Minggu, 06 Juni 2021

 

Persoalan Pendidikan Pancasila di Sekolah Dasar-Menengah

Paul Suparno ; Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

KOMPAS, 01 Juni 2021

 

 

                                                           

Pendidikan Pancasila di sekolah formal sampai sekarang lebih ditekankan pada sisi kognitif, pengetahuan. Dalam model ini siswa diajak menghafal isi Pancasila, guru menjelaskan isi dan maksud dari sila-sila yang ada, dan setelah itu ada ulangan atau ujian. Pendidikan atau lebih tepat pengajaran Pancasila ini lebih menekankan pengertian dan hasil akhirnya berupa nilai ulangan atau nilai rapor.

 

Kelemahan pendekatan ini adalah bisa jadi seorang siswa mendapatkan nilai rapor Pancasila 9 atau bahkan 10, tetapi tingkah lakunya kurang menunjukkan seseorang yang pancasilais. Misalnya, nilai pancasilanya 9, tetapi ia dalam kehidupan di sekolah dan di masyarakat suka merendahkan teman-teman yang berbeda agama, suku, dan status; dia tidak punya perasaan terhadap orang yang miskin dan kecil yang meminta bantuan di pinggir jalan; kalau marah begitu sadis dan menyakiti teman; suka tawuran; kalau jadi panitia sekolah berlaku tidak adil pada teman, suka menuntut tetapi tidak menghargai; kalau jajan di kantin tidak membayar; suka merusak tanaman dan membuang sampah sembarangan. Nampak bahwa pengertiannya yang tinggi tidak memengaruhi tingkah lakunya.

 

Kalau nilai Pancasila diinginkan menjadi nilai karakter yang memengaruhi tingkah laku siswa dalam kehidupannya, kiranya tekanan pembelajaran Pancasila di sekolah dasar dan menengah perlu berganti tekanan. Bukan ditekankan pada sisi kognitif saja, tetapi lebih ditekankan pada sisi penghayatan, sisi pelaksanaan, sisi pembiasaan.

 

Model alternatif

 

Salah satu model pendekatan pendidikan Pancasila adalah memberikan pengalaman pada siswa dan merefleksikan pengalaman tersebut. Artinya, siswa dimasukkan dalam pengalaman atau kejadian yang bernilaikan Pancasila agar siswa mengalami nilai itu, merasakan, dan sesudahnya mengambil makna dari pengalaman itu.

 

Misalnya, dalam mengajarkan nilai ketuhanan, salah satunya adalah siswa dibantu untuk dapat menghargai penghayatan agama atau iman orang lain. Nilai penghargaan ini kiranya akan lebih terasa apabila siswa mengalami bahwa hidup bersama orang yang beragama lain itu tidak mengancam dan dapat merasakan kedamaian di tengah mereka. Maka, model pembelajarannya adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk live in di komunitas yang beragama lain, di mana di situ ia diterima dengan baik. Lewat merasa diterima dengan baik, apriori jeleknya pada agama orang lain akan berkurang atau bahkan hilang.

 

Kesempatan kemah, bermain olahraga, bermain musik, melakukan proyek bersama dengan teman-teman yang berbeda agama dan suku, dapat lebih membantu siswa menghargai perbedaan karena mereka merasakan bahwa bermain dan hidup bersama yang lain itu mendamaikan.

 

Setelah mengalami pengalaman tersebut, siswa dibantu untuk melakukan refleksi, melihat apa yang berguna bagi hidupnya, apa yang membantu mereka berkembang, apa yang ditemukan dalam kaitan dengan nilai Pancasila. Tanpa diajak refleksi, pengalaman siswa akan kurang bermakna secara mendalam. Refleksi ini memungkinkan siswa menyadari nilai itu lebih mendalam. Dari pengalaman, apabila refleksinya mendalam, siswa bahkan dapat tergerak untuk mengembangkan nilai itu dalam praktik hidupnya.

 

Perencanaan

 

Bila pendekatan ini mau dilakukan, ada langkah yang perlu dibuat oleh sekolah atau guru, seperti, pertama, mendeskripsikan arti dari setiap sila dalam Pancasila sesuai tahap pengertian siswa. Kedua, mencarikan berbagai pengalaman atau kejadian yang sesuai dengan nilai setiap sila yang akan dibahas. Ketiga, membantu siswa melakukan refleksi atas pengalaman itu.

 

Dalam refleksi yang baik, bisa jadi siswa mengalami dorongan untuk semakin melakukan nilai yang ditemukan tersebut dalam kehidupan selanjutnya. Dengan demikian, dia akan semakin biasa melakukan nilai terebut.

 

Hal yang sangat penting juga dalam pendidikan Pancasila di sekolah adalah keteladanan guru dan suasana sekolah. Siswa akan lebih mudah menghayati nilai Pancasila apabila guru melakukan hal itu, apabila guru bertindak sesuai semangat Pancasila. Misalnya, dalam mengajarkan sila pertama, guru sendiri memang menghargai agama lain dan tidak menjelekkan agama lain.

 

Dalam mengajarkan nilai perikemanusiaan, guru bertindak menghargai sesama orang siapa pun mereka. Tingkah laku guru yang nonpancasilais jelas akan membuat pendidikan nilai Pancasila kesulitan.

 

Selain guru adalah lingkungan sekolah. Apakah lingkungan sekolah memang menghayati dan ditata dengan semangat nilai Pancasila. Lingkungan yang ditata baik akan memudahkan siswa meniru dan membiasakan diri dengan nilai itu.

 

Tentu kita semua tahu bahwa selain itu semua, keluarga dan lingkungan masyarakat ikut andil. Di sini banyak persoalan karena beberapa keluarga dan masyarakat masih kurang menerima nilai Pancasila atau bertindak yang berlawanan dengan nilai Pancasila. Persoalan ini menjadi pemikiran kita bersama.

 

Pada 1 Juni ini kita memperingati kelahiran Pancasila. Peringatan yang baik adalah apabila kita dapat mengubah tekanan pembelajaran Pancasila sehingga siswa sungguh dapat menerapkan nilai Pancasila dalam hidup mereka. Semoga. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar