyematkan kemanusiaan. Serangan brutal
Israel kepada warga Palestina menjadi contoh telanjang betapa mengerikannya
kasus kemanusiaan di belahan dunia ini. Sebagai warga Pancasilais, membela
Palestina dan mengutuk Israel menjadi sebuah keniscayaan. Bukan malah
sebaliknya menyoal mereka yang menyumbang untuk meringankan beban rakyat
Palestina. Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Profesor Haedar Nashir menegaskan, kepedulian kepada Palestina
merupakan amanat konstitusi, menjaga perdamaian dunia. Ini bukan soal atas
nama keagamaan, melainkan membela kemanusiaan sebagaimana ajaran Pancasila. Praktik kebangsaan
berbasis Pancasila perlu menjadi laku bukan sekadar kata. Pemimpin bangsa
perlu menjadi teladan dalam hal ini. Saat pemimpin mampu menunjukkan sikap,
jiwa, dan praktik Pancasila dalam kehidupan pemerintahannya, kebangsaan dan
kenegaraan akan kuat. Sebaliknya, jika pemimpin bangsa terus mengoyak
Pancasila dengan praktik keseharian yang jauh dari nilai kebangsaan itu,
pelapukan negara menjadi sebuah jawaban atas kecerobohan itu. Pada akhirnya, pesan Buya
Syafii di atas telah jelas dan gamblang. Bangsa ini hanya akan terselamatkan
dengan laku Pancasila para pemimpin. Tanpa itu semua, martabat bangsa ini
akan tergadaikan oleh kepentingan jangka pendek yang merusak seluruh sendiri
kenegaraan. Selamat ulang tahun Buya
Syafii. Semoga Allah senantiasa merahmati Buya sehingga terus mampu
menyuarakan kebenaran di tengah bisingnya pencitraan. Selamat milad
Pancasila, semoga engkau terus menjadi roh bangsa Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar